Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
*Note : Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.*
-
Jika ada seseorang yang mengatakan kalau penyesalan selalu datang di akhir, itu benar adanya. Karena sekarang, aku sedang mengalami sebuah penyesalan terbesar yang ada di hidupku. Sebuah penyesalan yang terjadi akibat tindakan yang aku lakukan dulu.
-
26 April 2027, di dalam sebuah ambulance yang sedang melintas di salah satu jalan yang ada di daerah Jakarta.
Namaku adalah Aarav, Aarav Ravindra. Aku saat ini sedang berada di dalam sebuah ambulance. Alasan aku berada di dalam ambulance itu adalah untuk menemani istriku yang bernama Nadine Xylia Levronka. Aku dan Nadine baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas. Aku mengalami luka ringan, sedangkan Nadine mengalami luka yang lumayan parah jadi dia harus dibawa ke rumah sakit dengan menggunakan ambulance.
Saat ini, aku sedang duduk di samping tandu ambulance tempat Nadine terbaring. Nadine saat ini sedang terbaring sambil dirawat oleh petugas medis yang ada di dalam ambulance itu.
Ketika aku sedang duduk di samping Nadine, Nadine tiba-tiba menyodorkan tangan kanannya ke arahku. Aku pun menerima sodoran tangan kanannya itu dan kemudian aku menggenggam tangan kanannya itu dengan kedua tanganku.
"Bertahanlah, Nadine," ucapku.
Ketika aku sedang menggenggam kedua tangan Nadine, entah kenapa rasanya aku ingin menangis. Benar saja, tidak lama setelah itu, tiba-tiba air mata keluar dari kedua mataku. Meski air mata telah keluar dari kedua mataku, aku tidak berusaha untuk membasuh air mata itu dan memilih untuk tetap menggenggam tangan kanan Nadine. Nadine yang menyadari kalau aku sedang mengeluarkan air mata pun terlihat bingung.
"Kenapa.....kamu....menangis?," tanya Nadine dengan terbata-bata.
Karena luka yang dialaminya akibat kecelakaan, Nadine jadi kesulitan untuk berbicara dengan lancar.
Lalu, setelah Nadine menanyakan itu, aku pun langsung menjawabnya.
"Tidak apa-apa, mungkin aku menangis karena aku khawatir kepadamu," ucapku.
Setelah mendengar perkataanku itu, Nadine tiba-tiba tersenyum dan tertawa kecil.
"Hehehe," tawa Nadine.
Aku pun bingung kenapa Nadine tiba-tiba tertawa.
"Kenapa kamu malah tertawa?," tanyaku.
Nadine pun langsung menjawabnya.
"Padahal saat awal-awal......kita menikah, kamu tidak....pernah peduli kepadaku. Jika ada.....sesuatu yang terjadi.......kepadaku pun kamu.......tidak khawatir kepadaku. Tetapi kini akhirnya......kamu mulai peduli dan khawatir.....kepadaku. Aku.....senang karena kamu khawatir.....kepadaku," ucap Nadine.
Setelah mendengar perkataan Nadine, aku pun langsung menanggapinya.
"Aku minta maaf karena baru sekarang aku peduli dan khawatir kepadamu. Saat awal-awal kita menikah, aku masih belum menerima kalau aku bakal dinikahkan olehmu. Apalagi seharusnya kamu tahu sendiri, hubungan kita sebelumnya sempat merenggang dan kita pun belum sempat berbaikan. Tetapi tiba-tiba kedua orang tua kita malah menjodohkan kita hanya karena pada saat itu kita sama-sama belum mempunyai pasangan," ucapku.
Sesuai perkataanku barusan, aku dan Nadine bisa menikah karena orang tua kami menjodohkan dan menikahkan kami. Orang tuaku dan orang tua Nadine memiliki hubungan yang cukup dekat. Apalagi dulu, ketika aku masih kecil, orang tua Nadine sempat tinggal di sebelah rumah orang tuaku. Jadi bisa dibilang, orang tua Nadine dan orang tuaku dulunya adalah tetangga dan Nadine pun dulunya adalah teman masa kecilku. Selain teman masa kecilku, aku dan Nadine juga merupakan teman di Sekolah Dasar karena kami berdua bersekolah di Sekolah Dasar yang sama.
Awalnya hubungan pertemanan kami baik-baik saja, tetapi ketika menjelang hari kelulusan di sekolah dasar, terjadi sesuatu yang membuat kami bertengkar. Pertengkaran itu membuat hubunganku dan Nadine menjadi renggang. Setelah hubungan kami menjadi renggang, baik aku dan Nadine tidak saling berbicara lagi. Kami berdua juga tidak saling mencoba untuk meminta maaf. Bahkan hingga Nadine dan orang tuanya pindah ke rumah yang baru setelah hari kelulusan di Sekolah Dasar, hubungan kami masih tetap renggang, hubungan kami sama sekali belum membaik. Meski begitu, walaupun hubunganku dan Nadine sedang renggang, kedua orang tua kami masih tetap berhubungan baik. Bahkan meski orang tua Nadine sudah pindah ke rumah yang baru, orang tuaku masih berhubungan baik dengan mereka.
Lalu, setelah Nadine pindah ke rumahnya yang baru, aku tidak lagi bertemu dengan Nadine. Aku juga tidak bertemu dengannya di Sekolah Menengah Pertama karena Nadine tidak masuk Sekolah Menengah Pertama yang sama denganku. Aku baru bertemu dengannya lagi di Sekolah Menengah Atas karena Nadine berada di sekolah yang sama denganku. Tidak hanya 1 sekolah saja, kami bahkan 1 kelas selama 3 tahun bersekolah disana. Tetapi meskipun kami merupakan 1 kelas, kami tetap tidak saling berbicara satu sama lain karena masih renggangnya hubungan kami.
Setelah itu, kami pun lulus dari Sekolah Menengah Atas dan masuk ke Universitas. Kami berdua memasuki Universitas yang berbeda jadi kami berdua tidak bertemu lagi saat sudah di Universitas. Kami menjalani kehidupan mahasiswa kami masing-masing tanpa pernah bertemu satu sama lain hingga lulus. Begitu juga setelah lulus dan mendapatkan pekerjaan, aku dan Nadine tetap tidak bertemu satu sama lain.
Sampai akhirnya tepat setelah 4 tahun lulus dari Universitas, kami berdua pun dipertemukan kembali oleh orang tua kami. Saat kami berdua dipertemukan kembali itu lah kami tiba-tiba langsung dijodohkan oleh orang tua kami masing-masing. Kini berkat perjodohan itu, kami berdua sudah menjalin hubungan sebagai suami istri selama hampir 1 tahun.
"Yah, kamu ada.....benarnya. Kita belum.....sempat berbaikan gara-gara.....kejadian itu dan tiba-tiba.....orang tua kita saling.....menjodohkan kita. Wajar kalau kamu......tidak peduli ataupun khawatir.....kepadaku saat awal kita.....menikah. Bahkan bisa......dibilang saat itu mungkin......kamu belum menganggapku......sebagai istrimu," ucap Nadine.
Perkataan Nadine itu membuatku sedikit terkejut. Tetapi yang dia katakan itu adalah benar.
"Itu benar, karena saat itu aku memang masih belum menerima kalau aku telah dinikahkan denganmu. Aku minta maaf soal itu," ucapku.
"Jika memang begitu......berarti saat itu kamu belum.....mencintaiku?," tanya Nadine.
Aku pun terdiam sejenak setelah mendengar pertanyaan Nadine. Tidak lama kemudian, aku mulai menjawab pertanyaannya itu.
"Iya, saat itu aku memang belum mencintaimu," ucapku.
"Kalau sekarang......bagaimana? Apa kamu sudah.....mulai mencintaiku?," tanya Nadine.
Aku tanpa ragu-ragu langsung menjawabnya.
"Iya. Saat ini, aku sudah mulai mencintaimu, Nadine," ucapku.
"Kalau begitu, apa sekarang.....kamu sudah menganggapku.....sebagai istrimu?," tanya Nadine.
Aku kembali menjawab pertanyaan Nadine tanpa ragu-ragu.
"Iya. Kamu sekarang adalah istriku, Nadine. Sampai kapanpun, kamu akan tetap menjadi istriku," ucapku.
Setelah mendengar jawabanku itu, Nadine pun langsung tersenyum. Tetapi tidak lama kemudian, wajahnya tiba-tiba menjadi cemberut.
"Aku.....senang karena sekarang.....kamu sudah mulai mencintaiku, tetapi aku......kecewa karena saat kita baru menikah.....kamu belum mencintaiku. Padahal aku......sendiri sudah.......mencintaimu saat kita baru.....menikah. Tidak hanya saat.....itu saja, aku bahkan......sudah mencintaimu sejak dulu," ucap Nadine.
Aku pun terkejut setelah mendengar perkataan Nadine.
"Kamu sudah mencintaiku sejak dulu?," tanyaku.
"Iya. Kamu ingat kan.....saat awal kita menikah? Saat itu, aku.....berusaha untuk meminta maaf......tentang 'kejadian itu'.....agar hubungan kita.....bisa membaik, apalagi.....kita sudah menjadi pasangan suami istri. Tetapi.....saat itu, tidak peduli seberapa keras aku....meminta maaf, kamu selalu......mengabaikanku. Rasanya sedikit sakit.....ketika mengingat hal itu," ucap Nadine.
