Didorong oleh sakit hati dan amarah. Yara, nekat membatalkan pernikahan di hadapan calon suami dan seluruh tamu undangan. Yara bahkan tak segan-segan melempar test pack tepat di hadapan calon suaminya. Pada akhirnya pernikahan yang diimpikan Yara, berakhir di hari H pernikahannya. Dihancurkan oleh calon suami dan rival-nya sendiri, membuat Yara depresi untuk waktu yang lama. Setelah berhasil mengumpulkan serpihan hatinya yang hancur, Yara memutuskan untuk kembali ke Indonesia dengan tujuan memulai hidup baru. Nahas, bukannya memulai kehidupan yang lebih baik di negara kelahirannya. Takdir justru mempertemukan Yara dengan Hayden--pria tampan yang cacat. Pernikahan impian yang diidamkan Yara bersama sang mantan calon suami pun justru gagal, dan berakhir di pelaminan bersama Hayden. Seolah dipermainkan takdir, kehidupan pernikahan Yara kembali diuji. Tidak hanya kembalinya sang mantan calon suami. Namun, rival yang menghancurkan hubungannya, serta wanita yang pernah berhubungan dengan Hayden pun memainkan intrik licik. Mantan kekasih suaminya tidak datang seorang diri. Melainkan membawa seorang anak yang 'katanya' anak dari Hayden. Mampukah Yara dan Hayden bertahan? Ataukan justru menyerah dan memilih jalan masing-masing?
Yara, tahu jika hidupnya dan semua umat manusia di muka bumi, bahkan takdir yang mereka lewati pun sudah ditetapkan oleh sang pencipta sebelumnya.
Yara, sangat tahu pula bahwa segala sesuatu yang dia inginkan. Tidak bisa dia dapatkan sesuai kehendak hati. Namun, dari semua takdir buruk yang dia alami. Kenapa takdir buruk itu harus terjadi hari ini? Hari di mana pernikahannya akan berlangsung!
Tidak pernah sedikitpun Yara berpikir dan menyangka, jika ia akan bertemu dengan rival-nya di masa lalu. Bukan hanya pertemuan tidak sengaja. Namun, wanita di hadapannya saat ini datang dengan niat untuk bertemu dengannya.
Tidak hanya jantung Yara yang seolah ingin berhenti berdetak. Namun, dunianya terasa runtuh detik itu juga, ketika wanita itu meletakkan benda berwarna putih berbentuk strip.
Dua garis merah yang terlihat jelas itu membuat dada Yara sesak. Netra dengan spektrum warna biru kehijauan itu menatap tajam ke arah benda di hadapannya.
Tanpa menyentuh benda tersebut. Yara lantas berucap, "Jangan pernah berharap aku akan terpancing, dan percaya pada ucapanmu! Apapun yang kau tunjukan saat ini, tidak akan memberikan dampak apapun padaku!" nada suara Yara terdengar dingin dan menusuk.
Sayangnya, gertakan kecil Yara tak memberikan efek apapun pada wanita yang duduk di hadapannya. Wanita dengan gincu merah itu justru membalas tatapan tajam Yara.
Perlahan bibir dengan polesan merah menyala itu bergerak lirih. Hingga terdengar suara yang tak kalah datarnya.
"Aku berani bertaruh. Pernikahanmu akan hancur! Kau tahu? Kau wanita paling naif yang pernah kutemui. Apa kau pikir selama ini Willian setia? Haha! Kau pikir dia tidak akan tergoda denganku? Sayang sekali, kau terlalu berpikir positif.
Kenyataan yang sebenarnya. Kami sudah berhubungan lebih dari tujuh bulan. Di usia ketiga bulan hubungan kalian, kami sudah bersama. Aku sempat heran, kenapa kau tidak menyadari ada yang berbeda dari sikap William.
Aku kembali teringat saat kuliah dulu. Kau seringkali menjadi korban yang dicampakkan oleh mantan kekasihmu. Kenapa? Itu karena kau terlalu bodoh, dan percaya pada seseorang yang hanya mengatakan cinta semata.
Bukankah aku sudah berbaik hati? Lebih baik kau mengetahuinya sekarang, daripada saat pernikahanmu sudah benar-benar terjadi. Dengan begitu kau bisa memutuskan sendiri. Ingin membatalkan pernikahanmu atau hidup bersama pria yang telah memiliki anak dari wanita lain di luar sana, dan wanita itu adalah aku!"
Kedua tangan Yara mengepal kuat, dengan tatapan penuh amarah. Emosinya sudah berada di ubun-ubun. Namun, Yara berusaha untuk menahannya agar tidak meledak detik itu juga.
Dengan senyum sinis yang terukir di sudut bibir. Yara, lantas berucap remeh. "Aku sudah bilang, aku tidak peduli dengan apa yang kau katakan. Aku tidak akan tertipu dengan wanita licik sepertimu!"
Tak ingin meladeni wanita yang dulu selalu menjadi saingannya di kampus. Yara, lantas bangkit dari duduknya.
"Yara, tunggu!"
"Don't touch, bitch!" Yara, menghentak keras tangan wanita yang baru saja menyebarkan berita palsu padanya.
Yara, menolak percaya pada semua ucapan Dara Austin. Dia tidak ingin siapapun mengacaukan moment terpenting dalam hidupnya.
Wanita itu--Dara Austin, kembali meraih gaun yang dikenakan oleh Yara.
"Kau belum melihat semua bukti yang aku bawa!" terlihat jelas bagaimana Dara berusaha untuk membuktikan pada Yara, jika pengakuannya adalah kejadian yang sebenarnya terjadi.
Dara sempat dilanda keraguan. Sebab, dia tahu Yara adalah wanita yang berpikiran luas. Hanya dengan test pack itu saja, tidak akan bisa menggoyahkan Yara. Maka dari itu, Dara telah menyiapkan bukti kuat lainnya.
"Ini! Ambil dan cek sendiri!" Dara berhasil memberikan flashdisk dan beberapa lembar foto yang dibalik. Hingga Yara hanya bisa melihat tampak belakang foto itu.
"Aku sudah mengingatkanmu! Satu hal yang harus kau ingat. Aku tidak akan pernah mengalah, hanya karena kalian sudah menikah. Aku tidak akan membiarkan anakku lahir tanpa ayahnya!"
Yara, masih dalam posisi diam, sambil menggenggam benda yang diberikan oleh Dara, sembari menatap wanita itu yang berbalik lalu melangkah lebar meninggalkan ruang make up.
BRAK!
Saat pintu ruangan itu dibanting dari belakang oleh Dara, saat itu pula Yara menghela napas panjang.
Kembali ia meletakkan semua barang itu di atas meja, tepat di samping test pack.
Iris spektrum dua warna itu memandang lekat ke arah strip putih dengan dua garis merah. Bohong jika Yara mengatakan dirinya baik-baik saja, dan masih bisa berpikir positif.
Sebagai wanita, tentu saja perasaanya akan memburuk ketika mendengar berita wanita lain sedang mengandung anak dari kekasihnya.
William, adalah sosok yang telah menghabiskan waktu dengannya selama setahun. Yara, mengamanahkan kepercayaan besar pada pria yang sebentar lagi akan mengucap janji pernikahan dengannya.
Kehadiran Dara tentu saja membuatnya berasumsi negatif, dan Yara benar-benar tidak nyaman dengan perasaannya saat ini. Entah mengapa hati kecilnya memberi peringatan, dan pikirannya menjadi buruk pada William.
Yara, tidak pernah berpikir buruk pada William selama ini. Pria itu bahkan tidak pernah mengecewakannya. William adalah salah satu pria dari sekian miliar kaum adam di dunia ini, yang berhasil meluluhkan hatinya.
Yara, bahkan sampai mengambil keputusan besar untuk menjadi istri, dan membina rumah tangga yang hanya diisi kebahagiaan di masa depan. Namun, kenapa tiba-tiba terjadi seperti ini?
"Aku jangan sampai masuk dalam jebakan licik, Dara! Bukankah aku tahu jika dia bukan wanita yang baik?! Tapi kenapa sekarang aku bisa menaruh curiga pada William?!" Yara, mulai bicara sendiri sambil memukul kepalanya agar tidak lagi membayangkan semua ucapan Dara.
Lalu bagaimana dengan bukti itu? Apakah seharusnya dia mengecek bukti yang Dara berikan?
"Aku ingin lihat seberapa jauh dia membohongiku!"
Tidak! Sebenarnya bukan niat itu yang terlintas dalam hati Yara. Melainkan dirinya penasaran dengan benda-benda itu. Entah nantinya yang akan dilihatnya bisa menyakiti hati ataupun tidak. Namun, yang jelas dia harus memastikan semuanya.
Jujur saja, jika semua ucapan Dara benar adanya. Yara, mungkin akan hancur hingga ke titik terendah dalam hidupnya.
Jemari lentik dengan hiasan kuku indah itu perlahan terulur ke arah lembar foto dengan posisi terbalik di hadapannya.
Waktu seolah berhenti sejenak ketika Yara mulai membalik salah satu foto tersebut.
Deg!
Refleks napas Yara tertahan dengan kelopak mata melebar. Jemari lentiknya mulai gemetar hebat.
"Tidak, ini pasti palsu!"
Detik itu pula Yara langsung membuang foto tersebut ke lantai. Bukannya berhenti, justru tangannya dengan cepat menyambar foto yang lain.
Semua gambar di foto itu serupa. Yara bisa melihat jelas dua pasang tubuh yang sedang berpelukan di sebuah kamar yang jelas bisa ia tebak sebagai apartment William.
"TIDAK! DARA, SIALAN!"
Pada akhirnya, Yara kembali membuang semua foto itu dengan dada yang terasa begitu sesak. Sangat sesak, hingga ia merasa seolah baru saja mengalami asma dadakan.
Entah gambar itu palsu ataupun asli. Namun, Yara tak bisa mengontrol hatinya yang teriris. Gilanya, bukannya berhenti. Yara, justru berniat melanjutkan niatnya dengan meraih flashdisk hitam di samping test pack itu.
Sebelum memeriksanya, terlebih dahulu Yara menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Walaupun metode itu sama sekali tidak membuat perasaannya membaik. Namun, setidaknya ia telah berusaha untuk mengontrol emosi. Yara, tidak ingin mengacaukan semuanya hanya karena emosinya lebih dulu meledak.
Yara, bangkit sambil membawa flashdisk itu, kemudian berjalan ke arah nakas lalu meraih tab dan kabel OTG.
Setelah flashdisk terhubung melalui kabel kecil tersebut. Yara, lantas mulai memeriksa file dalam flashdisk itu.
Dengan jantung berdebar kuat, Yara tetap pada niat awalnya. Mengecek file itu dari atas.
Dari folder pertama yang diperiksa. Yara menemukan beberapa foto kebersamaan William dan Dara. Bukan hanya foto biasa. Namun, hampir semua foto itu menampilkan keduanya yang terlihat dekat.
Pose William dan Dara, bahkan sangat tidak pantas untuk dianggap seperti pose teman. Tidak ada teman yang berfoto dengan gaya seperti itu. Tidak hanya pelukan, tetapi ada yang lebih ekstrim daripada itu.
Sejenak Yara memejam erat. Dadanya naik turun begitu cepat. Tangannya yang bergetar hebat tidak menghentikannya untuk melanjutkan melihat semua isi flashdisk itu.
Tidak, setelah ia terlanjur memeriksa folder pertama. Ia tidak bisa melihat setengah-setengah saja bukti itu. Setidaknya, dia harus mendapatkan celah kesalahan dari bukti yang Dara berikan, dengan begitu segala pemikiran buruknya bisa hilang, dan kembali percaya pada William sepenuhnya.
Berbekal alasan itulah, Yara kembali melanjutkan mengecek folder kedua. Sama seperti isi folder pertama. Di folder kedua itu kembali menampilkan banyak foto kebersamaan William dan Dara.
Ada perbedaan di dua folder itu. Jika di folder pertama foto keduanya berada di dalam restaurant. Foto yang ia lihat saat ini memiliki baground kamar apartemen William. Tidak hanya itu. Namun, waktu pengambilan foto-foto itu pun berbeda.
Seperti yang Dara katakan sebelumnya. Jika menghitung tanggal, bulan, dan tahun foto itu diambil. Maka dengan yakin Yara mengakui jika foto itu dipotret saat tiga bulan pertama mereka menjalin hubungan.
Yara, menggigit kuat bibir bawahnya. Berusaha untuk mengalihkan sakit hatinya. Pikirannya yang sejak tadi sudah disusupi dengan hal negatif. Semakin bertambah parah dengan melihat isi folder dalam disk itu.
Dari beberapa folder yang telah diperiksa. Kini Yara dihadapkan pada folder terakhir, yang ternyata berisi video.
Tangannya semakin bergetar hebat. Otak dan hatinya memberi peringatan keras agar tidak memutar video itu. Namun, itu adalah bukti terakhir, yang diharapkannya bisa membuat asumsi buruknya menghilang.
Walaupun ekspektasinya sangat kecil untuk terwujud. Melihat ada banyak bukti yang membuat perasaannya kacau balau. Yara, seketika mengalami krisis kepercayaan diri.
Hingga pada akhirnya. Apa yang ditakutkan Yara benar-benar terjadi. Saat video itu mulai memutar berbagai reka adegan. Detik itu pula Yara merasa dunianya runtuh. Impian pernikahan yang diidamkannya bersama William luruh bersama desakan air mata yang tak bisa lagi dibendung.
Dara, benar-benar berhasil menghancurkan semua impian besarnya bersama William.
Yara, akhirnya menyerah. Dirinya tak mampu lagi melanjutkan tontonan tak senonoh itu. Bahkan kedua tulang kakinya tak mampu lagi berdiri tegak, membuatnya terkulai dengan gaun putihnya yang menyapu lantai.
Tidak hanya riasan wajahnya yang berantakan, karena lelehan air mata. Namun, rambut panjang bergelombangnya yang telah disanggul indah pun ikut berantakan, sebab kedua tangannya sibuk menarik rambut, dan bahkan melempar hiasan mahkota yang membuatnya terlihat seperti seorang ratu.
Melampiaskan kekecewaan dan segala rasa sakit melalui tangisan keras adalah jalan terbaik untuknya saat ini.
Setengah jam Yara berada di posisi seperti itu dengan tangisan pilu yang memenuhi ruangan make up.
Larut dalam kesedihan yang mendalam. Yara, tidak menyadari jika waktu pengucapan janji pernikahan semakin dekat. Indera pendengarannya pun seolah tak mampu lagi merespon ketukan di balik daun pintu.
Yara, yang masih terbuai dalam tangisnya. Perlahan mulai mengangkat kepalanya. Dengan mata dan hidung memerah parah. Arah pandangannya lantas tertuju ke arah pintu cokelat yang masih tertutup rapat.
'Berhenti, Ara!' Yara menutup bibirnya kuat-kuat agar tidak mengeluarkan isakan lagi.
"Nona Yara, apa Anda berada di dalam? Buka pintunya, waktu untuk masuk ke gedung utama sebentar lagi!"
Seruan dari luar seketika membuat Yara kembali mendapatkan tenaganya. Walaupun tidak sekuat sebelumnya. Namun, ia telah mampu berdiri.
Yara, punya prinsip dalam hidupnya. Orang lain boleh melihatnya bahagia. Namun, dia tidak akan pernah membiarkan seseorang memandangnya dengan tatapan kasihan.
Kendatipun demikian, bukan berarti dirinya akan mengorbankan hidupnya di masa depan. Melewati pernikahan panjang bersama pria, yang telah mengkhianati juga membohonginya. Yara, tidak mampu dan tak sekuat itu untuk menerima kesalahan fatal William.
Sejenak Yara mengatur napas, dan memperbaiki riasannya yang berantakan. Walaupun tak bisa menutupi mata sembabnya. Setidaknya ia telah berusaha untuk tampil sedikit lebih baik di hadapan ratusan tamu undangan. Terutama di hadapan William, dan juga mungkin Dara yang tetap bertahan untuk melihat acara pernikahannya. Walaupun pada kenyataannya ia sama sekali tidak mengundang wanita itu.
Yara, menguatkan hati untuk mengambil bukti-bukti itu. Dia tidak ingin terlihat memalukan dengan menyerang William tanpa pegangan apapun untuk dijadikan sebagai pembelaan diri. Walau pada akhirnya ia akan kembali menyakiti diri sendiri. Namun, hanya inilah yang bisa dia lakukan untuk menyelamatkan dirinya di masa depan.
Dengan menggenggam sebuah bukti konkret. Yara, lantas meninggalkan ruangan itu bersama serpihan hatinya.
**
Setiap langkah yang Yara lewati bersama dengan seorang wanita muda yang sibuk membersihkan ekor gaunnya. Dadanya terus berdebar keras. Keringat dingin, dan gemetar tubuhnya semakin terasa. Jujur saja hal itu membuat mentalnya sedikit down.
Apakah dia mampu untuk berdiri di hadapan banyak tamu undangan dengan kondisi seperti itu? Namun, jika dipikir. Dia tidak bisa membiarkan William dan Dara menang mutlak atas dirinya yang terluka.
Bukankah seharusnya dia harus membela dan membuktikan dirinya kuat, walaupun sikap tegar yang akan ditunjukkannya itu hanyalah tameng untuk menyembunyikan luka batinnya.
Hingga pada akhirnya, Yara menghentikan langkah begitu berada di depan pintu besar dengan dua daun pintu yang siap terbuka lebar untuk menyambut kedatangannya.
"Nona Yara, sebentar lagi akan masuk. Nona bisa menarik napas panjang agar lebih rileks." Wanita muda yang berada di samping Yara memberi saran dengan senyum mengembang. Sayangnya, saat ini Yara sangat tidak menginginkan senyum dari siapapun.
Denting bel mulai terdengar, bersamaan dengan Yara yang mulai menghitung mundur dalam hati.
'Tiga'
'Dua'
'Satu!'
Tepat saat dihitungan terakhir. Kedua daun pintu itu pun terbuka lebar. Lampu sorot seketika menimpa tubuh Yara. Membuat semua perhatian tertuju padanya.
Yara, menelan saliva susah payah. Sebelum benar-benar melangkah memasuki ruangan tempat di mana dirinya akan mengucapkan janji pernikahan bersama William. Yara, menghentikan wanita di sampingnya yang akan segera menyingkir.
"Nona ini apa?" wanita itu menunjukkan flashdisk yang baru saja Yara berikan.
"Aku ingin memberikan kejutan pada calon suamiku. Aku ingin file dalam disk itu tertampil di layar," jelas Yara dengan suara pelan.
Belum sempat wanita itu bertanya lebih lanjut. Yara, lebih dulu melangkah memasuki ruangan tersebut.
Jantungnya berdegup sangat keras. Hingga rasanya terasa sesak. Sesak ketika melihat senyum lepas yang tampak sempurna dari kedua sudut bibir William, yang saat ini sedang melangkah mendekat ke arahnya pula. Berniat hendak menjemputnya.
Kaki kanan Yara berhenti terlebih dahulu ketika bertemu dengan ujung sepatu pantofel William.
Uluran tangan William terasa sangat sulit untuk Yara terima. Telapak tangan yang setelah setahun penuh memberinya perlindungan. Yara, tak menyangka jika hari ini dia tahu jika tangan itu tidak hanya melindunginya seorang. Namun, mungkin ada banyak wanita lain yang pernah merasakannya pula. Memikirkan itu, dada Yara semakin sesak.
"Yara, mari melangkah bersama menuju masa depan kita. Disaksikan oleh Tuhan dan seluruh keluarga serta tamu di sini."
William berucap dengan nada lembut. Terdengar sangat manis, dan semua wanita pasti akan merasa luluh mendengarnya. Begitupun dengan Yara, yang hampir saja terbuai dalam ucapan penuh dusta William.
Seiring detik berlalu, tatapan Yara semakin tajam. Tak ada lagi binar cinta yang sering terpancar dari bola mata indahnya.
Jika saja William mampu melihat betapa Yara menyembunyikan luka dari tatapannya. Pria itu mungkin tidak akan bisa lagi tersenyum lebar seperti saat ini.
"Sayang, hei?" William mencoba menyadarkan Yara dengan bisikan pelan. Nyaris tak terdengar. Namun, indera pendengaran Yara masih sangat normal untuk mendengar alunan nada lembut itu.
Dulu ... sebelum Yara melihat bukti yang Dara berikan. Dirinya selalu menjadi penikmat suara itu. Seolah dirinya ingin mendengar suara itu setiap detiknya.
Namun, untuk saat ini. Entah mengapa dirinya benar-benar muak. Sampai-sampai napasnya ikut memberat menahan desakan emosi. Berhadapan dengan pria yang telah membohonginya, dan menorehkan luka terdalam bukanlah hal yang mudah.
Saat William hendak meraih jari-jemari Yara. Terlebih dahulu Yara menjauhkan tangannya.
Seketika William menyadari perubahan Yara. Namun, masih bersikap tenang. Seolah tidak terjadi apa-apa, dan itu membuat Yara semakin sulit menahan amarah.
"Yara, kita--"
"Aku ingin memberimu kejutan!" potong Yara.
Yara, tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Tidak, sebelum dia mengetahui sifat busuk William yang pria itu sembunyikan darinya selama setahun ini.
Tak memperdulikan kebingungan william. Yara, lebih dulu berjalan ke arah istana kecil yang didekorasi dengan ribuan tangkai bunga mawar merah.
Setiap langkah yang Yara ambil. Senyum miris tak henti-hentinya tersungging dari sudut bibir. Benar-benar merasa miris, hingga rasanya ia ingin menyelesaikan semua masalah ini secepat mungkin, lalu pergi dari ruangan yang menyesakkan dada.
Yara, lantas berdiri di samping William. Menghadap pada seorang pria tua yang sedang menatap keduanya serius.
"Kita akan memulai upacara pernikahan. William August, apakah Anda bersedia, dan tanpa menerima paksaan dari siapapun untuk menjadikan Yara Ophelia sebagai istrimu?"
Setiap kalimat yang tertangkap indera pendengarannya. Ritme jantung Yara semakin bertambah kuat.
"Saya bersedia!"
Yara, merespon jawaban tegas William dengan tangan mengepal kuat.
"Yara Ophelia, apakah Anda bersedia--"
"Tidak! Bahkan sampai mati pun aku tidak bersedia!"
Tanpa keraguan sedikit pun, Yara memotong dengan suara lantang, yang mampu membuat semua tamu syok berat.
William adalah orang paling syok di antara semua yang mendengar jawaban diluar dugaan Yara.
"Yara, apa maksudmu?!" William lantas meraih kedua pundak Yara, sambil mengguncang kecil dengan tatapan melebar sempurna.
Yara, tersenyum sinis bercampur pedih begitu menyadari raut wajah pucat pasi William.
"Lepas!" detik itu pula Yara langsung menepis kedua tangan William.
"Yara--"
"Jangan menyentuhku setelah tangan kotormu itu menyentuh wanita lain! Kau lebih menjijikan daripada sampah busuk sekalipun! Bertemu dan merencanakan pernikahan denganmu, adalah kesialan paling buruk dalam hidupku!"
Suara bentakan dan bahkan hampir menjerit itu memenuhi ruangan. Lantangnya suara Yara, mampu didengar jelas oleh semua tamu undangan. Sebab, di dekat Yara dan William ada sebuah mic yang sejak awal dipasang di sana.
Semua tamu masih dalam keadaan terkejut. Harapan mereka adalah ingin mendengar janji pernikahan. Bukan justru makian dahsyat yang keluar dari bibir Yara.
William yang menyadari semua tatapan sedang tertuju pada mereka. Tak bisa menahan rasa malu luar biasa.
"Yara, jangan membuatku malu! Apa maksudmu bicara seperti itu?! Apa yang terjadi padamu? Katakan yang sejujurnya. Aku tidak mengerti, kesalahan apa yang sudah kulakukan. Kita bisa membicarakan semua ini baik-baik. Tidak sampai seperti ini. Kamu mengacaukan pernikahan kita." William berusaha untuk tidak ikut terpancing.
Tangan kiri Yara terangkat, dengan jari telunjuknya yang terarah pada wajah William.
"Kau yang seharusnya jujur padaku! Bukan aku yang menghancurkan pernikahan ini, tapi kau! Kau yang sudah menghancurkan semua impian besarku!"
"Tidak, Yara--"
"KAU BERSELINGKUH DENGAN WANITA LAIN, BRENGSEK!"
*Bersambung.
Bab 1 1. Impian Yang Hancur.
20/02/2022
Buku lain oleh imnovels
Selebihnya