Seorang wanita muda yang baru menikah menghadapi kenyataan pahit bahwa suaminya menjalin hubungan dengan rekan kerjanya. Dalam proses menghadapi pengkhianatan ini, ia menemukan kekuatan untuk membangun kembali hidupnya sendiri.
Clara berdiri di depan cermin besar yang memantulkan bayangan dirinya dalam gaun pengantin putih yang indah. Di luar jendela, langit biru cerah mengiringi pagi yang sempurna. Suasana di rumah penuh dengan tawa, kegembiraan, dan kebahagiaan. Semua orang mengagumi kecantikannya, terutama Daniel, suaminya yang baru saja menikahinya.
Clara tersenyum tipis, memandang dirinya sendiri. Semua yang dia impikan akhirnya menjadi kenyataan. Hari ini adalah hari terpenting dalam hidupnya, hari di mana ia berjanji untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama Daniel. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya-sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan. Sebuah rasa yang mulai tumbuh sejak beberapa minggu terakhir ini.
"Clara, kau terlihat cantik sekali," suara Daniel terdengar di belakangnya, disertai dengan pelukan hangat yang mengejutkannya. Clara membalikkan tubuh, melemparkan senyum manis pada suaminya.
"Terima kasih, sayang. Kau juga tampan sekali," jawab Clara, matanya menyiratkan kebahagiaan yang ia coba tampilkan.
Daniel tersenyum, tapi ada sedikit kejanggalan di matanya. Clara menangkapnya, tapi ia memilih untuk mengabaikannya. "Kau siap untuk hari ini?" tanya Daniel, menatapnya dalam-dalam.
"Siap," jawab Clara dengan mantap, meski hatinya bertanya-tanya, apakah benar ia siap? Apakah semuanya akan baik-baik saja?
Upacara pernikahan berlangsung dengan sempurna. Clara dan Daniel berdiri di hadapan pendeta, saling mengucapkan janji setia di depan keluarga dan teman-teman dekat mereka. Semua orang tersenyum, menyaksikan dua jiwa yang saling mencintai, tetapi Clara merasakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Ada sesuatu yang hilang.
Ketika mereka meninggalkan gereja sebagai pasangan suami-istri, angin lembut berhembus, dan Clara merasa seakan dunia di sekitar mereka terhenti, hanya ada dirinya dan Daniel. Namun, meski di luar semuanya tampak sempurna, ia merasa ada celah yang semakin menganga di antara mereka.
Di malam resepsi, Clara berdansa dengan Daniel, menatapnya penuh cinta. Lagu-lagu romantis mengalun lembut, dan semua tamu menikmati suasana yang meriah. Namun, di antara tawa dan kegembiraan, Clara tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya.
"Daniel, apakah kau bahagia?" tanya Clara pelan, meski pertanyaan itu seharusnya tidak perlu diajukan di hari yang penuh kebahagiaan ini.
Daniel menatapnya, sedikit terkejut dengan pertanyaan tersebut. "Tentu saja. Kau tahu aku bahagia, Clara. Hari ini adalah hari terbaik dalam hidupku."
Clara tersenyum, meski masih ada rasa ragu yang tak bisa dia singkirkan. "Aku senang mendengarnya," jawabnya, walaupun ada bayangan keraguan di balik senyum itu.
Setelah pesta berakhir dan semua tamu pulang, Clara dan Daniel melangkah ke kamar pengantin mereka. Clara duduk di pinggir tempat tidur, menatap suaminya yang sedang melepaskan dasinya. Suasana kamar yang romantis tidak bisa menghilangkan perasaan asing yang menyelimuti hatinya.
"Daniel, ada yang aneh ya? Seperti ada yang berbeda," Clara membuka percakapan dengan hati-hati. "Aku merasa seperti ada sesuatu yang tertahan."
Daniel berhenti, menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. "Apa maksudmu?" katanya, suaranya terdengar datar, tidak sehangat biasanya.
