Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
“Gak! Aku gak mau dan aku gak setuju! Aku gak mau menikah selain sama Rangga!” tegas Nindy. Keputusannya tak juga berubah sejak tadi pagi dan membuat permasalahan jadi jauh lebih rumit.
Brakk!!
Juna Bagaskara memukul meja di depannya hingga membuat semua orang yang ada di ruang keluarga tersentak, terlebih lagi Nindy yang berada disampingnya.
“Pria itu bahkan sudah pergi meninggalkan kamu, Nindy! Dia pergi setelah tahu kamu sedang hamil anaknya!” Suara tinggi yang diucapkan oleh Juna berhasil membuat Nindy menundukkan kepalanya.
Hari menjelang sore, tapi tak kunjung ditemukan titik terang untuk permasalahan keluarga Bagaskara, terutamanya Nindy Bagaskara, putri bungsu dari Juna dan Jihan kini sedang mengandung anak kekasihnya yang sudah pergi entah ke mana. Padahal baru satu minggu yang lalu Nindy merayakan pesta ulang tahunnya yang ke 20 dan mengatakan jika ia ingin menjadi seorang model profesional, tapi hari ini seluruh anggota keluarga di buat kecewa dengan apa yang sudah terjadi.
Jihan yang sedari tadi hanya diam tanpa berucap apa pun tiba-tiba bangkit dari duduknya dan pergi ke lantai dua. Ekor mata Juna melihat jika saat ini Jihan masuk ke kamar Nindy cukup lama dan entah apa yang sedang dilakukannya di sana sampai akhirnya terdengar suara koper yang menuruni anak tangga. Seluruh mata tertuju pada Jihan yang saat ini sedang menyeret satu koper besar berwarna hitam lalu diberikannya pada Nindy.
“Pergi kamu dari sini,” usir Jihan dengan suaranya yang datar.
“Mami?” Farel, anak pertama dari keluarga Bagaskara langsung berdiri sambil menatap Jihan yang seperti tak sudi untuk melihat wajah Nindy.
“A-aku h-harus pergi k-ke mana?” tanya Nindy dengan terbata-bata. Matanya sudah berkaca-kaca, tapi Nindy masih bisa menahan air matanya.
“Terserah. Pergi sesuka hatimu. Kamu bukan lagi anggota keluarga kami,” jawab Jihan sembari menatap tajam pada Nindy.
“Tidak, Jihan! Nindy tidak bisa pergi dari rumah ini!” larang Juna.
Kini tatapan mata Jihan beralih menatap Juna. Pria berusia 40 tahun itu kini terlihat sangat bingung dan kaget mendengar pengusiran yang dilakukan oleh Jihan. Yah … Memang benar jika Juna marah dengan apa yang sudah terjadi pada Nindy. Kecerobohan akibat dari pergaulan bebas putrinya yang tidak pernah ia pantau berakhir dengan tragis.
“Lalu, bagaimana kita menjelaskan pada mama dan papamu tentang apa yang terjadi pada Nindy, hah? Kamu pikir orang tua kamu bisa bersikap baik-baik saja? Enggak, Mas! Dia pasti bakal ngomong lebih jahat dari aku! Jadi, sebelum orang tua kamu tau dan orang lain tau, lebih baik kita usir Nindy dari sini. Pernikahan tidak akan menjadi solusi, Mas. Orang-orang akan tau jika Nindy hamil sebelum menikah, lagipula pria mana yang mau menikah dengan wanita bekas dipakai seperti Nindy?” Jihan mendelik. Ucapannya yang begitu mengiris hati siapa pun orang yang mendengarnya berhasil membuat semua yang ada di ruang keluarga kehilangan kata-kata untuk menyangkal sebuah fakta yang diutarakan oleh Jihan. Termasuk Nindy, sejak ibunya mulai berbicara ia lebih memilih untuk diam karena melawan ucapannya tak akan menyelesaikan permasalahan yang ada.
Nindy bangkit dari duduknya. Juna, Farel, dan Raka menatap apa yang akan dilakukan oleh Nindy saat ini. Tangannya meraih koper yang sudah diberikan oleh Jihan.
“Aku pergi dari sini, Pa,” putusnya tanpa merasa ragu sedikit pun.
"Enggak, Nindy! Meski kamu membuat kesalahan, tapi bukan berarti kamu harus pergi dari rumah ini!" ucap Farel yang sejak tadi sudah menentang keputusan Jihan untuk mengusir Nindy.
Raka menepuk pundak kakaknya lalu tertawa. "Dia ini diibaratkan sampah. Kalau sudah menjadi sampah, bukankah kita harus membuangnya, Kak?" timpal Raka.
"Jaga ucapanmu, Raka! Bagaimana pun juga Nindy itu adik kamu!" sosor Juna.
"Apa yang diucapkan oleh Raka benar, sampah memang sudah seharusnya kita buang. Jika terus disimpan, maka baunya akan menyebar ke mana-mana dan tentu kamu tidak ingin jika ada sampah di rumah ini, kan?" sahut Jihan yang mendukung ucapan Raka.
***
Beginilah nasib Nindy saat ini, berjalan sendirian di tengah keramaian ibukota sembari menyeret kopernya yang berat. Tanpa perlawanan apa pun, Nindy akhirnya mengalah dan memutuskan untuk pergi. Seperti apa yang dikatakan oleh Jihan tepat sebelum Nindy memutuskan untuk jujur tentang apa yang sedang terjadi padanya, membuat Nindy sadar jika ia salah menganggap kebaikan seseorang kepadanya.