Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Nav, adikmu sudah waktunya membayar uang bulanannya. Nanti kau berikan padaku, ya?"
"Apa yang kemarin belum dibayarkan? Bukannya aku sudah memberikan uang bulanan sekolah mereka kemarin, Bu?" Tangan lentik itu berhenti kala mendengar suara ibunya. Tak disangka, uang yang baru diberikannya seolah hilang tanpa sebab dan meminta kembali, tentu dengan alasan yang sama.
"Bukankah kau tahu sendiri, Nav. Adikmu itu tidak hanya membayar uang bulanan sekolah, tapi juga kas. Uang yang kemarin kau berikan itu tentu untuk membayar kas saja."
Navier—wanita berusia dua puluh tahun yang harus menjadi alat pencari uang itu, menghela napas berat. Selalu seperti itu. Bagi Navier yang hanya lulusan menengah pertama, membiayai sekolah adik-adiknya tentu bukan perkara yang mudah. Tidak hanya satu, melainkan dua. Dan mereka bersekolah di salah satu sekolah swasta elit yang tentu biayanya tidak main-main.
Ayah dan ibunya masih lengkap, dengan kesehatan yang cukup untuk menghasilkan lebih banyak uang. Hanya saja, ibunya memilih untuk menjadi ibu rumah tangga, dan sang ayah yang hanya seorang karyawan biasa tentu tidak bisa memenuhi semua hal dengan cukup.
Seperti saat ini, di mana Navier diminta untuk membayar uang bulanan adiknya. Padahal, beberapa hari yang lalu dia sudah memberikan sejumlah uang untuk membayar tagihan bulanan.
"Bu, aku sudah memberi mereka uang bulanan sekolah sekaligus iuran kas. Mana mungkin mereka menagih lagi?" tanya Navier. Jumlah untuk membayar uang kas dan bulanan tentu bukan jumlah yang sedikit. Bahkan, gajinya saja sudah hampir habis dan waktu ke penerimaan gaji berikutnya masih lama.
"Jadi kau meragukan adik-adikmu?"
"Bukan begitu ...."
"Kalau kau tidak meragukannya, ya sudah! Beri saja apa yang mereka minta. Mungkin saja kau memberi mereka uang yang kurang untuk membayarnya, jadi mereka meminta lagi untuk menutupi kekurangannya."
Navier menghela napas dalam untuk meredakan emosinya. Selalu saja seperti ini, di mana sang ibu membela adik-adiknya, bukan malah mendengar penjelasan dari dua belah pihak. Navier pikir, sang ibu sudah tidak memiliki rasa keadilan untuknya.
"Tapi, Bu, uangku sudah ...."
"Ibu tak mau tahu, kau sudah harus memberikannya malam nanti!"
Sang ibu berlalu meninggalkannya tanpa mendengar alasan lebih jauh, dan tanpa memberinya kesempatan untuk menjawab, pula.
Navier berpikir, selalu saja seperti itu saat mereka meminta uang. Dengan alasan ayahnya yang tidak pernah memiliki gaji yang cukup, mereka seolah memeras keringatnya. Navier bukan tak tahu jika ayahnya sering pulang lebih pagi, sedangkan dirinya harus bekerja hingga menjelang dini hari. Namun, bukannya mereka merasa iba dan membantu Navier dengan mencari pekerjaan lain, mereka seperti semakin menyamankan diri.
Ibunya beralasan jika bekerja, anak-anaknya tidak akan memiliki cukup kasih sayang. Sedangkan ayahnya, mencari pekerjaan lain akan membuatnya cepat lelah. Alasan yang cukup masuk akal, tetapi tidak cukup kuat untuk masuk di logika gadis itu.