Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
PLAK!
Sebuah tamparan keras menghujami pipiku. Rasa sakit menerjang pipiku dengan segera. Aku tatap penuh kebencian kepada Ayahku sendiri, Logan Savire.
“Apakah dengan menamparku Ayah puas?!” teriakku dengan nada yang keras.
“Berani-beraninya kau membuka mulutmu, Serenna!!”
Air mataku sudah berkumpul di pelupuk mata. Peristiwa ini sudah sering kualami. Bahkan bukan untuk pertama kalinya.
Ayahku, Logan Savire, tulang punggung keluargaku, justru orang yang paling menyebalkan di dunia ini. Ia tak bekerja, pulang dalam keadaan mabuk, dan terkadang juga pulang dengan seorang wanita. Berhaha-hihi di dalam kamar sembari bercinta. Menjijikkan.
Ia hanya mengandalkan diriku yang masih SMA untuk bekerja. Sungguh ironis. Lelaki jahanam yang paling biadab di muka bumi ini.
“Kenapa? Kenapa aku tak boleh berbicara? Bukankah Ayah hanya akan meminta uang dariku?!”
Padahal aku hanyalah seorang karyawan paruh waktu di sebuah toserba kecil. Pun aku harus mati-matian untuk mengejar waktu, antara sekolah dan bekerja. Ayahku yang tak tahu diri ini hanya menjadi benalu dalam keluargaku.
Bahkan Ibuku, Juliet Savire, sudah tak sanggup lagi dengan kekangan kekejaman Ayahku. Ia melarikan diri di suatu malam tanpa kuketahui. Tiba-tiba saja raib dari rumah ini. Melarikan diri tanpa meninggalkan satu jejakpun untukku.
“Kenapa? Kau sudah besar harusnya sudah bisa mandiri!” Ayahku yang sialan ini mulai menjambak rambutku. Aku meringis pedih.
“Apakah aku harus kabur juga dari rumah ini, sebagaimana Ibu?! Ayah pikir aku tak berani, hah?!”
PLAK!!
Satu tamparan yang jauh lebih keras nan kuat pun terasa di pipiku.
SUDAH! SUDAH CUKUP! SUDAHI SAJA SEMUANYA!
“Ayah akan menyesal karena telah menamparku.” tandasku dengan dingin. Seketika aku hempaskan tubuh Ayah ke belakang.
Dengan uraian air mata yang tak tertahankan, aku pun pergi menuju kamar. Aku keluarkan koperku dengan sesegara mungkin. Mengemasi barangku secepat yang aku bisa.
Tak mungkin lagi rasanya aku berada di neraka ini.
Mencegah air mataku yang jatuh, aku memanjatkan do’a kepada Tuhan. ‘Tuhan, maafkan aku. Aku menjadi anak yang durhaka. Sekali saja... Sekali saja...’
‘Aku sungguh tak sanggup jika terus berada di sini.’
Hanya dalam waktu lima belas menit, aku selesai mengemasi barangku. Kini, aku sudah pergi dengan menyeret koper. Ayahku yang berada di ruang tamu itu melototkan matanya.
“Kau mau ke mana, Jalang Kecil?!”
Aku diam saja.
BRAKK!!
Ayahku menarik tanganku. Tetapi, keputusanku sudah bulat. Kuenyahkan tangan Ayahku itu. Lalu, pergi ke luar rumah memberhentikan taksi yang muncul di depan mata.
Di belakang sana, Ayahku berlari-lari memanggilku.
Apa peduliku?
Memangnya kau siapa, kau hanyalah Ayah yang tak pernah pantas untuk kusebut Ayah.
* * *
Aku tahu tindakanku ini cukup gegabah. Pergi dari rumah tanpa rencana sama sekali. Dan aku yakin seratus persen, Ayahku akan meneror di tempatku bekerja. Ia akan menungguku saat aku pulang kerja.
Menghela napas berat, sepertinya aku sudah tak bisa bekerja di toserba lagi. Aku sudah tak mau berhubungan dengan Ayahku.
Di jalanan yang sempit nan kumuh, aku meminta turun kepada supir taksi. Menyeret koperku. Di kanan-kiriku, terdapat banyak sekali apartemen dan hotel dengan harga yang miring.
Mendapatkan penginapan adalah hal yang terbaik. Tak mungkin aku pergi tanpa tujuan. Aku perlu mendinginkan otak, sembari mencari pekerjaan yang baik untukku.
Masuk ke salah satu indekos di sana, sengaja membayar selama satu bulan. Setidaknya, aku tak perlu khawatir untuk tidur selama satu bulan ke depan.
Lebih baik tidak makan, daripada tak punya atap untuk pulang.
Di dalam kamar, aku mengistirahatkan tubuh seraya mencari lapangan pekerjaan via online.
“Hah ... Pekerjaan apa yang bisa kudapatkan? Sedangkan lulus SMA saja belum.”