Maaf, Kami Pernah Berzina
inya. Decak kagum di dalam hati senantiasa tersampaikan kepada seluruh penduduk langit selama pikiranku sibuk menilai pertahanan adik iparku, terlalu
angkat untuk meraih salah satu lengan adikku, tetapi berakhir gagal karena adik iparku tiba
a terhadapku. Melihat raut cemas di wajah wanita di hadapanku, aku menarik napas dalam-dalam sebelum menatap manik mata hitam kelam adik iparku
ebak sudah bersemayam di dada, "dengan
ampak tidak sanggup untuk menapak di atas lantai sehingga aku bisa mema
aku
a be
mata mula turun dari kedua sudut mata wanita di hadapanku, lebih tepatnya sebelum tangan kananku terangkat untuk melepaskan kerudungnya, entah mengapa lembar
ena tubuhnya mengharapkan sentuhan seorang laki-laki, meskipun akal sehat bersikeras untuk menolak
ngkat, bukan untuk melepaskan kain sebagai penutup kepala wanita di depanku, melaink
*
adikku bekerja dan menghabiskan banyak waktu selain di rumah. Aku tahu. Laki-laki itu masih sangat kesal kepadaku setelah mendengar kabar buruk me
gan matang karena keraguan seperti tersimpan dalam irama alunan suaraku. "Aku akan memberikan obat
k menghantam gagang stir, "sepertinya tidak mempan untuknya,
ntuk meremas-remas pelipisnya, kemungkinan karena diserang pening. Ah, sekarang aku sud
*
dang denganku pun sudah enggan. Apakah diriku sekarang hanya semacam kotoran ayam hingga adik iparku tiba-tiba bisa
untuk mengunci pintu, lensa mataku menangkap bayangan seorang wanita terlihat sedang beres-b
soknya tampak bergeser sedikit dengan memeluk sebuah selimut dan banta
mengikis gemetar di sekujur bahu adik iparku, semoga saja. Sayangnya, balasan a
diri. "Bahkan, meskipun telah diucapkan dengan sungguh-sungguh, setiap janji masih bisa
aratkan tidak akan lebih dari seujung kuku, sebagai laki-laki normal, jelas bukan hal mudah untukn
ikku sudah mengakui perbuatannya, tetapi betapa kerdil hati adik tersayangku hingga malah menyuruh istrinya un
dak mau
a be
an murka
kut? Bukankah Al
ah memang m
memaafkanku, sementara sejak awal sudah ta
roleh rahmat dari-Nya dengan
ntah singkat sudah menangkap gelombang suara. "Aku bisa menuruti apa pun perintah suamiku, Kak. Tap
Kepalaku berdenyut keras. Dibuat pusing hingga menyiksa batin. Detik terus bergulir dan tidak sampai be
ik iparku, bukan tangg
beda sekali ketika adik iparku menuju balkon melalui jendela kamarku sebelum dilanjutkan menggelar selimut-sekaligus dijadikan kasur
adik iparku, bisa dilihat tetangga secara tidak terencana-kecuali apabila lampu di sana d
udah sangat gila sampai tidak bisa berhenti berpikir walaupun hanya sejenak. Omong-omong, sekarang adalah waktunya tidur, semoga angin malam tidak sedang kurang ke
*