Clara menggigit bibir, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku tidak tahu, hanya... rasanya seperti ada jarak antara kita."
Daniel menyandarkan tubuhnya di meja rias, lalu menghela napas panjang. "Clara, jangan khawatir. Ini hanya perasaanmu saja. Hari ini adalah hari yang luar biasa, bukan?" jawabnya, berusaha mengalihkan perhatian Clara dari pertanyaan yang semakin mengganggunya.
Clara terdiam, hatinya semakin dihantui oleh ketidakpastian. Ia tidak tahu apa yang salah, tapi perasaan itu semakin kuat, semakin tak terbendung.
Saat Clara berbaring di tempat tidur, matanya terpejam, dan pikirannya masih dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Dia ingin merasa bahagia, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa menipu perasaan itu. Ia tahu bahwa kebahagiaan yang tampaknya sempurna ini bisa saja berubah dalam sekejap.
Dalam keheningan malam, suara Daniel yang terlelap di sebelahnya hanya membuat Clara semakin terjaga. Ia menggenggam tangan Daniel, merasakan kehangatannya, namun di dalam hatinya, ada kekosongan yang perlahan menggerogoti.
Hari yang seharusnya penuh kebahagiaan kini justru membawanya pada sebuah pertanyaan besar yang belum bisa ia jawab: Apakah cinta ini benar-benar seindah yang ia bayangkan?
Clara terbangun keesokan paginya dengan sinar matahari yang menyelinap masuk melalui tirai kamar pengantin mereka. Ia membuka mata, merasa sedikit bingung antara kenyataan dan mimpinya semalam. Semua terasa begitu indah, begitu sempurna-tetapi ada perasaan yang tidak bisa ia ingkari.
"Selamat pagi, sayang," suara Daniel terdengar dari samping tempat tidur, memecah kesunyian pagi itu. Ia sudah duduk di pinggir tempat tidur, mengenakan kaus oblong dan celana tidur, tersenyum dengan hangat seolah tidak ada yang berubah sejak kemarin.
Clara tersenyum kecil, namun ada keraguan yang tersembunyi di balik matanya. "Pagi, sayang," jawabnya pelan, mencoba mengatur perasaan yang bercampur aduk.
Daniel melihatnya dengan penuh perhatian. "Ada apa, Clara? Kau tampak sedikit murung," katanya, mengusap rambut Clara yang sedikit berantakan.
Clara mengalihkan pandangannya, berusaha menyembunyikan perasaan yang mengganjal. "Tidak, aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah. Mungkin karena pesta semalam," jawabnya, berusaha terlihat normal.
Daniel tertawa kecil, "Kita baru saja menikah, Clara. Jangan mulai terlihat seperti nenek-nenek yang lelah." Ia memeluknya dengan lembut, mencoba membuat suasana lebih ringan.
Namun, Clara hanya membalas pelukan itu dengan pelan, tidak sehangat biasanya. Ada perasaan yang semakin menekan dadanya-perasaan yang ia tak tahu harus diungkapkan kepada siapa. Ia merasa seolah ada sesuatu yang terlupakan, sesuatu yang sudah lama tak diungkapkan, dan ia mulai merasa takut.
Mereka menghabiskan pagi itu bersama, sarapan dengan tenang dan mengobrol tentang masa depan mereka. Clara mencoba untuk menenangkan dirinya, mengingatkan bahwa perasaan yang muncul adalah hal biasa bagi pengantin baru. Namun, dalam hatinya, Clara terus bergumul dengan pertanyaan yang tak terjawab.
Di tengah makan pagi yang hangat, Daniel menerima sebuah panggilan telepon. Clara menangkap sekilas ekspresi wajahnya yang berubah ketika menatap layar ponselnya, tapi ia segera menyembunyikan ekspresi itu dengan senyuman.
"Aku harus keluar sebentar, sayang. Ada urusan kantor," kata Daniel, berdiri dari meja makan.
Clara mengangguk, meskipun dalam hati ia merasa sedikit tergores. "Tentu, tidak masalah. Aku bisa mengurus semuanya di sini."
