Jangan tanya siapa yang paling bersalah di sini! Diandra tak pernah menyangka bahwa semua akan menjadi seperti ini pada akhirnya, terlebih saat orang yang dia benci setengah mati justru kembali ke rumahnya dan mengacaukan segalanya. Rumah yang selama ini menjadi tempat tinggalnya mendadak suram ketika putra kandung suaminya datang. Kevin Jonas, pria itu punya catatan hitam di masa lalunya. Kevin adalah mantan kekasihnya di masa lalu. Namun, kini justru menjadi anak tiri bagi Diandra. Mampukah dia melewati jebakan Kevin?
Cinta adalah cinta.
Itu semua terasa sangat misterius dan bagi sebagian orang mungkin terdengar aneh, konyol serta tidak masuk akal tetapi Diandra secara sadar telah memilih pria itu sebagai pendamping hidupnya. Malam itu mengenakan sebuah gaun panjang berwarna merah terang, rambutnya dibiarkan terurai dengan jepit rambut berbentuk bunga mawar putih yang menghiasinya. Ini merupakan malam istimewa sudah tentu dia ingin memberikan kebahagiaan yang luar biasa untuk suaminya. Yah, sebuah pilihan untuk mendapatkan kesenangan, kebahagiaan dan keindahan-keindahan lainnya yang mungkin bisa dia dapatkan di dunia ini. Meskipun di luar sana mungkin banyak orang menganggapnya gila karena menikah dengan Bram –pria yang jelas-jelas dua puluh lima tahun lebih tua darinya. Tapi, apa salahnya?
Diandra mencintai Bram, dan sebaliknya. Bukan pernikahan paksa, bukan pernikahan yang dilandasi uang sebagaimana yang biasanya terjadi luaran sana. Sama sekali lain. Dia mencintai suaminya, meskipun awalnya agak ragu juga tapi sepuluh tahun bersama membuatnya jatuh cinta pada akhirnya. Bram pria yang baik, terampil dan penuh kasih sayang. Terbukti pada malam ini, suaminya tersebut secara suka rela mengurus anak-anak mereka, mendandani mereka sembari menunggu Diandra mempersiapkan diri.
"Sayang!"
Panggilan dari suaminya membuat Diandra berhenti mengoleskan gincu merah terang tersebut ke bibirnya. Dia menjauhkan benda itu dari wajahnya, kemudian berjalan mendekati pintu untuk menengok situasi di lantai dasar. Benar saja, Bram tengah bergelut dengan Isac dan Jonas, kedua putra mereka. Anak-anak mengenakan jas biru terang, senada dengan ayah mereka. Tampan.
"Ada apa, Sayang?" jawab Diandra lembut seperti biasanya. "Kamu urus anak-anak dulu ya. Sabar. Sebentar lagi aku turun." Dia tahu kalau suaminya akan tetap melakukan hal tersebut meskipun tidak dia minta tetapi Diandra memang suka mengerjai Bram. Dia suka melihat suaminya 'tersiksa' dengan anak-anak. "Tunggu!"
"Ya ampun, Sayang!" keluh Bram. "Kamu tidak usah dandan juga tetap cantik kok. Anak-anak sudah tidak sabar untuk berangkat lho. Memangnya kamu mau membuat para tamu menunggu berapa lama?"
"Sayang!" Diandra keluar dari kamar dengan gincu terbuka di tangannya, dia mengarahkan benda tersebut kepada suaminya. "Dengar ya! Aku memang cantik di mata kamu tapi di mata orang lain? Bisa-bisa mereka akan menghinamu kalau tahu istrimu tidak tampil sempurna di hari ulang tahun seorang Bram Halim."
"Memangnya siapa yang peduli?" jawab Bram sembari menaikkan sebelah alisnya. "Tidak perlu mendengarkan ucapan orang lain. Mereka hanya terlalu iri pada kehidupan kita. Kau sempurna, Sayang. Sangat sempurna. Bukankah begitu, Anak-Anak?"
Isac dan Jonas kompak mengangguk. "Mama cantik."
"Mama sangat cantik."
"Dengar kan!" ujar Bram sembari mengembangkan senyuman di wajahnya.
Mendengar hal tersebut, Diandra tersenyum tapi kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kalian itu ya! Bapak sama anak saja saja! Paling bisa kalau bikin mamanya salah tingkah."
.
.
.
Lihatlah! Kehidupan sempurna bagaimana lagi yang bisa Diandra harapkan terjadi pada dirinya? Ini merupakan keajaiban dan dia telah mempertaruhkan begitu banyak cerita di dalamnya. Sekalipun dia kehilangan banyak hal di masa lalu, tapi tak banyak orang yang bisa meraih kebangkitan sebesar ini. Bram bukan hanya sosok ayah bagi anak-anak mereka tetapi juga bagi Diandra sendiri. Terlebih kenyataan bahwa dia dilahirkan oleh seorang ibu pecandu alkohol, pekerja seks komersial dan tumbuh di lingkungan yang kurang beruntung selama bertahun-tahun lamanya. Tidak tahu siapa ayah kandungnya, dikucilkan oleh kebanyakan masyarakat. Namun, Bram berbeda. Dia pria paling sempurna di dalam kehidupan wanita muda ini.
Usia Bram sudah kepala lima, sementara Diandra belum genap kepala tiga. Namun dari segi manapun mereka tampak serasi. Bram punya badan yang bagus, terawat dan berhasil membuatnya terlihat awet muda, sementara Diandra mempersona. Perempuan dua puluh sembilan tahun tersebut punya rahang tegas, rambut panjang bergelombang nun menawan, kulit sawo matang yang sehat serta ideal. Orang yang tak mengenalnya mungkin bisa mengira kalau dia adalah model atau pemain drama. Yah, sebenarnya beberapa kali suaminya menawarkan padanya untuk ikut casting film dan berperan di drama yang Bram garap, tapi tampaknya kehidupan sebagai aktris bukanlah sesuatu yang bisa Diandra terima dalam kehidupannya. Terlalu muluk-muluk dan bukan dia banget.
"Sayang, kamu jadi mengundang Jena kan?" Bram yang menyetir malam itu bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan kota. Suasana sangat ramai, tentu saja. Orang-orang menyukai tahun baru dan begitu pula dengan keluarga mereka, terlebih ini juga malam ulang tahun Bram.
Diandra mengangguk. "Sudah. Aku sudah mengundangnya dari sebulan lalu, tapi katanya soal bisa datang atau tidak ..., dia sendiri kurang tahu. Tidak bisa memastikan. Maklum saja, Yang, sekarang kan dia sudah ada pacar baru."
"Maudia?"
Diandra mengangguk lagi. "Cewek itu, katanya mau diajak liburan ke Singapura dan mereka akan merayakan tahun baruan di sana. Tapi, entahlah. Belum ada kabar terbaru darinya. Yah, kamu tahu lah bagaimana kalau remaja dimabuk cinta."
"Idih!" Bram mengerutkan kening. "Remaja? Sejak kapan dia masuk kategori remaja? Sudah hampir kepala tiga masih dibilang remaja. Tapi, benar sih remaja ..., setidaknya belum setua aku."
"Lima puluh lima tahun tua?" Diandra tampaknya tidak suka dengan ucapan suaminya. "Siapa yang bilang usia kamu tua, Bram? Sini, biar aku makan hidup-hidup."
"Seram sekali mama kalian, Kids!" seru Bram membuat anak-anaknya yang sejak tadi diam dan menikmati video game di ponsel masing-masing itu terbahak-bahak. Mereka menikmati perjalanan, membuat satu persatu kehangatan melebur pada diri masing-masing sebelum akhirnya sebuah panggilan masuk ke ponsel Bram.
"Siapa, Sayang?"
Bram menggeleng. "Kurang tahu. Coba kamu angkatkan dulu!"
Diandra merogoh saku jas suaminya, melihat tampilan nomor pada layar ponsel pintar tersebut. Tanpa nama. Nomor asing. Dan, spontan dia menunjukkan nomor tersebut kepada sang suami. "Ini nomor siapa?"
Bram mengerutkan kening, mencoba mencerna sebelum akhirnya menggeleng juga. "Aku nggak tahu, Sayang. Nomor asing?"
"Apakah orang iseng?" tebak Diandra.
"Mungkin," jawab Bram singkat. "Sudahlah, kalau memang orang asing lebih baik abaikan saja. Tidak usah ditanggapi atau dia akan semakin menjadi."
"Baiklah!" jawab Diandra sembari memasukkan kembali benda tersebut ke dalam saku jas milik Bram. "Belakangan ini banyak kasus penipuan ya, Sayang. Suaminya Bu Farida, tetangga kita, minggu lalu tertipu penjualan mobil bekas lima belas juta lho."
"Serius?"
Diandra mengangguk pasti, dia menyandarkan bahunya di sandaran kursi sebelum akhirnya melirik ke arah suaminya. Jelas kalau dia sedikit cemburu, meskipun mungkin itu benar nomor penipu. Yah, Bram mana mungkin selingkuh sih? Dia terlalu pria baik-baik untuk mengkhianati pernikahan mereka. Namun, tetap saja firasatnya sebagai istri tak bisa bohong. Seolah ada dorongan untuk merasa tak baik-baik saja. Kenapa?
"Terus bagaimana, Sayang?"
"Bagaimana apanya?"
"Penipunya. Sudah dilaporkan ke polisi?"
"Belum."
"Kenapa nggak langsung lapor?"
"Kurang bukti."
Bab 1 Keluarga
25/06/2022