Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Mentari belum lagi bersinar terik. Di dahan pohon jambu mete yang berdaun rimbun, burung-burung pipit berkicau menyambut datangnya pagi.
Di sebuah rumah berdinding batako tanpa plester, seorang gadis sedang mematut diri di depan cermin kamarnya.
Rambutnya hitam lurus sepunggung diikat ke belakang dengan sebagian poni menutupi dahi. Dasi dan tali pinggang pun sudah terpasang rapi di tubuhnya, bahkan jam dan gelang favorit sudah menghiasi pergelangan tangan kirinya. Sebisa mungkin penampilannya harus terlihat sempurna kali ini.
Embun merasa gugup sekaligus tidak sabaran ingin segera bertemu dengan teman-temannya di sekolah. Terlebih pada Bintang, pemuda idaman yang membuat jantungnya berdegup tak karuan tiap kali gadis itu terbayang senyum manisnya.
Enam bulan sudah mereka tidak saling jumpa disebabkan selama itu mereka berdua magang di tempat yang terpisah, bahkan berbeda negara.
Hari ini untuk pertama kalinya, Embun dan Bintang akan bersua kembali, di upacara penyambutan sekaligus acara resmi ditutupnya kegiatan yang telah berjalan sejak enam bulan lalu.
Sembari tersipu, Embun juga menerka-nerka, seperti apa penampilan Bintang sekarang, ya? Apakah penampilannya banyak berubah?
Sebagai seorang pelajar kelas XII di Sekolah Menengah Kejuruan, salah satu syarat untuk lulus, Embun harus melakukan kegiatan magang di luar instansi sekolah. Tujuannya agar mereka paham dan mempraktikkan teori yang selama ini diberikan oleh guru pembimbing dari masing-masing jurusan.
Embun ditempatkan di Kantor Disperindag, sedangkan Bintang terpilih sebagai pelajar yang dikirim ke Malaysia. Selain itu mereka juga berbeda kejuruan: Embun sebagai siswi Sekretaris 1, sedangkan Bintang di kelas Penjualan 2.
Mereka saling mengenal sejak di bangku kelas 2 SMP. Embun tidak tahu secara pasti sejak kapan hatinya jatuh pada pemuda berlesung pipi itu. Padahal dulu rasa itu belum ada, biasa saja. Anehnya bersemi baru-baru ini. Dada Embun berdebar kencang saat mata mereka beradu pandang. Mungkin benar kata orang-orang. Cinta akan datang setelah terbiasa. Ah, indahnya ....
Apa yang Bintang rasakan saat ini, sesungguhnya Embun belum tahu. Namun, bila melihat respons dan gerak-geriknya, pemuda itu seperti memberi harapan pada Embun.
Embun pun tahu secara pasti bahwa Bintang adalah seorang pemuda pemalu dan tidak mungkin menyatakan cinta duluan. Begitu pula dengan Embun sendiri. Dia takut jika bakal ditolak seperti Sisil yang hadiahnya pernah dikembalikan Bintang saat hari Valentin tempo hari. Bukankah hal itu memalukan? Apalagi satu sekolah mengetahui peristiwa itu.
Namun, debar yang menggelisahkan di dadanya mendorong Embun untuk berniat menyatakan cinta duluan. Tak peduli bagaimana keputusan Bintang nanti. Meski Embun tahu, pertemanan mereka bakal menjadi canggung jika sampai pemuda itu menolaknya.
***
Sepatu putih model balet bertali milik Embun menapak perlahan di koridor menuju kelas. Jemarinya menggenggam erat tali tas selempang hitam, sembari sesekali membalas lambaian teman-temannya yang menyapa.
Di tikungan berikutnya langkah Embun terhenti mendadak. Tatapannya terpaku pada sosok yang berdiri di depan ruang bendahara sekolah. Pemuda tinggi berambut lurus, memakai ransel abu-abu bersandar pada tiang. Duh, itu Bintang. Memang benar Embun ingin melihat wajah pemuda itu, tapi menurutnya ini terlalu dini. Dia sama sekali belum mempersiapkan diri.
Mengembuskan napas panjang-panjang, ingin sekali rasanya Embun membalik badan. Akan tetapi sudah terlambat. Bintang sudah memergokinya. Mau tidak mau Embun harus mengambil jalan di mana Bintang berdiri sembari terus menatapnya.
"Citrani ...." sapa Bintang saat Embun melangkah menunduk di depannya. Gadis itu menoleh malu-malu. Pancaran mata Bintang masih sama kepadanya, penuh makna dan itu ... tentu saja membuat Embun jadi salah tingkah.
"Hei, Damar." Embun menatap lesung pipi Bintang yang terukir lantas berlalu. Setelah berbelok ke kanan, barulah dia bisa bernapas lega sembari menekan dadanya dengan sebelah telapak tangan. Hufh!
Tunggu. Pasti kalian bingung siapa itu Citrani dan siapa itu Damar. Baiklah, begini ceritanya.
Embun dan Bintang sejak SMP hobi saling ledek. Citrani itu nama ibunya Embun, sedangkan Damar ayahnya Bintang. Dulu awalnya Embun merasa sebal sekali, tetapi makin ke sini, hal itu ibarat sapaan unik bagi mereka berdua. Ha-ha! Kekanakan, bukan?
Ada rasa bahagia baginya saat Bintang berteriak lantang dari depan kelas Penjualan 2, memanggil nama ibunya sebagai bahan ledekan. Tentu saja Embun membalas, meneriakkan kembali nama ayah Bintang. Memang terlihat aneh. Bukannya marah, mereka malah saling melempar senyum.
"Ciee ... udah bertemu Bintang?" Lia menyapa saat Embun baru saja mengenyakkan diri di kursi kelas. Gadis itu tidak memberi kesempatan padanya lagi untuk duduk dengan nyaman atau sekadar menentramkan debaran jantungnya yang bertalu-talu.
"Udah." Embun mengangguk sembari tersipu menatap teman sebangkunya itu.
"Dia terlihat gendut sekarang." Lia memutar bola mata, kemudian gadis bertahi lalat di dahi itu tergelak.
"Mungkin makanan di sana cocok dengan lidahnya." Embun mencoba membela si pujaan hati seraya menebak sok tahu.
"Atau dia ketemu cewek yang bikin nyaman. Makanya gendut." Lia menggoda lagi. Kini senyumnya jahil.
"Ck!" Embun melemparkan tatapan sengit pada Lia, membuat gadis berdarah Sunda itu semakin terbahak.
Bel berbunyi. Sepiker sekolah memperdengarkan suara Pak Tampu yang memerintahkan para pelajar agar berkumpul di lapangan. Upacara penyambutan kembalinya siswa-siswi kelas XII, akan segera dimulai.
Lia menggandeng Embun keluar kelas. Mereka mendapati lapangan upacara sudah penuh oleh pelajar yang berbaris. Tanpa sengaja Embun menangkap sepasang manik yang menatapnya. Buru-buru dia menunduk, seraya melangkah ke barisan di sebelah pemuda yang masih saja terus memandanginya.
Dua jam upacara berlangsung khidmat. Dari kata sambutan kepala sekolah hingga ditutup oleh doa. Namun, bagi Embun waktu cepat berlalu. Oleh sebab pikirannya dipenuhi oleh pemuda yang sejak tadi mencuri pandang ke arah gadis itu.
Satu jam kemudian upacara selesai, dan semua barisan bubar. Lia segera menggandeng lengan Embun lagi untuk kembali ke kelas. Embun nurut meski merasa kakinya berat untuk digerakkan. Sebelum pergi, sempat dia menolehkan kepala sekali lagi ke belakang. Bintang masih melemparkan senyuman yang manis padanya. Embun menelan ludah.
***
"Duh ... mendekati Ujian Nasional kita jadi nggak ada kegiatan, ya." Lia mengeluh ketika dalam perjalanan pulang menuju simpang Chandra—tempat biasa kedua gadis itu menunggu angkutan kota.
"Hu'um. Tau begini mending dari awal nggak usah datang. Ngotorin seragam aja. Lagian, kan, jadi bisa lebih hemat ongkos." Embun mengiakan setuju.
Tiba-tiba Lia menyikut. Membuat Embun menoleh ke arah jemarinya yang menunjuk. "Yakin nggak mau datang ke sekolah? Nanti jadi nggak bisa ketemu si anak Damar."