Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
3.1K
Penayangan
10
Bab

Ketika semua orang menganggap rumah adalah istana, dengan keluarga yang selalu menjadi tempat ternyaman untuk berbagi keluh kesah. Namun tidak bagi Alana, rumah adalah tempat penuh rintangan yang harus aku hadapi. Semua menganggapnya anak pembawa sial, selalu menyalahkannya atas kejadian di masa lalu, yang bahkan dirinya sendiri tidak tau. Semua itu membuat Alana tumbuh dengan kepribadian dingin dan sulit tersentuh demi menutupi setiap luka dan lara yang ia terima. Sampai suatu ketika ia bertemu dengan Reyhan yang berhasil merubah hidupnya menjadi berwarna kembali. Namun, itu hanya sesaat sebelum sebuah perjanjian bisnis yang melibatkan Reyan. Hanya ada dua pilihan yang Alana miliki, merelakan Reyhan untuk Bianca dan mengorbankan perasaanya atau, mengorbankan perasaan adiknya demi dia bisa bersama dengan Reyhan.

Bab 1 Dia Alana

10 tahun lalu

"Ma, liat deh Lala tadi jadi juara lomba mewarna, Lala dapet piala, Ma," ujar gadis kecil berkuncir dua, yang perasaannya sangat gembira karena telah berasil membawa pulang piala yang kini berada di tangan kanannya.

"Ma, besok Mama ya, yang anter Lala buat lomba tingkat Kabupaten," pinta gadis kecil yang dari tadi masih setia menatap seorang wanita yang asik membaca sebuah buku bersama adik kembarnya.

"Saya sibuk harus mengantar anak saya ke sekolah," jawabnya ketus.

"Tapikan temen Lala yang lain diantar sama mamanya, Lala juga pengen di anter Mama, Lala kan mau kayak Caca di antar Mama," rengek gadis kecil itu.

"Kamu tidak paham, saya bilang saya harus mengantar anak saya!" Nada bicara Amara mulai terdengar meninggi.

"Lala mohon Ma, Mama yang anter Lala hiks! Hiks! Lala kan juga anak Mama." Gadis kecil itu mulai menangis sambil menggoyang-goyangkan bahu kanan Amara.

"Sudahlah Amara, turuti kata putrimu kali ini," pinta seseorang yang mulai berjalan mendekatdari ambang pintu.

"Harusnya dia sadar, dia itu siapa. Saya sudah sabar mau merawat dia, kamu itu anak yang tidak saya harapkan, anak pembawa sial!" Dia tau Alana tidak bersalah dan tindakannya yang sangat kekanakan dengan tidak pernah menganggap Alana sebagai anaknya, padahal Alana selalu membuatnya bangga dengan prestasi-prestasi yang diraihnya.

Tapi rasa benci terhadap masa lalunya selalu muncul, setiap kali ia menatap Alana. Hatinya masih belum siap menerima kehadiran gadis itu.

"Cukup Amara! Dia itu juga putrimu, putri yang kamu kandung, kalo kamu memang tak ingin mengantarnya sudah cukup jangan katakan hal yang tidak-tidak pada Alana."

"Putri saya hanya satu, yaitu Bianca!" Tegas Amara lalu menggendong Bianca pergi.

Alana merasa dunia ini tak adil padanya, semua ini terlalu menyakitkan untuknya, tak pernah ternilai di mata mamanya sendiri.

Mengapa mamanya selalu pilih kasih antara dirinya dan adiknya Bianca? Alana sama sekali tidak tau alasan atas kebencian Amara padanya.

Mengapa Amara selalu memprioritaskan Bianca dibandingkan dia?

Walau hanya sekali, Alana sangat ingin berada di posisi Bianca yang merasakan kasih sayang dari seorang mama. Alana juga ingin dipeluk, dicium, dan disayang seperti Bianca.

///

Embusan angin sore berlalu-lalang dengan bebas memainkan rambut panjang seorang gadis yang tergerai. Langit dengan awan kehitaman sama sekali tidak menghentikan langkahnya untuk berjalan melewati gundukan tanah yang berada di kiri dan kanannya, dengan membawa dua buah karangan mawar putih di tangannya.

Dia adalah Alana Claretta, gadis kecil itu kini sudah tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang bisa dikatakan memiliki kecantikan di atas rata-rata dibandingkan remaja pada umumnya. Namun, siapa sangka gadis seperti dirinya tumbuh dengan banyaknya rasa luka yang membuatnya menjadi gadis dingin dan sulit tersentuh.

Kaki jenjangnya terus berjalan hingga tiba di tempat yang ia tuju. Alana menatap pilu dua pusara yang berada di hadapanya kini. “Apa kabar? Lala kembali lagi,” ucap Alana lalu berjongkok di tengah kedua pusara itu.

Tak lupa Alana menaruh karangan mawar putih yang telah ia bawa di atas kedua pusara itu, lalu meanjatkan doa untuk mereka.

“Lala rindu kalian.” Hanya kalimat itu yang mungkin bisa menggambarkan perasaan Alana saat ini, dengan bibir yang mulai gemetar menahan tangis.

Alana terdiam sejenak, berusaha untuk tidak menjatuhkan air matanya di depan orang yang sangat ia sayang, namun tetap saja ia adalah manusia biasa yang dengan mudah terbawa suasana. Cairan bening itu mampu lolos dari kedua sudut matanya.

"Maafin Lala, ya? Karena Lala kalian pergi. Sekarang Lala sendiri gak ada yang sayang sama Lala, apa bener kata Mama Lala itu anak pembawa sial? Buktinya kalian pergi gara-gara Lala hiks! Hiks! Hiks!" Air mata Alana terus mengalir membanjiri pipinya tanpa bisa ia tahan lagi.

"Kenapa semua benci sama Lala? Lala juga ingin disayang, apa Lala gak berhak menerima itu semua?" lirih Alana.

Langit sore yang awalnya hanya dihiasi awan yang mulai menghitam, kini sudah berganti ditemani dengan suara guntur dan tetersan air yang perlahan turun. Alana mengembuskan napas berat lalu mengusap air matanya.

"Lala pulang dulu ya? Lala sayang kalian," pamit Alana lalu mencium kedua nisan itu.

Alana berjalan keluar dari area pemakaman sambil merasakan tetesan air hujan yang perlahan membasahi tubuhnya. Derasnya air hujan seperti mewakili perasaannya saat ini.

Bukanya mencari taksi atau angkutan umum, Alana memilih berjalan di tengah hujan menuju rumahnya.

///

Ketika semua orang menganggap bahwa rumah adalah istana, dengan keluarga yang selalu menjadi tempat ternyaman untuk berbagi setiap masalah yang mereka hadapi. Namun, tidak bagi Alana, rumah dan keluarga adalah tempat penuh rintangan yang harus Alana hadapi.

"Ke mana aja Lo? Ngelayap terus sampai hujan-hujanan kayak gini, sakit gue syukurin Lo!" Sinis Bianca, adik Alana yang berdiri di depan pintu melihat gadis itu pulang.

Alana tak menjawab, ia hanya menatap Bianca yang menghalangi pintunya, jika ia menjawab sama saja ia memberi Boomerang pada dirinya sendiri.

"Lala kamu dari mana saja? Papa cemas memikirkanmu, ngapain kamu masih berdiri di depan pintu? Cepat masuk!” Itu adalah suara Farid yang berjalan menuruni tangga.

Mendengar suara Farid, Bianca menatap Alana dengan tajam, seperti mengisyaratkan agar ia tak berbicara macam-macam kepada Farid.

"Caca, bantu kakakmu masuk, Nak," pinta Farid.

"Iya Pah, ini juga Caca buka pintu mau bantu Lala kok," jawab Bianca. Jika kalian berpikir Bianca bermuka dua, pemikiran kalian tepat sekali. Bianca akan melakukan itu, agar semua perhatian tertuju padanya.

Bianca sedikit bergeser agar Alana dapat masuk ke dalam rumah. “Kamu harus cepat ganti baju ya, La? Biar gak sakit," ucap Bianca, seolah ia memikirkan kondisi Alana padahal tidak. Alana sudah hafal dengan permainan ini.

"Iya La, kata Caca benar. Kamu langsung bersih-bersih ganti baju biar gak sakit,” tambah Farid.

"Iya, Pah,” jawab Alana lalu berjalan menuju kamarnya.

"Lihat itu Mas, kelakuan anak yang selalu kamu bela, selalu keluyuran berbeda dengan anak kita," ucap Amara yang duduk di sofa.

"Jaga ucapanmu Amara, dia juga anak kamu, dia sama dengan Caca. Mau sampai kapan kamu tidak menganggap lala ada? Dia juga punya perasaan, sayang."

"Aku tidak peduli Mas, sampai kapan pun anak ku hanya satu, yaitu Caca!"

"Sampai kapan kamu akan seperti ini sayang?" tanya Farid pada istrinya itu.

"Sampai anak itu benar-benar pergi dari hidupku,” jawab Amara tegas dan lantang.

Tanpa mereka sadari ada hati yang terluka mendengarkan itu semua, Alana mendengarkan semua perdebatan itu dari balik pintu kamarnya, hatinya sudah cukup tersayat. Air matanya mengalir begitu saja tampa bisa ia kendalikan.

"Kenapa Ma? Kenapa mama bersikap dingin dan acuh pada Lala, Ma? " monolog gadis itu dibalik pintu kamar.

Berbeda dengan keadaan Alana, di balik pintu kamar yang letaknya berhadapan dengan kamar Alana, Bianca tersenyum puas mendengarkan kedua orang tuanya saling beradu agrumen.

"Terus Mah, terus biar aja tuh si kuman pergi dari rumah. Kuman kayak dia gak pantas tinggal disini, karna hanya aku yang berhak memiliki semua kasih sayang dan perhatian," ucapnya sambil tersenyum kemenangan.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Grescansy

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku