Dira tidak pernah menyangka bahwa pernikahan impian yang ia bangun selama lima tahun bisa runtuh hanya dalam satu malam. Suaminya, Reza, ketahuan berselingkuh. Hatinya hancur, tapi ia memilih pergi tanpa memberi Reza kesempatan untuk menjelaskan. Tiga tahun kemudian, Dira kembali ke kota yang dulu ia tinggalkan. Kali ini bukan sebagai istri yang terluka, tetapi sebagai wanita yang lebih kuat. Namun, takdir mempertemukannya kembali dengan Reza-pria yang kini justru terlihat lebih dingin dan penuh rahasia. Di balik tatapan dingin Reza, ada sesuatu yang belum terungkap. Rahasia yang selama ini ia pendam, yang bisa mengubah segalanya. Dira pikir ia sudah melupakan Reza, tapi semakin ia berusaha menjauh, semakin hatinya kembali terpaut. Ketika kebenaran mulai terkuak, akankah Dira tetap membenci Reza atau justru jatuh cinta untuk kedua kalinya?
Dira menatap lilin-lilin kecil yang bergetar di atas kue cokelat yang ia bawa. Kue ini tidak mewah, hanya buatan sendiri, tapi penuh dengan cinta. Hari ini ulang tahun pernikahan mereka yang kelima, dan meskipun Reza belakangan sibuk dengan pekerjaan, ia tetap ingin memberikan kejutan kecil.
Langkah kakinya ringan saat memasuki apartemen mereka. Suasananya sepi. Tidak ada suara televisi, tidak ada suara langkah kaki Reza yang biasanya menyambutnya dengan senyum hangat.
Ia mengerutkan kening. Kemana Reza?
Lampu ruang tamu mati, hanya ada seberkas cahaya samar dari kamar mereka. Jantung Dira berdebar. Mungkin Reza sudah tidur? Tapi jam baru menunjukkan pukul sembilan malam, terlalu awal bagi suaminya untuk beristirahat.
Senyumnya melebar saat membayangkan betapa terkejutnya Reza saat ia masuk dan menyanyikan lagu ulang tahun dengan suara falsnya.
Namun, ketika ia melangkah lebih dekat, sesuatu yang lain menangkap perhatiannya.
Suara wanita.
Tawa kecil. Lirih. Hampir tidak terdengar, tapi cukup untuk membuat tubuh Dira menegang.
Dira mengerutkan alis. Hawa dingin tiba-tiba merayap di tengkuknya. Ia berdiri di depan pintu kamar yang sedikit terbuka, napasnya terasa berat.
Dada Dira bergemuruh saat ia mengangkat tangan untuk mendorong pintu lebih lebar.
Dan di detik berikutnya, dunianya runtuh.
Di sana, di ranjang yang dulu penuh dengan cinta dan tawa, Reza sedang bersama seorang wanita.
Dira tidak bisa bernapas.
Matanya melebar, dadanya sesak, dan suara di sekelilingnya menghilang.
Kue dalam genggamannya terlepas, jatuh ke lantai dengan bunyi tumpul, lilinnya padam seketika.
Seketika itu juga, wanita di ranjang melirik ke arah Dira, wajahnya berubah panik. Reza menoleh dengan ekspresi terkejut.
"Dira..."
Hanya satu kata. Hanya namanya. Tapi cukup untuk membuat sesuatu di dalam dirinya hancur berkeping-keping.
Dira tidak bisa berkata-kata. Tenggorokannya terasa terbakar, seolah ada ribuan jarum menancap di sana. Kakinya terasa lemas, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap berdiri.
Reza bangkit dari tempat tidur dengan cepat, mengenakan celana panjangnya, lalu berusaha mendekatinya.
"Dira, aku bisa jelaskan-"
"Jangan."
Suaranya terdengar parau, hampir seperti bisikan.
Tangannya terangkat, memberi jarak. Ia tidak ingin Reza semakin dekat. Ia bahkan tidak bisa menatapnya lebih lama.
Tapi matanya menangkap sesuatu-gaun wanita itu tergeletak di lantai.
Dada Dira terasa semakin sakit. Seolah jantungnya diremas paksa. Ini nyata. Ini bukan mimpi buruk yang bisa ia bangun dan lupakan.
Ia menggeleng pelan, berusaha menenangkan dirinya, berusaha mencari alasan. Tapi tidak ada alasan yang bisa membenarkan ini.
Dira berbalik dan melangkah keluar.
"Dira, tunggu!" Reza menarik tangannya, tapi Dira menepisnya dengan kasar.
"Aku bilang jangan sentuh aku!" suaranya pecah.
Reza terdiam. Matanya menunjukkan kepanikan, tapi Dira sudah tidak peduli. Ia berlari keluar apartemen dengan air mata yang akhirnya jatuh tanpa bisa ia hentikan.
Hujan turun dengan deras saat Dira melangkah di trotoar, tubuhnya basah kuyup. Ia tidak peduli. Ia tidak bisa peduli.
Tadi ia ingin pulang, membawa kebahagiaan untuk pernikahannya. Sekarang, ia hanya ingin berlari sejauh mungkin.
Jantungnya berdebar cepat, tapi bukan karena dinginnya hujan, melainkan rasa sakit yang menghancurkan hatinya.
Reza telah mengkhianatinya.
Pria yang ia percayai sepenuh hati. Pria yang ia cintai lebih dari siapa pun di dunia ini.
Air matanya semakin deras.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar di dalam tas. Ia tahu siapa yang menelepon tanpa perlu melihat layar.
Reza.
Dira mengabaikannya.
Tapi Reza tidak berhenti. Panggilan masuk terus muncul, satu demi satu.
Akhirnya, Dira mengeluarkan ponselnya dan menatap layar itu dengan mata penuh air mata. Tangan gemetarnya mengangkat panggilan itu, tapi ia tidak berbicara.
"Dira, kumohon... jangan pergi." Suara Reza terdengar di seberang. Serak. Lelah. "Aku bisa menjelaskan semuanya."
Dira menggigit bibirnya, mencoba menahan isakan.
"Apa yang perlu dijelaskan?" suaranya bergetar. "Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, Reza."
"Tidak seperti yang kamu pikirkan."
Dira tertawa sinis, meskipun air matanya masih mengalir. "Oh ya? Jadi, aku salah lihat? Salah dengar? Salah segalanya?"
Hening.
Reza tidak bisa menjawab, dan itu semakin membuat dada Dira sakit.
Tangannya mengepal. "Lima tahun, Reza. Lima tahun aku mencintaimu, mempercayaimu. Dan kau hancurkan semuanya dalam satu malam."
Hening lagi. Hanya suara hujan yang mengisi sela-sela keheningan mereka.
Akhirnya, Dira menarik napas panjang dan menghapus air matanya dengan kasar.
"Aku sudah selesai, Reza."
Ia menekan tombol merah di ponselnya, mengakhiri panggilan.
Saat itu, sesuatu dalam dirinya juga terasa mati.
Di tempat lain, Reza menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong.
Tangannya mengepal kuat. Napasnya berat.
Lalu, ia menatap keluar jendela, menatap langit yang menangis seperti hatinya.
Suara langkah kaki membuatnya menoleh. Wanita tadi berdiri di ambang pintu, wajahnya dipenuhi rasa bersalah.
"Reza, aku-"
"Keluar," suara Reza dingin.
"Tapi aku ingin-"
"Keluar." Kali ini lebih tajam, lebih menusuk.
Wanita itu menggigit bibirnya, lalu mengambil gaunnya dan bergegas pergi.
Saat pintu tertutup, Reza duduk di tepi ranjang, menatap tangannya yang gemetar.
Lalu, ia berbisik pelan, hampir tidak terdengar.
"Maafkan aku, Dira..."