my first love is paman

my first love is paman

asnafa

5.0
Komentar
1.7K
Penayangan
100
Bab

Hidup bersama dalam satu atap dengan orang yang kita suka, apakah bisa? Bagai cerita, hal ini terjadi pada gadis SMA bernama Heira Attaya, kematian kedua orang tuanya yang terbilang mengenaskan menjadi salah satu penyebab utama, yang menimbulkan kepribadian ganda terhadap gadis SMA itu. Apakah Heira bisa bertahan setelah mengetahui sebab di balik kematian orang tuanya yang berkaitan dengan orang yang dia suka? Entahlah yang pasti sebuah peristiwa telah mengubah segalanya, gadis itu tiba-tiba menghilang, benar-benar menghilang tanpa meninggalkan sedikitpun pesan.

Bab 1 kehilangan

"Hiks hiks...ibu...ayah...jangan pergi...." tangis Heira, menggoyangkan jasad kedua orang tuanya dengan kasar.

"Sabar nak, kami mengerti perasaanmu, kamu pasti kuat," ucap Bu Rani mengelus lengan Ira.

Heira menjerit histeris kala melihat kedua orang tuanya tertutup kain batik diam membeku tak berkutik, ia genggam tangan pucat di sampingnya, terasa dingin bagai embun di pagi hari, hati ini terasa tercabik menerima takdir pahit, kenyataan telah menunjukkan arah, langit terasa runtuh, kehidupan ini seakan memudar tanpa warna, beriringan dengan kilasan memori yang terasa abu, mengapa harus dia yang merasakan semua ini, mengapa takdir tidak mengizinkan dia untuk ikut pergi? Bersama ayah, ibu dan kebahagiaannya.

"Lebih baik aku ikut kalian...jangan tinggalkan aku sendiri...hiks...hiks...." batin Ira.

Bayangan silam seketika muncul dalam pikirannya. Dia masih ingat setiap bentakan, nasehat membosankan, ataupun perintah yang menyebalkan. Sekarang semua itu sangat dia rindukan.

"Aku janji, akan menjadi anak yang baik, tidak akan membantah apa pun lagi, hiks...hiks....," ucap Ira pelan.

Tangis Ira mengeras, beberapa pelayat yang menyaksikan menyeka mata mereka, kepedihan seorang gadis muda di samping jasad kedua orang tuanya terlalu pilu untuk mereka lihat.

"Kamu kuat," ucap Bu Nina sambil menyeka air mata yang mengalir begitu saja, larut dalam kesedihan.

"Aku tidak kuat....aku ingin ikut dengan mereka, aku tidak ingin sendirian, hiks...hiks..."

"Tenangkan dirimu Ira!" ucap Bu Nina menyandarkan kepala gadis itu di bahunya, mengusap dengan penuh perasaan.

"Aku tidak ingin sendiri hiks...hiks..."

"Ira tidak sendirian, ada Bu Nina, Bu Rani, Alva dan yang lainnya juga, Ira tidak sendirian." Bu Nina berusaha meyakinkan Ira.

Bugh...

Ira tergeletak tak sadarkan diri di tengah kerumunan pelayat. Beberapa orang segera menggendong tubuh gadis kecil itu menuju kamarnya.

***

Setelah beberapa saat akhirnya dia terbangun. Dengan paksa, dia membuka matanya yang terasa sangat berat.

"Ayah, ibu!" Ira langsung teringat kedua orang tuannya.

Dia segera berlari mencari sosok yang sangat di rindukan. Berharap semua yang ada dalam ingatannya terakhir kali, hanyalah mimpi.

Bak...

Ira membanting pintu dengan keras, hingga terdengar beberapa langkah dari luar.

"Ayah, ibu?"

Ira mencari jasad kedua orang tuanya. Di ruang tengah tidak terlihat apa pun di sana. Hanya beberapa orang saja yang terlihat sedang berkumpul di sini. Seketika mereka menoleh, memberikan tatapan menyedihkan kepadanya.

"Ayah dan ibu sudah di ke bumikan." Alva datang menjelaskan.

Ira menoleh ke arah adiknya dengan mata sembab.

"Ayah, ibu?" tanya Ira, tidak percaya.

Apakah ingatan terakhirnya benar-benar nyata? Kedua orang tua yang dia miliki sekarang sudah di makamkan. Apakah ini hanya sekedar mimpi?

Tubuh gadis itu bergetar, dia mundur beberapa langkah hingga menyentuh tembok. Perlahan tubuhnya mulai turun, hingga tertelungkup di lantai dengan kepala yang tertunduk, memejamkan mata serapat-rapatnya, menahan tangis yang mungkin saja akan kembali pecah beberapa saat lagi.

Perlahan dia kembali membuka matanya, menatap adik satu-satunya yang terdiam tak bergerak sedikit pun.

"Kenapa tidak tanya dulu padaku?" Ira menaikan volumenya, menatap Alva dengan tajam.

Alva tak bergeming sedikitpun, dia menundukkan kepala, berlari dari pertanyaan yang di lontarkan kakaknya.

"Hey!" Seketika Heira bangun dari duduknya, mencengkeram kuat kerah baju sang adik.

Alva hanya diam menerima perlakuan sang kakak, dalam pikiran Alva, kakaknya hanya di landa emosi sesaat, membalasnya adalah hal yang sia-sia.

Stt....

Beberapa orang yang melihat kejadian seketika melerai kedua adik kakak yang terlibat cekcok.

"Sudah-sudah, Ira tenang dulu."

Ira melepas cengkeraman dengan kasar. Air mata tak bisa dia bendung lagi, terus mengalir deras dengan sendirinya. Dia menatap lekat setiap wajah menyedihkan yang duduk memperhatikan dirinya dengan rasa penuh iba. Tak lupa dia menatap Pak Ustaz dan Alva secara bergantian.

"Tenang? ...Tak ada yang bisa menenangkan aku sekarang. Semua orang egois! Tidak ada yang bisa mengerti aku," bentak Heira.

Setiap kata yang keluar dari mulutnya, menggema hingga memenuhi setiap penjuru ruangan.

"Ira...." ucap Pak Ustaz terpotong, seraya menatap Ira dengan tatapan sayu. Tangannya mengapung hendak mengelus gadis yang tengah dilanda emosi, berusaha menenangkannya.

"Diam!" bentak Heira.

Seketika suasana semakin hening, tak ada sedikitpun suara yang terdengar, hanya suara jarum jam yang masih terdengar samar.

Tangan Ira mengepal kuat hingga terlihat jelas garis hijau membentang di tangannya. Dia mengambil ancang-ancang, kemudian pergi, berlari sekencang-kencangnya, menghindar dari semuanya.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh asnafa

Selebihnya

Buku serupa

Gairah Liar Ayah Mertua

Gairah Liar Ayah Mertua

Gemoy
5.0

Aku melihat di selangkangan ayah mertuaku ada yang mulai bergerak dan mengeras. Ayahku sedang mengenakan sarung saat itu. Maka sangat mudah sekali untuk terlihat jelas. Sepertinya ayahku sedang ngaceng. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk menenangkan perasaanku, maka aku mengambil air yang ada di meja. Kulihat ayah tiba-tiba langsung menaruh piringnya. Dia sadar kalo aku tahu apa yang terjadi di selangkangannya. Secara mengejutkan, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi. Ayah langsung bangkit dan memilih duduk di pinggiran kasur. Tangannya juga tiba-tiba meraih tanganku dan membawa ke selangkangannya. Aku benar-benar tidak percaya ayah senekat dan seberani ini. Dia memberi isyarat padaku untuk menggenggam sesuatu yang ada di selangkangannya. Mungkin karena kaget atau aku juga menyimpan hasrat seksual pada ayah, tidak ada penolakan dariku terhadap kelakuan ayahku itu. Aku hanya diam saja sambil menuruti kemauan ayah. Kini aku bisa merasakan bagaimana sesungguhnya ukuran tongkol ayah. Ternyata ukurannya memang seperti yang aku bayangkan. Jauh berbeda dengan milik suamiku. tongkol ayah benar-benar berukuran besar. Baru kali ini aku memegang tongkol sebesar itu. Mungkin ukurannya seperti orang-orang bule. Mungkin karena tak ada penolakan dariku, ayah semakin memberanikan diri. Ia menyingkap sarungnya dan menyuruhku masuk ke dalam sarung itu. Astaga. Ayah semakin berani saja. Kini aku menyentuh langsung tongkol yang sering ada di fantasiku itu. Ukurannya benar-benar membuatku makin bergairah. Aku hanya melihat ke arah ayah dengan pandangan bertanya-tanya: kenapa ayah melakukan ini padaku?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku