Derita berujung bahagia
i
yang sudah semakin buncit, aku berjalan kasar dan cepat menuju kamarku. Lag
usirku! Dasar wanita jelek, kampungan!" Aku berteriak sendiri
g Hakam sebagai Ayah kandungnya. Padahal sebelumnya aku merencanakan semua ini karena perekonomian rumah tanggaku sedang morat marit kekurangan uang, dan sengaja
dia sudah punya usaha sendiri, rumah makan yang lumayan cukup bagus meskipun tidak terlalu besar, namun itu sukses membuatku iri setengah mati. Sekarang berbalik, aku yang miskin dia yang kaya. Semua in
ka melihat uang banyak. Uang pasangon Bang Hakam aku habiskan untuk poya-poya saja. Membeli baju-baju bagus, tas-tas bermerek dan
u izinnya. Lagipula kalau aku meminta izin padanya bisa dipastikan dia tidak akan meng
mu!" Untuk yang kedua kalinya ak
asa marah dan kesalku pada Si Arini wanita kampungan itu. Aku melampiaskannya pada benda-benda
mang seperti orang gila saja, mengamuk tidak jelas seorang diri. Padahal aku sekarang sedang hamil besar,
ba pintu kamar terbuka kasar, dan siapa lagi yang akan
h begini. Lagian kamu ini dari pagi kemana saja, hah? Pergi nggak bilang-bilang sama suami,
iskin, aku benci benci." Amarahku semakin menggila. Ingin rasanya
terlihat geram kepadaku. Raut wajahnya berubah me
gi kesan manis dan lembut dalam diriku. Ya, dulu aku bersikap manis karena dulu Bang Hakam kaya banyak duitnya. Sekarang dia kere dan miskin buat apa aku
idak ada yang mau mengerti, sama-sama keras kepala dan ingin menang sendiri. Hingga akhirnya emosiku yan
sampingku di tepi tempat tidur. Terlihat wajahnya mulai melunak, tidak segarang wajah yan
edang hamil besar dan mungkin sebentar lagi akan melahirkan." Dari nada suaranya
staku yang sengaja memasang wajah kesakitan. Meskip
n kasihan dede bayinya." Di saat inilah aku harus mengg
keuangan kita. Jangan Si Arini saja yang mau menikmati kesuksesan Shaka, kita juga wajib merasakan kesuksesan Shaka." Sengaja untuk saat ini aku bersikap manis lagi seperti di saat awal-awal pernikahanku dulu. Ya, biarlah kuturunk
dia sedang bingung. Mungkin dia belum men
tidak ngerti," tanyanya sa
arus mengeluarkan jurus aktingku, agar Bang Haka
nya uang lagi. Sebenarnya tadi aku pergi menemui Arini. Aku ke sana untuk melakukan penawaran dengannya." Sengaja aku me
kamu katakan barusan itu." Tuh kan benar, dia memang suami yang bodoh. Ya, pant
Shaka giliran tinggal bersama kita. Adil kan Si Arini maupun Abang sama-sama pernah merasakan hidup bersama Shaka. Namun dia nolak tidak mengizinkan kita mengambil Shaka. Si Arini tuh serakah ingin merasakan kesuksesan S
ut. Rupanya dia mulai terlihat tertarik dengan ucapanku. Dan memang
t bibirku. Bahagia ternyata jurus aktingku ini bisa diandalkan juga. Dan se
. Rugi benar loh, Bang, kalau Shaka tidak tinggal sama kita. Keenakan Si Arini tuh makin kaya saja. Oh, ya, Bang tahu tidak sekarang Si Arini sudah punya rumah makan, dan tentunya juga Shaka yang ngemodalin. Jadi serakah kan Si Arin
dia sedang menimbang-nimbang kata yang harus dia u
buku, karena dia jago dalam berbicara. Dan itu pasti akan memperkuat posisi kita se
, ternyata Bang Hakam dengan muda
bumu agar datang ke sini, agar dari sini kita bersama-sama pergi
menelepon Ibu agar datang ke sini," sahut Bang Hak
n membereskan semua kekacauan yang tadi aku lakukan. Mengumpulkan serpihan-serpihan kaca dan merapikan kembali barang-barang yang ber
kin kamu akan kewalahan jika digempur banyak orang. Aku sudah tidak sabar ingin menikmati hasil jeri
bali di samping suamiku tercinta, dan itu
akan datang ke sini
i," jawabnya sambil tersenyum. Ah, Bang Hakam betapa bodohnya dirimu
gi di dalam hati a