Daniel memberikan ciuman cepat di pipinya sebelum bergegas meninggalkan kamar. Clara menatap pintu yang tertutup, perasaan aneh muncul lagi-sebuah ketidakpastian yang terus mengusik pikirannya.
Sore harinya, Clara sedang bersantai di ruang tamu, memeriksa beberapa pesan di ponselnya. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari luar, dan Clara tahu Daniel baru saja kembali. Ia bangkit dan berjalan ke pintu dengan senyum yang lebih alami, berharap perasaan cemas itu bisa hilang.
Namun, ketika ia membuka pintu, ia terkejut melihat Daniel berbicara dengan seseorang di luar. Seorang wanita, yang Clara kenali sebagai Rina, rekan kerja Daniel yang sering ia dengar namanya disebut. Mereka tampak sangat akrab, tertawa bersama seperti teman lama. Clara merasa matanya terbelalak tanpa bisa mengalihkan pandangannya.
Rina tersenyum dan menyapa, "Hai, Clara. Selamat ya, hari ini hari yang luar biasa!"
Clara hanya bisa membalas dengan senyum kaku. "Terima kasih, Rina. Kau datang? Kita belum sempat ngobrol banyak di pesta tadi malam," jawab Clara, berusaha terdengar ramah, meski ada sesuatu yang tak bisa ia sembunyikan dalam suaranya.
Daniel menoleh ke Clara, melihat kekakuan di wajah istrinya. "Aku hanya mengantar Rina ke mobilnya. Dia baru saja menyelesaikan beberapa pekerjaan di kantor," jelas Daniel dengan nada yang sedikit terburu-buru.
Rina mengangguk, "Iya, betul. Aku harus pergi sekarang. Semoga kita bisa ngobrol lebih banyak di lain waktu, Clara. Selamat menikmati masa-masa indah ini!"
Setelah Rina pergi, Clara berdiri di ambang pintu, menatap suaminya dengan tatapan tajam yang sulit disembunyikan. Daniel berjalan mendekat dan meletakkan tangannya di pundaknya.
"Clara, kenapa kamu terlihat cemas? Apa yang kau pikirkan?" tanya Daniel, namun suara kekhawatiran di balik kata-katanya semakin menambah rasa curiga di hati Clara.
Clara terdiam, mencoba menenangkan diri sebelum mengeluarkan pertanyaan yang sudah lama ingin ia ajukan. "Daniel, apakah kau merasa... ada yang berbeda dengan hubungan kita?" Clara bertanya, suaranya terdengar pelan namun penuh ketegasan.
Daniel terdiam sejenak. Ia tampak sedikit canggung, lalu menghela napas, "Clara, kita baru saja menikah. Kenapa kamu berpikir begitu? Semua baik-baik saja."
Namun, Clara bisa merasakan sesuatu dalam kata-kata itu-sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Kenapa ada jarak di antara mereka? Kenapa perasaan yang dia coba sembunyikan semakin sulit untuk dipendam?
Dengan hati yang gelisah, Clara menjawab, "Aku hanya merasa ada sesuatu yang tak terucapkan di antara kita, Daniel. Sesuatu yang... aku tak tahu apa itu."
Daniel mendekat, mengusap rambut Clara dengan lembut. "Jangan khawatir, sayang. Ini hanya perasaanmu saja. Kita akan baik-baik saja. Aku janji."
Namun, saat Daniel menarik pelukan itu, Clara merasa semakin jauh dari kenyataan yang selama ini ia harapkan. Ia mencoba percaya pada kata-kata Daniel, tapi hatinya tidak bisa memungkiri keraguan yang terus tumbuh dalam dirinya.
Apakah ini hanya awal dari kebahagiaan mereka, ataukah akan ada luka yang tersembunyi di balik cinta yang tampaknya sempurna ini? Clara hanya bisa berharap waktu akan memberi jawabannya.
Bersambung...
Buku lain oleh Avrilia Nadhifa
Selebihnya