Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
SAAT sedang lembur di kantor tempat utamaku merancangkan desain-desain bangunan, tanpa sadar setelah aku merilekskan punggungku ke sandaran kursi di belakangku dengan kedua tangan berperan sebagai bantal untuk kepalaku, aku malah merenungkan ucapan adikku kemarin malam: mengenai permintaan adikku kepadaku untuk menyentuh istrinya karena mereka berdua sudah didesak kedua belah pihak keluarga untuk segera memiliki keturunan.
Aku benar-benar galau sekarang. Kenapa aku harus menodai adik iparku? Mungkin, kalau hanya sebatas diminta adikku untuk menikahi kekasih adikku, aku masih bisa menerima, tetapi kalau untuk berzina, bagaimana aku bisa melakukannya—meskipun aku bukan laki-laki alim—sementara perasaan tidak tega kepada adik iparku terus-menerus datang untuk menghampiriku, bahkan di dalam mimpiku?
Di sini, ingatan masa lalu sudah menerobos masuk ke dalam benakku. Pada suatu malam dengan keadaan langit sedang tidak bagus, terus-menerus menangis deras sejak hari masih sore, Niken—kekasih Nara, adikku—harus bernasib malang karena diusir dari rumah setelah terciduk kalau dirinya tengah hamil di luar nikah, adikku benar-benar bingung dan hanya bisa menyuruh kekasihnya untuk menginap di sebuah indekos selama beberapa hari selagi memikirkan solusi, tetapi adikku akhirnya malah memintaku untuk menikahi dan mengakui anak di dalam perut kekasihnya demi nama baik keluarga.
Bulan lalu, di hadapan seluruh penghuni rumah—ayahku, ibuku, adikku, dan adik iparku—aku mengaku kepada mereka semua kalau diriku sudah menghamili seorang perempuan dengan tidak lupa untuk membawa serta kekasih adikku, sekalian memperkenalkan karena adikku sendiri belum pernah mempertemukan kekasihnya dengan keluarga kami.
"Keterlaluan!"
Usai mendengar pengakuanku, tentu ayahku langsung naik pitam, bahkan tidak segan-segan untuk menghancurkan paras tampan wajahku dengan tinjuannya, secara bertubi-tubi. "Bagaimana kau bisa berbuat begini?!" tanya ayahku dengan suara besar dan bernada tingginya, mungkin karena saking kerasnya sampai terdengar hingga ke telinga tetangga.
Ketika ayahku bermain tangan, ibuku memilih untuk duduk diam di sofa di ruang keluarga, menangis dengan isakan pelan, beberapa kali sampai ditenangkan adik iparku. Lepas detik demi detik berlalu, ibuku hanya melayangkan tatapan tidak menyangka kepadaku dan berkata dengan nada sedih luar biasa, "Ibu sangat kecewa kepadamu."
"Maaf, Yah, Bu," ucapku untuk menanggapi kata-kaya ayah dan ibuku dalam kondisi berlutut di lantai dengan kedua tangan nyaris tergerak untuk meremas kedua pahaku, menahan diriku supaya tidak mengungkapkan fakta sebenarnya. "Aku khilaf."
Akhirnya, amarah kedua orangtuaku tetap menghasilkan keputusan positif—terutama untuk adikku—karena selang satu minggu pasca guncanganku di ruang keluarga, aku dan kekasih adikku segera dinikahkan sekalipun acaranya tidak sampai dibuat besar-besaran, asalkan segenap kerabat dan tetangga sudah tahu.
Berhubung malam semakin larut dan suasana di ruangan selama bermenit-menit sudah teramat sepi, keputusanku adalah segera meninggalkan pekerjaanku sebagai satu-satunya mata pencaharianku, setidaknya untuk sekarang.
Pulang ke rumah dengan menggunakan mobil—masih masuk kategori biasa, bukan mewah dengan harga sampai miliaran rupiah—sudah dilakoninya setelah membelinya secara kredit dengan pembayaran dilakukan dalam jangka waktu dua tahun.
Rupanya, sekalipun sudah disengajakan untuk tiba di rumah di jam-jam tidur sehingga terhindar dari adikku, aku malah masih sempat dipertemukan dengan adikku. Parahnya, adikku langsung mengajakku ke ruang baca untuk bicara berdua.
Dari manik mataku, adikku terlihat sedang teramat sedih selagi duduk di salah satu sofa dalam keadaan sedang merokok, suatu kebiasaan buruk dan telah dijalankan dalam kurun waktu lebih dari lima tahun. Dia lagi-lagi mengadu kepadaku karena orangtua dan mertua sudah bertambah menggebu-gebu seiring dengen berjalannya waktu, menuntut adikku dan adik iparku berdua untuk segera memiliki momongan sebelum tahun berganti. "Ayolah, Kak, kalau bukan kepada kakak, kepada siapa lagi aku bisa meminta tolong?" ucap adikku, masih sangat kukuh dengan kemauannya.
"Kau tahu sendiri, bukan? Aku tidak bisa meminta tolong kepada orang luar."
Di seberang sofa tempat adikku duduk, aku hanya mengangkat wajah dengan ekspresi kurang berminat, menatap adikku sebentar sebelum menunduk dan memainkan tangan kananku di atas paha kananku dengan jari telunjuk diketuk-ketukkan ke daerah lutut. Meski tidak sampai harus becermin, aku yakin sekali kalau kerutan halus di atas kedua alisku tampak sangat nyata.
"Biarkan aku memikirkannya lagi," kataku kemudian setelah menatap ke arah adikku lagi, tetapi adikku hanya membuang napas dengan kasar, terlihat kecewa dengan responsku barusan, sampai-sampai adikku memilih untuk segera enyah dari hadapanku.
Yang aku lakukan selain mengusap wajah dengan telapak tangan kananku adalah menghela napas. Berat hatiku setelah melihat sikap adikku barusan. Aku tidak mau merusak hubungan persaudaraan kami berdua hanya gara-gara keplinplananku, ditambah jawaban setengah-setengah dariku ternyata cukup memperparah semuanya.
***
Sarapan bersama sudah merupakan kebiasaan keluarga secara turun-temurun. Meski hanya dihuni enam orang, mereka benar-benar seperti orang besar tetapi terlihat sederhana karena sebagian besar urusan rumah selalu dikerjakan sendiri.