"Aku benar-benar minta maaf. Saat itu, bisa dibilang aku masih membencimu karena 'kejadian itu'," ucapku.
"Kamu tidak perlu.....meminta maaf. Lagipula.....itu adalah kesalahanku.....sehingga membuatmu.....sempat membenciku. Saat 'kejadian itu',......kamu sudah memperingatiku lebih dulu......., tetapi aku malah.....mengabaikan peringatanmu itu. Aku bahkan.....malah memarahimu dan menamparmu.....karena aku tidak percaya dengan.....peringatanmu itu. Sudah jelas.....kamu akan membenciku....setelah apa yang aku lakukan.....kepadamu saat itu. Tetapi aku bersyukur......karena sekarang kamu sudah.....tidak membenciku lagi," ucap Nadine.
Setelah mendengar perkataan Nadine, aku kembali berbicara dengannya.
"Saat awal kita menikah, kamu tidak hanya mencoba meminta maaf atas 'kejadian itu' agar hubungan kita bisa membaik, tetapi kamu juga selalu perhatian dan peduli kepadaku meskipun saat itu aku selalu mengabaikanmu. Jadi saat itu kamu memang sudah mencintaiku ya," ucapku.
"Iya, saat itu.....aku sudah mencintaimu," ucap Nadine.
"Tetapi kamu bilang kamu sudah mencintaiku sejak dulu, namun kenapa sejak 'kejadian itu' kamu tidak pernah mencoba untuk meminta maaf atau berbicara kepadaku lagi? Kamu justru baru meminta maaf setelah kita telah menikah," ucapku.
Setelah mendengar perkataanku, Nadine pun langsung menanggapinya.
"Saat itu, aku......merasa sangat bersalah. Aku.....telah mengabaikan peringatanmu........, selain itu aku juga telah memarahimu......dan menamparmu.......karena aku tidak percaya......dengan peringatanmu itu dan ternyata.....peringatanmu itu benar. Aku.....benar-benar menyesal.....karena tidak percaya.....dengan peringatanmu itu. Aku juga merasa......bersalah karena selain tidak.....mempercayai peringatanmu, aku.....jyga telah memarahimu dan...... menamparmu. Karena rasa bersalah......itulah aku memilih untuk tidak.......berbicara kepadamu lagi meskipun......sebenarnya aku ingin," ucap Nadine.
"Begitu ya," ucapku.
Setelah itu, Nadine tiba-tiba mengalami batuk-batuk.
*Uhuk *Uhuk
Melihat Nadine yang batuk-batuk, aku pun semakin khawatir kepadanya."Untuk sekarang lebih baik kamu jangan berbicara dulu, Nadine," ucapku.
"Tidak, aku masih ingin......berbicara karena aku merasa kalau ini......adalah terakhir kalinya.....aku bisa berbicara denganmu," ucap Nadine.
Aku sedikit terkejut dan bingung dengan apa yang dikatakan Nadine.
"Apa maksudmu, Nadine?," tanyaku.
Setelah aku menanyakan hal itu, Nadine tidak langsung menjawab pertanyaanku dan memilih untuk mengatakan hal lain.
"Kamu tahu? Ketika orang tuaku.....dan juga orang tuamu memutuskan......untuk menjodohkan kita, .....saat itu aku sangat.....senang. Berkat perjodohan itu, aku.......akhirnya bisa memberanikan diri......untuk berbicara lagi denganmu.......meskipun saat itu kamu malah.......mengabaikanku. Meski awalnya kamu terus......mengabaikanku, tetapi berkat usahaku yang terus.....perhatian dan peduli kepadamu, kamu......secara perlahan mulai......membuka hatimu kepadaku. Kamu pun juga......sudah mulai mencintaiku,"
"Aku......benar-benar senang dengan.......perjodohan itu. Aku sangat senang.....karena aku bisa hidup bersama.....dengan orang yang aku cintai. Aku......benar-benar mencintaimu, Aarav. Tidak, aku.......benar-benar mencintaimu, sayang," ucap Nadine sambil tersenyum.
Setelah Nadine mengatakan itu, aku merasa air mata yang keluar dari kedua mataku mulai mengalir lebih deras dari yang sebelumnya. Aku benar-benar menangis setelah mendengar perkataan Nadine.
"Aku juga mencintaimu, Nadine," ucapku sambil menangis.
Nadine pun kembali tersenyum setelah mendengar perkataanku. Sambil tetap tersenyum, dia kemudian kembali mengatakan sesuatu.