Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
Ketika pertama kali menampaki kampung halaman, hati gadis cantik ini gamang. Seribu satu macam perasaan campur aduk. Sudah benarkah langkah yang ditempuhnya saat ini? Ia kembali ke masa lalunya. Bandung. Yang merupakan tempat kelahirannya, tempat dia tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan dewasa. Tempat yang membawa duka yang tak berkesudahan. Lima tahun berlalu. Tiba-tiba Diandra merasa deras waktu menyeretnya kembali.
Pesawat telah sedari tadi lepas landas. Aktifitas di bandara juga sudah semakin berkurang. Dua, tiga orang terlihat masih mondar-mandir mendorong kereta barang. Diandra masih termanggu di ruang tunggu. Entah apa yang gadis cantik ini pikirkan? Air matanya tiba-tiba menetes, Ia berusaha menghapus bulir air matanya yang masih membasahi wajah cantiknya.
Sejak tadi matanya berkeliling, mengamati setiap sudut bandara. Sudah banyak yang berubah. Diandra meneliti setiap orang yang berlalu-lalang. Tak ada satu pun orang yang ia kenali atau mengenalinya. Semua terasa sangat asing.
“Taksi, Mbak?” tegur Bapak supir taksi tersebut dengan sangat ramahnya.
Diandra memandangi sekilas supir taksi tersebut, mungkin Bapak supir taksi ini merupakan supir taksi yang keduapuluh yang menghampirinya. Karena Diandra yang tak tega, akhirnya dia mengangukan kepalanya. Supir taksi tersebut berkumis tebal, memiliki postur tubuh yang kurus. Apa lagi Bapak supir taksi tersebut sudah tua.
Ia lalu mengekori langkah kaki Bapak tersebut yang Nampak sekali kerepotan mengangkat barang belanjaannya. Diandra sengaja tak memberitahukan kepulangannya yang secara mendadak dari Bundanya.
Dia ingin membuat kejutan kecil. Sudah lama sang Bunda memintanya untuk pulang, tetapi Diandra selalu menolak dengan berbagai macam alasan. Padahal, semuanya hanya bermuara pada satu alasan saja : yaitu adalah Robert! Setelah peristiwa itu, Diandra masih belum mampu melupakan apa pun kenangan yang menyakitkan. Tiba-tiba hatinya merasakan sesak.
Taksi berjalan agak lambat. Gerimis jatuh satu persatu. Lewat kaca mobil yang buram, Diandra menikmati suasana di luar sana. Semua sudah Nampak berubah. Satu, dua gedung pencakar langkit tampak meramaikan kota. Jalanan yang dulu lengang, kini terlihat sangat padat. Macet mulai mengisi dimana-mana.
“Di depan belok kanan atau kiri mbak?” tanya supir taksi tersebut dengan ramahnya. Melirik Diandra melalui kaca spionnya.
“Kiri,Pak. Rumah yang gradasi hijau itu!”
Taksi berhenti di depan rumah bergadasi hijau dengan perkarangan yang sangat luas.
“Ini, Pak. Makasih, Diandra menyodorkan uang limapuluh ribuan.
Diandara melangkahi anak tangga dari batu. Dulu, ratusan kali sudah ia melangkahi anak tangga tiga tingkat itu. Bahkan, pernah saat dia buru-buru mau berangkat sekolah, dia hampir terjatuh di tangga itu. Semua begitu jelas, walau pun sudah lima tahun berlalu.
Diandra terpaku tepat di depan teras. Rumah di ha-dapannya juga sudah berubah. Di sampingnya, ada tamanan kecil penuh dengan bunga mawar aneka warna.
Teras itu sendiri menghadap ke halaman luas. Di halaman itu, Nampak ada pohon manga, pohon pisang dan pohon salak. Beberapa rumpun bunga kana menghiasi tepi pagar. Rimbunnya pepohonan yang menutupi teras, membuat suasana menjadi teduh dan nyaman.
“Nyari siapa, Mbak?” tanya seorang perempuan yang jauh lebih mu-da, kira-kira lebih muda darinya.
Dengan tersenyum, gadis muda tersebut menghampirinya.
Diandra mengerutkan keningnya. “ini rumahnya Ibu Nita, kan?”
“Mbak ini,….”
“Aku Diandra, putrinya.”
“Ohh, Mbak Diandra. Saya Santi pembantu baru di sini.”
“Bu…. Ibu…..!” teriak Santi, “Mbak Diandra pulang!”
Seorang wanita tua tergopoh-gopoh keluar. Diandra terpaku menatap wanita tua di hadapannya. Garis-garis tampak jelas di wajahnya. Membuatnya terlihat sangat tua. Diandra berlari menyongsong wanita itu. Mengecup punggung tangannya dan memeluknya erat.
“Kenapa nggak ngomong dulu Nak, kalo kamu mau pulang?” tanya wanita itu ketika pelukan terlepas.
“Kalau ngomong bukan surprise namanya.”
“Akhirnya, kamu pulang juga, Nak.”
Mata tuanya berkaca-kaca, “kalo tau bakalan pulang hari ini, kan, bisa di jemput.”