Maaf, Kami Pernah Berzina
at siap untuk menemani istriku periksa ke dokter kandungan. Lepas meninggalkan beranda rumah sakit, tiba-tiba aku teringat sesuatu, sebuah momen singkat pada malam pernikah
sana kejutan tidak terduga di tengah sepinya hari. Di saat-saat aku sedang fokus menyetir, kedua telingaku dapat mendengar suara
malang seperti dirinya, bahkan sampai memeluk tubuhnya sendiri karena merasa kedinginan. Lantas, tanpa menunggu lama, aku segera bertindak untuk m
aku sudah tiba di depan tempat adik iparku
ya, sudah detik demi detik berlalu, adik iparku baru bisa menjawa
m merespons, hanya dalam jeda waktu se
ndari sinar mataku. Bukankah akan dinilai tidak sopan kalau setiap bertukar kata kita tidak berkanan untuk menatap lawan b
cukup tersita. "Mm, kau pulang bersamaku saja, ya," usulku kemudian, tangan kananku sempat
ta itu memperoleh keputusan, bibirku cepat-cepat kubuka untuk mengimbuhkan, "Nan
yakinkan hingga membuat adik ipark
aman senantiasa terpelihara dengan baik untuk menyenangkan diriku. Di dalam mobil, ketika aku hendak menyalakan mesin, secara tidak sengaja ekor mata kiriku malah mendapati adik ti
menerima jasku dengan ragu-ragu, seakan-akan sudah dapat meneba
tidak memiliki topik untuk diramaikan, sementara adik iparku ... kapan pernah terbu
ungkin akan ke lantai dua. "Eh, kok ... kalian bisa barengan begini?" tanya ibuku, tidak lama setelah adik iparku
k adik iparku untuk menegaskan ulang karena ibuku terlihat
untuk berputar, bibirku baru terasa ringan untuk tergerak dalam rangka menyampaikan alibiku. "Mm, aku terpaksa menitipkan istriku di restoran karena
estoran dengan begitu teganya. Apa mau dikata, adikku dan kekasihnya apabila sudah
erut dan tatapan heran diarahkan kepadaku, hingga akhirn
haku dalam menutupi kebohonganku. "Begitulah, Bu," jawabku denga
erayun pelan ke arah kiri dan kanan sebany
dah untukku, daripada nanti malah ditanya lebih detail. Ibuku bisa curiga kalau bibirku sampai terbuka untuk me
*
l kerjaku sejenak dengan kedua tangan dilipat di depan dada dan pandangan menilai. Tentu saja, rasa percaya diri tidak akan
jah diangkat dan sorot mata mengarah kepadaku. Pedihnya, pertanyaan barusan semata-mata h
terdengar untuk mengiringi gerakan kedua telapak tanganku pada waktu akan menu
wakilkan dengan sangat jelas. "Dia terlalu baik un
idak tahu harus bagaimana lagi untuk merayuku, "bisa-bisa ... kami dipak
isa sangat merasa bersalah. Mungkin, kalau hanya sebatas bisnis pribadi, adikku tidak akan sampai dirundung perasaan gelisah
nmu," sahut adikku dengan tangan kanan terangka
ng baca duluan, sementara aku malah memutuskan untuk rapi-rapi sebentar sebel
s memeriksa dengan menunduk dan manik mata terarahkan ke layar setelah ponselku berada dalam genggaman k
urkan obat ke dal
e
dang menggeliat aneh, seperti tidak nyaman karena kepanasan. Ah, tidak perlu dipertanyakan terus, aku sudah sangat paham sebabnya. Tapi, haruskah aku menu
*