Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Derita berujung bahagia

Derita berujung bahagia

intang bintang

5.0
Komentar
13.1K
Penayangan
175
Bab

Dengan kedua tangannya sendiri, Arini telah membesarkan anaknya seorang diri. Hidup tertatih-tatih berjuang untuk bertahan hidup itu sudah biasa dia rasakan. Meskipun dia lelah dan capek itu tak masalah, asalkan anaknya bisa hidup bahagia, dia rela dan ikhlas menjalaninya. Namun setelah anaknya tumbuh dewasa dan sukses tiba-tiba muncul kembali mantan suaminya dan keluarganya setelah belasan tahun lamanya menelantarkan dan mencampakkan anaknya seperti sampah. Dengan tidak tahu malunya mantan suaminya meminta harta kepada sang anak, dengan dalih di tubuh anaknya mengalir darahnya. Sungguh itu membuat otak Arini mendidih, benci yang teramat sangat. Arini dendam, ya memang dia dendam. Dan siapa yang harus disalahkan? Dia atau mantan suaminya yang tak tahu malu itu? Dan di perjalanan hidupnya Arini menemukan jodohnya. Dan tahukah jodohnya itu siapa? Yang jelas ada kaitannya dengan keluarga Hakam. Yuk, ikuti ceritanya 🥰🥰

Bab 1 Dasar tak tahu diri

"Bang, kamu mau apa datang kesini?" tanyaku sinis dan ketus.

Bang Hakam dan keluarga besarnya terlihat menatap tajam ke arahku. Mungkin mereka merasa heran dengan perubahan sikapku yang sekarang, berani melawan pada mereka. Tidak seperti dulu sewaktu masih menjadi Istri Bang Hakam yang selalu tunduk dan tunduk. Ah, begitu bodohnya aku yang dulu.

"Perlu kamu ingat Arini! Shaka juga anakku, darah dagingku, jadi aku berhak menghadiri acara wisudanya," jawab Bang Hakam dengan entengnya berbicara seperti itu.

Rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak ketika mendengar perkataan Bang Hakam barusan. Dengan entengnya dia bicara mengenai darah daging. Sedangkan dulu dia kemana aja selepas kita berpisah? Bukankah darah dagingnya membutuhkan nafkah darinya? Tapi tidak dengan Bang Hakam, dia menelantarkan Shaka, mencampakkannya seperti sampah. Dulu dia pasti sibuk dengan Istri barunya, dan mungkin menghabiskan uangnya bersama orang tuanya beserta saudara-saudaranya yang lain.

Dan sekarang setelah anakku akan meraih kesuksesan dan tinggal memetik hasil dari perjuangannya, barulah dia bilang darah daging pada Shaka. Hah, apa itu tidak lucu?

"Apa darah daging? Apa aku tidak salah dengar? Hallo, Bang Hakam yang terhormat dulu kamu kemana saja, hah? Di saat anakku membutuhkan nafkahmu, kamu tak sepeser pun bertanggung jawab padanya. Dan sekarang kamu bilang darah daging? Mimpi, ya, kamu. Sekarang anakku tak butuh lagi keberadaanmu. Lebih baik sekarang kamu pergi saja dari sini." Aku berdecak sebal, jijik melihat wajah Bang Hakam saat ini yang ada di hadapanku.

Wajah Bang Hakam dan keluarga besarnya terlihat merah padam. Apalagi Ibunya Bang Hakam yang mencebik setengah mati kepadaku. Rupanya sifatnya yang angkuh tidak berubah seperti dulu.

"Eh, Arini jangan sombong kamu, ya! Mentang-mentang kamu bisa membesarkan Shaka seorang diri, lantas kamu tak menganggap Hakam sebagai Ayahnya Shaka. Wanita macam apa kamu ini, hah?" Kini giliran Ibunya Bang Hakam yang berkata sambil berkacak pinggang. Benar-benar keluarga yang tahu diri. Sebenarnya terbuat dari apa hati dan pikiran orang ini? Hingga tanpa malu sedikitpun dia menghardikku seperti itu.

Aku menarik nafas dengan kuat. Jika saja ini bukan di tempat umum, sudah kudamprat mulut wanita tua yang tak tahu malu itu.

"Memang iya aku membesarkan Shaka seorang diri tanpa sepeserpun bantuan dari anakmu itu. Sombong? Pastilah aku sombong, karena membesarkan anakku dengan tetesan keringatku, bukan keringat anakmu. Sekarang saja kamu mengaku Shaka sebagai anak Bang Hakam, dulu kamu mana sudi mau mengakui Shaka sebagai anak Bang Hakam, karena kamu takut Shaka mendapat jatah warisan dari almarhum suamimu, bukan begitu?" Tak tanggung-tanggung aku membeberkan semua kejelekan mereka di masa dulu kepadaku dan Shaka.

Ibunya Bang Hakam langsung diam tak berani bicara lagi, mungkin dia takut aku akan membeberkan masalah warisan almarhum suaminya yang tak memberi sedikitpun warisan pada Shaka. Padahal secara hukum Shaka juga berhak mendapatkannya, karena dia juga cucu mereka sendiri. Namun dasar mereka orang serakah tak ingin hartanya berkurang, lantas melupakan Shaka sebagai salah satu ahli waris harta almarhum Ayahnya Bang Hakam. Tapi biarlah aku sekarang tak mengungkit secara dalam lagi. Toh, anakku sekarang sudah dewasa dan sebentar lagi tinggal menunggu hasilnya saja. Jadi Shaka tak akan butuh harta warisan itu lagi.

Sedangkan Bang Hakam terlihat mengepalkan tangannya, demi mendengar kata-kataku yang pastinya tajam menusuk hatinya. Namun dia juga sama halnya seperti Ibunya diam tak bergeming. Bahkan saudara-saudaranya yang lain lebih memilih menghindar dan menjauh dariku. Mungkin mereka takut kena semprot sasaranku selanjutnya, karena mereka juga merasa telah banyak menghabiskan uang Bang Hakam daripada Shaka, yang seharusnya dia nafkahi. Meskipun sudah berpisah denganku tapi anak tak ada kata bekas anak.

Ketika aku dan keluarga Bang Hakam sedang bersitegang, tiba-tiba Shaka anak semata wayangku itu menghampiriku.

"Ibu, kemana saja? Pergi tidak bilang-bilang. Tadi aku mencari Ibu sampai pusing, eh ternyata ada di sini." Shaka mencium pipiku, mungkin dia senang sudah menemukanku. Ya, memang tadi aku pergi sebentar untuk ke kamar mandi, dan tidak disangka bertemu dengan mantan suamiku dan keluarganya setelah belasan tahun lamanya tidak bertemu.

"Maaf, Nak, tadi Ibu pergi ke kamar mandi. Acaranya sudah selesai?" tanyaku sambil merapikan baju kebesaran wisudanya, dan tanpa sedikitpun aku membiarkan anakku menoleh pada Bang Hakam.

"Sudah, Bu. Oh, iya kita foto-foto dulu sama teman Shaka, yuk, Bu," jawabnya yang hanya menatap ke arahku saja. Rupanya Shaka pun tidak sudi menoleh ke arah Ayahnya. Ya, aku pun tahu karena luka hatinya yang sudah menganga besar atas perlakuan dan ketidak pedulian Bang Hakam kepadanya, hingga dia enggan hanya sekedar untuk menyapa Ayahnya pun.

Terdengar deheman kecil dari Bang Hakam, seolah-olah dia ingin menghentikan pembicaraanku dengan Shaka.

"Nak, selamat, yah, atas keberhasilanmu, Ayah ikut senang. Denger-denger kemarin kamu kuliah sambil kerja," ucap Bang Hakam yang terdengar basa-basi kepada Shaka. Entah apa maksudnya dia menanyakan perihal pekerjaan anakku Shaka, dan itu membuat aku sedikit curiga, seperti ada udang di balik batu atas kedatangan tiba-tiba Bang Hakam dan keluarganya itu.

Dengan terpaksa Shaka mau tidak mau menoleh ke arah Ayahnya. Dan tentunya dengan tatapan tak suka dari anakku.

"Iya, kemarin aku kuliah sambil kerja. Memangnya kenapa bertanya seperti itu?" sahut Shaka dingin dan datar.

"Ada yang ingin Ayah bicarakan denganmu. Bisa kita bicara berdua saja." Bang Hakam bicara seolah-olah dia tak pernah punya salah sedikitpun kepada Shaka. Bahkan berani-beraninya dia mengajak Shaka mengobrol berdua. Benar-benar tidak tahu malu.

Terlihat Shaka mengerutkan keningnya. Mungkin bertanya-tanya apa yang ingin dibicarakan Bang Hakam padanya? Yang terdengarnya seperti penting.

"Jika ingin bicara,ya, bicara saja di sini!" sahut Shaka yang terdengar singkat saja. Lalu dia membuang wajahnya dan kembali menoleh ke arahku sambil tersenyum.

Terlihat Bang Hakam melirik ke arah Ibunya, seperti ada sesuatu hal yang penting yang ingin mereka sampaikan pada Shaka. Dan itu membuatku semakin tak enak hati saja.

"A-anu Ayah minta tolong sama kamu, Nak. Ayah butuh uang untuk lahiran Mira." Sepertinya Bang Hakam ragu untuk mengatakannya. Terlihat wajahnya memelas, mengiba memohon pada anakku.

"Iya, Nak, Nenek mohon bantulah kami! Kami sangat butuh untuk uang lahiran Mira. Kasihan dia, Nak." Kini giliran wanita tua itu yang mengiba pada Shaka.

Repleks aku membelalakkan mataku. Apa aku tak salah dengar? Orang-orang yang dulu mencampakkan dan menelantarkan anakku, sekarang dia meminta belas kasih dan pertolongan padanya. Rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak mengolok-olok mereka. Benar-benar orang yang tak tahu diri. Dan benar tepat dugaanku, ternyata ada udang di balik batu atas kedatangan Bang Hakam dan keluarganya yang tiba-tiba itu. Tak mungkin mereka akan sengaja datang menemui anakku, jika tak ada maksud tertentu.

"Bang, apa aku tak salah dengar? Kamu minta bantuan sama anakku. Kamu punya rasa malu nggak?" sindirku pedas. Benci dan jijik itulah yang ada di dalam benakku saat ini.

Bang Hakam langsung melirik ke arahku dan berdecak sebal. Seolah-olah dia ingin menantangku.

"Arini aku minta bantuan sama anakku, darah dagingku bukan sama kamu. Dan kamu jangan besar kepala seperti itu." Dengan manisnya dia berbicara seperti itu padaku. Benar-benar rasa malu dalam dirinya sudah tidak ada lagi.

"Oh, ya, lantas jika bukan karena aku, hidup Shaka akan seperti apa, hah? Apa kamu peduli saat dulu dia menangis karena perih menahan lapar? Tidak, kan? Dulu kamu hanya peduli sama Istri baru dan keluargamu saja. Oh, ya, kamu minta bantuan saja pada anak tirimu itu, bukankah kamu lebih sayang sama anak tirimu daripada Shaka." Aku membalas semua perkataan Bang Hakam dengan sengit, tak peduli dia sakit hati atau tidak. Yang jelas aku mengungkapkan semua kebenaran yang ada.

"Cukup Arini! Jangan kurang ajar kamu sama aku. Aku juga berhak merasakan keberhasilan Shaka, karena aku adalah Ayahnya," bentak Bang Hakam yang siap melayangkan tangannya menampar pipiku. Namun tak semudah itu dia akan menamparku, karena di sampingku ada Shaka, anakku yang siap menjaga dan melindungi Ibunya.

"Hentikan, Yah!" Dengan kasarnya Shaka langsung mencekal pergelangan tangan Bang Hakam dan menghempaskannya dengan kasar pula.

"Jangan pernah mencoba menyakiti Ibuku, karena Ayah tak berhak melakukannya. Dan maaf aku tak banyak uang untuk membantu lahiran Istri barumu itu. Minta saja sama anaknya jangan sama aku," ucap Shaka sopan, tapi terdengar sangat tajam menusuk hati Bang Hakam.

Bang Hakam tak menyahutinya lagi, ketika sudah mendengar kata final dari Shaka, yang tak akan membantunya. Dadanya terlihat naik turun, demi menahan amarahnya pada penolakan Shaka. Namun rupanya dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Entah sadar diri atau belum saatnya lagi meminta bantuan pada Shaka? Yang aku tahu tipe orang seperti Bang Hakam memang orang yang tak punya urat malu.

"Ayo, Bu, kita pergi saja dari sini!" ajak Shaka yang segera menarik tanganku agar segera menjauh dari orang-orang tak tahu diri ini.

Selanjutnya aku dan Shaka pun pergi meninggalkan tempat ini, ikut bergabung dengan teman-teman Shaka yang sedang berfoto ria atas kelulusan akademi mereka. Tak peduli dengan tatapan mata Bang Hakam dan Ibunya yang terlihat iri kepada kami.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku