Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Maaf, Kami Pernah Berzina

Maaf, Kami Pernah Berzina

Cherrysoda

4.0
Komentar
1.6K
Penayangan
25
Bab

Tugas pertamaku sebagai kakak angkat: menikahi Niken, kekasih Nara-adikku-karena Niken malah mengandung darah daging adikku sementara adikku sudah telanjur menikah dengan Nada karena dijodohkan. Tugas keduaku sebagai kakak angkat: berzina dengan Nada hingga membuatnya hamil, mengingat adikku tidak pernah bersedia untuk menyentuhnya karena adikku hanya mencintai Niken-bahkan sampai bersumpah bahwa sampai kapan pun tidak akan pernah mengkhianati kekasihnya. Tapi, apakah aku sanggup untuk menodai wanita baik-baik seperti Nada?  #IZINKAN AKU BERZINA (1-11) #JANGAN AJAK AKU BERZINA (12-18) #MAAF, KAMI PERNAH BERZINA (19-25)

Bab 1 1. Dilanda Dilema

SAAT sedang lembur di kantor tempat utamaku merancangkan desain-desain bangunan, tanpa sadar setelah aku merilekskan punggungku ke sandaran kursi di belakangku dengan kedua tangan berperan sebagai bantal untuk kepalaku, aku malah merenungkan ucapan adikku kemarin malam: mengenai permintaan adikku kepadaku untuk menyentuh istrinya karena mereka berdua sudah didesak kedua belah pihak keluarga untuk segera memiliki keturunan.

Aku benar-benar galau sekarang. Kenapa aku harus menodai adik iparku? Mungkin, kalau hanya sebatas diminta adikku untuk menikahi kekasih adikku, aku masih bisa menerima, tetapi kalau untuk berzina, bagaimana aku bisa melakukannya-meskipun aku bukan laki-laki alim-sementara perasaan tidak tega kepada adik iparku terus-menerus datang untuk menghampiriku, bahkan di dalam mimpiku?

Di sini, ingatan masa lalu sudah menerobos masuk ke dalam benakku. Pada suatu malam dengan keadaan langit sedang tidak bagus, terus-menerus menangis deras sejak hari masih sore, Niken-kekasih Nara, adikku-harus bernasib malang karena diusir dari rumah setelah terciduk kalau dirinya tengah hamil di luar nikah, adikku benar-benar bingung dan hanya bisa menyuruh kekasihnya untuk menginap di sebuah indekos selama beberapa hari selagi memikirkan solusi, tetapi adikku akhirnya malah memintaku untuk menikahi dan mengakui anak di dalam perut kekasihnya demi nama baik keluarga.

Bulan lalu, di hadapan seluruh penghuni rumah-ayahku, ibuku, adikku, dan adik iparku-aku mengaku kepada mereka semua kalau diriku sudah menghamili seorang perempuan dengan tidak lupa untuk membawa serta kekasih adikku, sekalian memperkenalkan karena adikku sendiri belum pernah mempertemukan kekasihnya dengan keluarga kami.

"Keterlaluan!"

Usai mendengar pengakuanku, tentu ayahku langsung naik pitam, bahkan tidak segan-segan untuk menghancurkan paras tampan wajahku dengan tinjuannya, secara bertubi-tubi. "Bagaimana kau bisa berbuat begini?!" tanya ayahku dengan suara besar dan bernada tingginya, mungkin karena saking kerasnya sampai terdengar hingga ke telinga tetangga.

Ketika ayahku bermain tangan, ibuku memilih untuk duduk diam di sofa di ruang keluarga, menangis dengan isakan pelan, beberapa kali sampai ditenangkan adik iparku. Lepas detik demi detik berlalu, ibuku hanya melayangkan tatapan tidak menyangka kepadaku dan berkata dengan nada sedih luar biasa, "Ibu sangat kecewa kepadamu."

"Maaf, Yah, Bu," ucapku untuk menanggapi kata-kaya ayah dan ibuku dalam kondisi berlutut di lantai dengan kedua tangan nyaris tergerak untuk meremas kedua pahaku, menahan diriku supaya tidak mengungkapkan fakta sebenarnya. "Aku khilaf."

Akhirnya, amarah kedua orangtuaku tetap menghasilkan keputusan positif-terutama untuk adikku-karena selang satu minggu pasca guncanganku di ruang keluarga, aku dan kekasih adikku segera dinikahkan sekalipun acaranya tidak sampai dibuat besar-besaran, asalkan segenap kerabat dan tetangga sudah tahu.

Berhubung malam semakin larut dan suasana di ruangan selama bermenit-menit sudah teramat sepi, keputusanku adalah segera meninggalkan pekerjaanku sebagai satu-satunya mata pencaharianku, setidaknya untuk sekarang.

Pulang ke rumah dengan menggunakan mobil-masih masuk kategori biasa, bukan mewah dengan harga sampai miliaran rupiah-sudah dilakoninya setelah membelinya secara kredit dengan pembayaran dilakukan dalam jangka waktu dua tahun.

Rupanya, sekalipun sudah disengajakan untuk tiba di rumah di jam-jam tidur sehingga terhindar dari adikku, aku malah masih sempat dipertemukan dengan adikku. Parahnya, adikku langsung mengajakku ke ruang baca untuk bicara berdua.

Dari manik mataku, adikku terlihat sedang teramat sedih selagi duduk di salah satu sofa dalam keadaan sedang merokok, suatu kebiasaan buruk dan telah dijalankan dalam kurun waktu lebih dari lima tahun. Dia lagi-lagi mengadu kepadaku karena orangtua dan mertua sudah bertambah menggebu-gebu seiring dengen berjalannya waktu, menuntut adikku dan adik iparku berdua untuk segera memiliki momongan sebelum tahun berganti. "Ayolah, Kak, kalau bukan kepada kakak, kepada siapa lagi aku bisa meminta tolong?" ucap adikku, masih sangat kukuh dengan kemauannya.

"Kau tahu sendiri, bukan? Aku tidak bisa meminta tolong kepada orang luar."

Di seberang sofa tempat adikku duduk, aku hanya mengangkat wajah dengan ekspresi kurang berminat, menatap adikku sebentar sebelum menunduk dan memainkan tangan kananku di atas paha kananku dengan jari telunjuk diketuk-ketukkan ke daerah lutut. Meski tidak sampai harus becermin, aku yakin sekali kalau kerutan halus di atas kedua alisku tampak sangat nyata.

"Biarkan aku memikirkannya lagi," kataku kemudian setelah menatap ke arah adikku lagi, tetapi adikku hanya membuang napas dengan kasar, terlihat kecewa dengan responsku barusan, sampai-sampai adikku memilih untuk segera enyah dari hadapanku.

Yang aku lakukan selain mengusap wajah dengan telapak tangan kananku adalah menghela napas. Berat hatiku setelah melihat sikap adikku barusan. Aku tidak mau merusak hubungan persaudaraan kami berdua hanya gara-gara keplinplananku, ditambah jawaban setengah-setengah dariku ternyata cukup memperparah semuanya.

***

Sarapan bersama sudah merupakan kebiasaan keluarga secara turun-temurun. Meski hanya dihuni enam orang, mereka benar-benar seperti orang besar tetapi terlihat sederhana karena sebagian besar urusan rumah selalu dikerjakan sendiri.

Mungkin, setelah kedatangan adik iparku, ibuku merasa sangat terbantu karena adik iparku selalu ikut turun tangan mulai dari memasak hingga mencuci pakaian. Anehnya, sekalipun adik iparku berasal dari kalangan berada, kenapa seakan-akan dirinya malah terlalu buta dengan kemewahan?

Dia sangat aneh, tamatan sarjana strata 1 bidang komunikasi, malah memilih bekerja sebagai guru di sebuah taman kanak-kanak, kurang peduli dengan merek pakaiannya, tidak seperti istriku, sekaligus kekasih adikku, hanya tamatan SMA, berasal dari kalangan biasa, tetapi memiliki gaya hidup sampai menyaingi langit, teramat malas untuk tidak melakukan apa pun dengan selalu menjadikan kehamilan sebagai alasan

Baiklah. Poin terpenting dari sejumlah keluh kesahku hanya satu. Aku tanpa sadar telah mengagumi kepribadian dari adik iparku: dapat menjaga martabat dan mampu menutup setiap keburukan suami untuk digantikan dengan kalimat-kalimat bernada bangga.

"Nad."

"Uang dari suamimu masih cukup, bukan?" tanya ibuku setelah adikku sudah berangkat ke restoran, istriku telah masuk kamar, ayahku sedang memberi makan ikan di kolam samping rumah, sementara aku masih berada di meja makan, belum siap-siap bekerja karena kantor tempatku mengais rezeki baru dibuka pukul sembilan nanti, sekitar dua jam dari sekarang.

Wajar kalau ibuku tiba-tiba bertanya begitu. Adik iparku selalu belanja keperluan rumah tangga tanpa perlu menunggu perintah dan uang dari ibuku. Jika sudah waktunya, maka dirinya akan langsung berinisiatif. Dia malah sampai hapal dengan selera setiap anggota keluarga.

"Masih, kok, Bu," jawab adik iparku.

Meski adikku tidak pernah memberikan nafkah lahir maupun batin kepada adik iparku karena adikku merasa kalau hanya bisa diberikan kepada istriku, setahuku adik iparku tidak pernah mengeluh, apalagi sampai mengadu dan mengungkit-ungkitnya secara gamblang di depan muka ibuku dan ayahku.

Aku teringat dengan reaksi adik iparku ketika pertama kali tahu bahwa bayi di dalam perut istriku adalah anak suaminya. Tidak ada maksudku untuk menguping pembicaraan antara adikku dan adik iparku. Segalanya terjadi di luar rencanaku. Sebab, kamarku dan kamar adikku hanya bersebelahan dan dihubungkan oleh sebuah pintu sebagai bukti dari kedekatan kami selaku kakak dan adik.

"Jika benar kalau anak dalam kandungan Kak Niken adalah milikmu, maka kau tidak boleh sampai lepas tangan. Dia sangat membutuhkanmu sebagai ayahnya," ucap adik iparku ketika malam pertama pernikahanku dengan kekasih adikku.

"Ya, aku tahu," jawab adikku untuk menanggapi, sementara aku hanya berdiri dengan punggung tersandar di balik pintu cokelat di belakangku. Untunglah, kekasih adikku masih berada di luar sehingga tidak perlu mendengar perbebatan mereka dan muncul di tengah-tengah mereka untuk selanjutnya berperan sebagai biang masalah untuk membuat keduanya semakin memanas.

"Tapi, untuk sementara waktu ... dan tidak tahu sampai kapan, aku hanya bisa mengaku sebagai pamannya."

"Nolan," seru ibuku, sungguh membuatku tersentak dan tersadar dari lamunanku, kilas balik mengenai peristiwa di masa lalu buyar seketika.

"Iya, Bu," sahutku setelah menatap wajah ibuku. Sungguh, mendadak perasaanku tidak enak, rasa-rasanya ibuku akan segera menyinggung sikap istriku.

"Sejak menjadi bagian dari keluarga kita, sepertinya istrimu masih mendirikan sebuah benteng pemisah antara kita. Apakah kau tidak bisa menyuruh istrimu untuk sering-sering keluar kamar dan mengobrol bersama kita?"

"Ibu tidak ingin apabila kita di sini terkesan mengucilkan istrimu."

"Iya, Bu," sahutku dengan memaksakan senyum di wajahku, "aku akan bicara kepadanya."

Miris, di dalam hati, aku hanya bisa berkata, 'Maaf, Bu. Dia memang istriku. Tapi, istriku hanya mau mendengarkan anak keduamu, Bu.'

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku