Adisti pikir keputusannya menolak Ryan dan menikah dengan Zafran sudah benar, nyatanya keputusan yang dia ambil itu salah besar. Awalnya pernikahan Adisti dan Zafran baik-baik saja, tapi ternyata Zafran malah terlibat cinta terlarang dengan wanita lain. Hingga suatu hari, Zafran meminta izin untuk menikah lagi pada Adisti. Tentu saja Adisti tidak mau, dia meminta pisah pada Zafran, namun tak diindahkan. Untuk menghilangkan stresnya, Adisti kembali lagi bekerja, dia kembali bertemu dengan Ryan lagi dan mereka juga terlibat cinta terlarang karena Ryan juga sudah mempunyai pasangan. Mereka terlibat kisah cinta yang rumit. Lalu, kepada siapakah Adisti melabuhkan hati akhirnya, bertahan dengan sang suami atau berpindah hati memilih Ryan. Selengkapnya only on: Forbidden Love
"Adisti? Ke ruangan saya sebentar" ucap Seorang Pria berusia 25 tahun berbicara dengan nada datar, lalu setelahnya berbalik dan kembali masuk ke dalam ruangannya lagi.
Adisti mengerutkan alis, dia lalu menoleh ke arah temannya yang terduduk di sampingnya. "Kenapa ya?"
Shera menaikkan kedua bahunya tak tahu. "Mau ngelamar kali, dia kan suka sama kamu."
"Ck!" Adisti berdecak kesal.
"Lah? Kenapa? Dia kan ganteng, kaya, posisi dia di sini juga oke. Paket lengkap loh! Kenapa ga mau?" tanya Shera.
"Perempuannya banyak! Kalo aku sama dia, aku bisa dipoligami!" jawab Adisti seraya bergidik ngeri.
"Yang penting kan ganteng terus kaya!"
"Ganteng itu relatif! Kaya ga selamanya! Kalo dia punya istri banyak, terus jatuh miskin? Gimana? Cerai gitu? Nikah itu bukan permainan!"
"Iya dah iya! Gini amat debat sama orang pinter," ucap Shera.
"Ck! Terus ini kenapa? Kok aku dipanggil ya?" tanya Adisti lagi.
"Kamu buat salah?"
"Perasaan sih enggak, tapi ya udahlah ... aku samperin dulu," ucap Adisti bangun dari duduknya dan berjalan ke arah ruangan atasannya.
Tok tok tok.
"Masuk," ucap Seorang Pria dari dalam ruangan.
Adisti menarik handle pintu dan mendorongnya pelan. "Pak Ryan tadi panggil saya? Kenapa, Pak?" tanya Adisti.
"Duduk dulu," ucap Ryan.
Adisti lalu duduk dan menatap atasannya.
"Oke ... to the point aja ya, jadi sekretaris saya kan bulan depan resign, jadi saya mau ... kamu yang gantiin dia," ucap Ryan.
"Hm? Saya? Jadi sekretaris Bapak?" Adisti balik bertanya sambil menunjuk dirinya.
"Iya, kamu gantiin Dinda, jadi sekretaris saya," ucap Ryan lagi.
"Kenapa harus saya? Kenapa gak yang lain aja? Saya kerja di sini juga baru tiga bulan loh, Pak. Saya juga gak punya pengalaman jadi sekretaris," ucap Adisti.
"Ya karena saya mau kamu jadi sekretaris saya dan mau kamu yang gantiin Dinda, masalah punya pengalaman atau enggak ya itu urusan nanti, kamu bisa sambil belajar. Lagian gimana mau punya pengalaman kalau belum dicoba," ucap Ryan.
Adisti menatap atasannya itu dengan sangat serius, entah mengapa dia merasa dan berpikir kalau atasannya itu memang sengaja memilihnya agar bisa jauh lebih dekat dengannya. Apalagi dia sering mendengar orang-orang sering membicarakannya. Mereka bergosip dan mengatakan kalau atasannya itu menyukainya.
"Saya gak mau ah, Pak. Saya udah nyaman banget sama posisi saya yang sekarang, udah tau juga kerjaan saya itu apa aja. Selain saya gak punya pengalaman di bidang itu, saya juga gak mau punya tanggung jawab yang besar, jadi sekretaris kan tanggung jawabnya besar."
"Ya gak pa-pa, biar wawasan kamu juga jauh lebih luas," ucap Ryan.
"Kenapa gak Shera aja sih, Pak? Dia kerja di sini udah lama kan? Dia juga jauh lebih pinter, lebih cerdas, cekatan juga dan yang paling penting dia itu mudah beradaptasi dengan orang-orang yang baru dia kenal. Beda sama saya, Pak. Saya orangnya gak bisa so kenal so deket! Bahasa sekarangnya SKSD, saya juga orangnya pemalu. Saya bahkan baru bisa beradaptasi di sini hampir dua bulan. Terus sekarang harus jadi sekretaris Bapak? Aduh ... yang ada saya bikin malu perusahaan nanti," ucap Adisti.
"Hmmm ... gini deh, kamu coba aja dulu tiga bulan, gimana?"
Adisti tersenyum paksa. "Kayaknya dia emang sengaja banget pengen aku yang jadi sekretarisnya," batin Adisti berucap.
"Gimana? Oke?" tanya Ryan lagi.
Adisti menggelengkan kepala. "Enggak, Pak. Saya gak mau," ucap Adisti.
"Hmm ... oke ...." Ryan mengangguk pelan dan terlihat kecewa.
"Udah kan ya, Pak? Saya udah boleh keluar?" tanya Adisti.
Rian mengangguk pelan mengiyakan, Adisti lalu bangun dari duduknya dan keluar dari ruangan Ryan.
***
Pukul 15.55
"Adisti? Ke ruangan saya sebentar, ada yang mau saya omongin," ucap Ryan lalu berbalik dan kembali ke ruangannya lagi.
"Astaghfirullahaladzim, ini orang! Gak liat jam apa gimana sih? Gak liat apa kalau ini udah mau jam pulang," gumam Adisti.
"Sabar," ucap Shera tersenyum miris.
"Jam di ruangan dia mati atau mata dia yang rabun sih? Gak paham sama jalan pikirannya," ucap Adisti menggerutu kesal.
"Sabar ya, udah jalannya kayak begitu," ucap Shera seraya mengelus lengan Adisti.
"Ck!" Adisti berdecak kesal, dia lalu bangun dari duduknya dan berjalan menghentakkan kaki ke arah ruangan Ryan.
Ceklek
Adisti langsung membuka pintu sebelum dia mengetuknya. "Iya pak? Kenapa? Haeehh ...," Adisti sedikit mundur saat atasannya itu ternyata sudah berdiri sekitar dua langkah di depan pintu. "Pak Ryan ngapain?"
Rian mendekati Adisti, dia memegang pergelangan tangan Adisti, menariknya pelan untuk masuk lalu setelah itu dia menutup pintu ruangannya rapat-rapat.
"Pak Ryan mau apa? Jangan macem-macem ya, Pak!" ucap Adisti kembali mundur lagi hingga tubuhnya bersentuhan dengan pintu.
"Adisti?" Ryan meraih dan menggenggam tangan Adisti.
"Haih ... saya kan udah bilang jangan macem-macem," ucap Adisti setelah menghempaskan tangan Ryan dengan kasar.
"Maaf kalau perbuatan saya barusan bikin kamu gak nyaman."
"Ya udah ... to the point aja sih, Pak. Mau ngomong apa? ini udah jam pulang loh," ucap Adisti.
"Hmmm, oke ... saya to the point aja kalau gitu," ucap Ryan sedikit gugup, "Sebenernya, tadi siang waktu saya tawarin kamu jadi sekertaris saya, itu bukan tanpa alasan, itu karena saya suka sama kamu dan biar saya bisa jauh lebih deket sama kamu."
"Hm?" Adisti mengerutkan alis, "Kok bisa?"
"Ya bisa ... saya tertarik sama kamu," jawab Ryan.
"Kenapa harus saya? Perempuan di sini kan banyak, kenapa harus saya sih, Pak?"
"Ya karena saya tertariknya sama kamu," ucap Ryan, "jadi gimana? Kamu mau kan?"
"Mau apa?" tanya Adisti.
"Jadi pacar saya," ucap Ryan.
"Hah? Pacar?" tanya Adisti terbelalak kaget saat atasannya itu memintanya untuk menjadi kekasihnya.
"Iya, jadi pacar saya, gak pa-pa deh kamu gak jadi sekretaris saya, yang penting kamu mau kan jadi pacar saya?" tanya Ryan lagi.
"Kenapa harus saya sih, Pak? Ini saya korban yang keberapa? Ck!"
"Saya serius loh, Dis, Kok malah korban sih?"
"Hmm ... Maaf ya, Pak ... tapi saya gak tertarik untuk pacar-pacaran," ucap Adisti.
"Ya udah gak pa-pa, kamu atur aja kapan waktunya, saya siap kok lamar kamu dan jadiin kamu istri."
"Hah? Istri?" Adisti menatap Ryan dengan tatapan yang semakin kaget.
"Iya, kalau kamu gak mau pacaran ya udah, langsung nikah juga saya siap. Kamu atur aja maunya kapan, saya siap lamar kamu," ucap Ryan.
"Ya Bapak siap, sayanya enggak! Lagian saya gak mungkin terima Bapak!" ucap Adisti.
"Kenapa?" tanya Ryan.
"Hm? Emh ... Engh ... saya ...." Adisti bingung harus beralasan apa.
"Apa? Saya apa?" tanya Ryan lagi.
"Saya udah punya calon suami Pak! Saya udah mau nikah!"
"Udah punya calon suami? Lah tadi katanya kamu gak mau pacar-pacaran, kok sekarang malah bilang udah punya calon suami? Kamu bohong ya?" tanya Ryan.
"Saya gak bohong! Tadi tuh saya bilang gak mau pacar-pacaran sama yang lain ya karena saya udah punya calon suami! Gitu maksudnya!" ucap Adisti beralasan.
"Masa?"
"Iyalah!" jawab Adisti.
"Tapi saya gak percaya," ucap Ryan.
"Ya udah sih terserah Pak Ryan, mau percaya kek, mau enggak ya itu hak Bapak! Yang penting saya udah ngomong! Hmm ... ini udah kan ya? Cuma itu aja kan? Ini udah jam empat lebih, udah jamnya pulang, jadi saya duluan ya, Pak! Permisi!" ucap Adisti berbalik, memegang handle pintu dan menariknya pelan.
"Saya anter kamu pulang."
Adisti menoleh dan menggelengkan kepala. "Gak perlu, Pak. Saya bisa pesen ojek online," ucap Adisti membuka pintu dan keluar.
Ryan ikut keluar dari ruangan dan mengikuti langkah Adisti yang berjalan ke arah mejanya. "Saya masih belum puas sama jawaban kamu, saya masih mau bahas itu sama kamu jadi biarin saya antar kamu pulang," ucap Ryan.
"Gak usah, Pak! Saya mau belanja bulanan dulu soalnya," ucap Adisti seraya mengambil tas di atas mejanya, "Saya duluan ya, Pak ... permisi ...." ucap Adisti lagi melangkahkan kaki dan pergi.
"Disti? Adisti? tunggu!" ucap Ryan kembali mengejar Adisti lagi.
Bersambung