Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Apa Salahku Padamu, Bu?

Apa Salahku Padamu, Bu?

YASMIN IMAJI

5.0
Komentar
3.6K
Penayangan
56
Bab

Jika bisa memilih, Mutia pun akan memilih untuk tidak terlahir ke dunia ini. Apa salah dan dosanya pun dia tak tahu. Setiap saat akan selalu menjadi sebuah kesalahan bagi dirinya. Akibat keadaan ekonomi yang carut marut, Ibunya selalu melampiaskan segala kekesalan pada gadis ini. Apa yang akan terjadi pada Mutia selanjutnya? Baca kisahnya di sini, ya. Jangan lupa untuk follow dan selalu berikan dukungan untuk author 😍😍

Bab 1 Tangisan Mutia

"Ampun, Bu. Ampun ..., ku mohon hentikan, Bu. Sakiiit ...."

Teriakan Mutia di tiap harinya akan selalu terdengar sampai kerumah-rumah tetangga.

"Rasakan ini, masih kurang, kesini kamu! Dasar kamu memang anak s*al".

Plak plok plak plok ....!!

Dengan ringannya tangan ibu Mutia memukul anak sulung nya tersebut. Dan dari setiap kali selesai dengan amarahnya, ia akan selalu meninggalkannya begitu saja setelah dia puas memukulinya.

Bu Narti, itu adalah dirinya. Entah apa yang membuat dia bersikap begitu kasar pada Mutia, anak sulungnya itu. Baru juga Mutia lulus SMA, tapi Bu Narti sudah mencecarnya dengan berbagai macam kata kasar. Bu Narti hanya ingin Mutia segera bekerja agar bisa menghasilkan uang, untuk membantu membiayai adik Mutia yang masih sekolah.

"Bu, hari ini Mutia pamit mau cari kerja di kawasan industri, ya." Pagi itu Mutia meminta izin dan segera berpamitan kepada ibunya.

"Mau di kawasan, mau di kota, mau dimana terserah kamu, Mutia. Yang penting kamu bekerja, punya penghasilan. Kapan kamu bisa membahagiakan ibu dan bapak jika kamu terus menumpang sama ibu." Begitu sakit jawaban yang ibunya berikan.

"Iya, Bu. Mutia berangkat dulu. Assalamualaikum." Mutia pergi dengan linangan air mata di pagi hari yang cerah itu.

'Ya Allah, apa salahku kepada ibu, hingga beliau begitu membenciku?" ratap Mutia pilu di dalam hatinya.

Mutia berjalan dengan langkah kaki yang terlihat lesu menuju jalan besar untuk mencari angkutan umum. Di sepanjang jalan, beberapa tetangga menyapa Mutia yang berjalan dengan wajah tertunduk lesu. Warga sekitar begitu menyukai Mutia, bukan dari parasnya yang pas-pas an, tapi mereka menyukai sikap dan kesantunan Mutia terhadap orang lain.

"Mau kemana, Nduk. Pagi-pagi kok wajah sudah ditekuk begitu, ilang loh ayune," goda mbak Tutik saat Mutia lewat. Mbak Tutik adalah tetangga satu RT Mutia.

"Mau ngelamar kerja, mbak Tut. Jenuh jika harus di rumah terus," jawab Mutia sekenanya dengan senyum yang terlihat dipaksakan.

"Yo, ati ati yo, Nduk. Ojo lali Bismillah." Kata mbak Tutik kepada Mutia, dan Mutia pun hanya mengangguk dan tersenyum kepada mbak Tutik.

Di sana, kebetulan sedang berkumpul ibu-ibu yang sedang berbelanja sayuran.

"Yu Sari, yu Asih, kasihan banget yo si Mutia. Tiap hari dimarahi, dipukuli, sampai kayak gitu sama bu Narti. Aku kok ndak tega lihatnya," ucap mbak Tutik pada yu Sari dan yu Asih yang sedang memilih sayur didepan rumah mbak Tutik.

"Iyo kok, jan to wis gendeng tenan iku ibune Mutia. Anak gadis kok disia-sia. Ndak takut azab datang tiba-tiba." Yu Sari berkata dengan bibir mencebik khas para emak-emak yang lagi ghibah sambil beli sayur.

Sesaat kemudian, bu Narti juga datang untuk membeli sayur. Seketika, mbak Tutik dan Yu Sari terdiam dan berlalu setelah membayar belanjaannya.

"Lah, udah to belanjanya?" tanya Bu Narti yang baru saja datang.

"Sudah, Bu. Duluan, yo." Ketiga orang itu menjawab hampir bersamaan.

"Lah, aku baru datang kok mereka malah sudah pergi," cebik Bu Narti sambil memilah-milah sayuran.

**

Mutia menarik napas panjang, dan kemudian menghembuskannya secara perlahan. Dia menatap sebuah pabrik garment di hadapannya. Pabrik yang begitu besar dan begitu terkenal di kotanya.

"Bismillahiromanirrohim, semoga semua dilancarkan, ya Allah. Semoga aku diterima dan dapat segera bekerja ditempat ini," gumam Mutia lirih saat mulai melangakah masuk ke dalam gerbang.

Setelah itu, Mutia menuju ke kantor satpam. Dimana banyak pelamar lain juga yang antri berjajar rapi disana. Pak satpam mulai mengumpulkan berkas para pelamar yang akan diserahkan kepada HRD. Lalu para pelamar kerja di arahkan menuju ke ruangan interview. Dari sepuluh orang pelamar, mereka hanya menerima lima orang saja sesuai kriteria. Pada saat interview juga sudah dijelaskan tentang sistem penggajian, jam kerja, jam istirahat, pemakaian seragam, dan juga tentang hari libur.

Usai dari ruangan interview para pelamar yang diterima langsung ditempatkan pada masing-masing bagian, mereka diantarkan oleh satpam untuk kemudian tanggung jawab dialihkan kepada para pimpinan bagian masing-masing departemen.

"Mutia Astuti," panggil kepala bagian kepada Mutia.

"I--iya, Pak," jawab Mutia dengan sedikit terbata.

🍁🍁🍁

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh YASMIN IMAJI

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku