Cemburu yang Tak Pernah Reda

Cemburu yang Tak Pernah Reda

Heri Purnomo

5.0
Komentar
Penayangan
23
Bab

Di usianya yang hampir menginjak 31 tahun, Alisha Mariska belum juga menemukan secercah kebahagiaan dalam cinta. Setelah bertahun-tahun mendengar gosip-gosip tetangga dan keluarga yang tak henti-hentinya menanyakan soal jodohnya, Alisha akhirnya menyerah dan menyetujui perjodohan yang diatur orang tuanya. Tanpa sepengetahuannya, pria yang dipilih untuk menjadi calon suaminya ternyata telah beristri. Malang tak dapat ditolak, malam pertama mereka berakhir dengan kekacauan ketika istri sah pria itu datang dan menegurnya di depan mata sendiri. Malu dan kecewa, Alisha pun memutuskan untuk pergi. Dalam pelariannya, ia menemukan sebuah harapan baru-seorang duda beranak satu yang diam-diam telah menarik hatinya. Namun, pria itu bukanlah orang yang mudah didekati. Misterius, dingin, dan hatinya sudah terkunci rapat, masih terbebani luka lama karena kehilangan istrinya yang dulu dikabarkan meninggal saat menyelamatkannya. Alisha, yang tak ingin terus tenggelam dalam rasa malu, menerima tawaran seorang sahabat untuk tinggal sementara di rumahnya. Di sana, sahabatnya juga menawarkan pekerjaan sebagai baby sitter, yang ternyata justru menjadi titik awal perjalanan baru bagi Alisha-satu perjalanan yang mengajarkannya tentang cinta, pengorbanan, dan keberanian untuk membuka hati lagi.

Bab 1 Usianya yang hampir 31 tahun

Alisha Mariska menatap langit senja dari balkon rumahnya. Warna oranye dan ungu berpadu di cakrawala, namun di dalam hatinya hanya ada kegalauan yang tak kunjung reda. Usianya yang hampir 31 tahun membuat banyak orang sekitarnya-tetangga, keluarga, bahkan teman lama-terus bertanya tentang jodohnya. Pertanyaan yang terdengar polos di telinga mereka, tapi baginya seperti jarum yang menusuk-nusuk hati.

"Hampir tiga puluh satu, masih sendiri," gumamnya pelan, menatap secangkir teh yang mulai dingin di tangannya.

Dia menghela napas panjang. Sudah bertahun-tahun ia menolak berbagai tawaran perjodohan. Tidak karena sombong, tapi Alisha selalu percaya bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Namun, tekanan dari keluarga semakin hari semakin tak tertahankan. Orang tuanya sudah mulai mengeluh, mengancam, bahkan menyindir di depan saudara dan tetangga.

Suatu sore, ibunya masuk ke kamar dengan ekspresi serius, namun dipaksakan tersenyum.

"Lisha, Mama sudah bicara dengan Pak Raditya. Dia punya seorang putra yang baik, mapan, dan-" Ibunya berhenti sejenak, menatap tajam ke arah Alisha. "-dan dia menunggu jawabanmu."

Alisha menutup matanya, berusaha menenangkan diri. "Mama, aku... aku tidak mau dipaksa. Aku tidak bisa begitu saja menikah dengan orang yang bahkan belum aku kenal."

Ibunya mendesah panjang, menyerah pada kesabaran yang hampir habis. "Lisha, ini bukan soal mau atau tidak. Ini soal keluargamu. Kau sudah terlalu lama sendiri. Sudah waktunya kau menyerahkan sebagian hidupmu pada keputusan orang tua."

Alisha menatap ibunya, hatinya campur aduk antara kesal dan takut. Namun, tekanan itu akhirnya membuatnya memilih menyerah. Ia tidak ingin lagi menjadi sumber gosip di lingkungan rumahnya. Ia ingin semua ini berakhir, meski dengan risiko hatinya hancur.

Minggu berikutnya, Alisha diperkenalkan pada pria yang menjadi calon suaminya. Namanya Daniel Pratama, seorang pria yang kariernya cemerlang, berpenampilan menarik, dan sopan di depan umum. Namun, Alisha merasakan sesuatu yang janggal. Senyum Daniel tidak pernah sampai ke matanya, dan sorot matanya kadang menatap kosong, seolah menyimpan rahasia yang berat.

Pertemuan itu berlangsung singkat, di ruang keluarga yang hangat namun dipenuhi ketegangan.

"Salam kenal, Alisha," ucap Daniel dengan suara datar, menyalami tangan Alisha.

Alisha membalas dengan sopan, mencoba menyingkirkan perasaan cemas yang merayapi dadanya. Ia mencoba tersenyum, namun senyum itu terasa kaku. Selama beberapa jam, percakapan mereka berlangsung normal-tentang pekerjaan, hobi, dan keluarga. Tapi ada rasa aneh yang tidak bisa ia jelaskan.

Malam pertama mereka tiba lebih cepat daripada yang Alisha duga. Ia menunggu di kamar pengantin dengan hati yang campur aduk-antusias dan takut sekaligus. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan keras. Seorang wanita masuk dengan ekspresi marah dan air mata menetes di pipinya.

"Daniel! Apa-apaan ini?!" teriak wanita itu. Suara wanita itu memecah keheningan malam, menimbulkan gema di dinding kamar.

Alisha terpaku. Tanpa sadar, ia mundur ke pojok kamar, mulutnya terbuka, namun kata-kata tidak keluar. Pria yang seharusnya menjadi suaminya hanya menunduk, diam, wajahnya pucat.

Ternyata, Daniel sudah menikah. Dan malam itu, Alisha merasa dunia runtuh di sekelilingnya. Malu, kecewa, marah, semuanya bercampur jadi satu. Ia tidak bisa menahan air mata, dan tanpa berpikir panjang, ia mengambil beberapa barang penting dan kabur dari rumah, meninggalkan rumah yang seharusnya menjadi miliknya malam itu.

Beberapa hari setelah pelarian itu, Alisha menemukan tempat tinggal sementara lewat bantuan seorang teman lama, Nadia, yang sejak SMA selalu menjadi sahabat dekatnya. Nadia menawari Alisha kamar kosong di rumahnya, dengan senyum yang menenangkan dan pelukan hangat.

"Kau harus tenang, Lisha. Aku tahu ini sulit. Tapi kau bisa mulai lagi dari sini," kata Nadia, menepuk bahu Alisha.

Selain tempat tinggal, Nadia juga menawarkan pekerjaan untuk mengisi waktu dan membantunya berdamai dengan kenyataan. "Kau bisa jadi baby sitter di rumah tetangga. Gajinya lumayan, dan kau bisa mulai merasa punya kendali lagi atas hidupmu."

Alisha menatap Nadia, ragu namun juga bersyukur. Ia tidak punya pilihan lain. Ia harus mulai kembali dari awal.

Pekerjaan itu ternyata bukan sekadar mengasuh anak-anak. Setiap hari, Alisha belajar tentang kesabaran, ketekunan, dan cara menghadapi tantangan tanpa menyerah. Ia mulai menemukan sisi dirinya yang belum pernah ia kenal-lebih kuat, lebih bijaksana, dan sedikit demi sedikit, hatinya mulai terbuka lagi.

Di balik semua itu, ada satu sosok yang selalu menarik perhatiannya. Seorang duda beranak satu bernama Rafli Ardiansyah, yang tinggal di dekat tempatnya bekerja. Pria itu misterius, dingin, dan sulit didekati, namun ada sesuatu di matanya yang membuat Alisha penasaran-rasa sakit yang tersembunyi, dan kesedihan yang belum hilang.

Setiap kali pandangan mereka bertemu, hati Alisha bergetar. Tapi ia tahu, untuk mendekati Rafli, ia harus bersabar, perlahan, dan siap menghadapi rahasia yang mungkin disimpannya.

Sejak saat itu, hidup Alisha berubah. Dari seorang wanita yang kalah oleh penolakan dan gosip, ia mulai menapaki jalan baru-jalan yang penuh tantangan, luka, tapi juga harapan. Dan meski ia tidak tahu apa yang menanti, satu hal yang pasti: hatinya tidak akan lagi terbuka untuk sembarang orang.

Alisha menatap jam dinding di ruang tamu. Angka delapan pagi berpendar di layar, dan matahari mulai menembus tirai tipis kamar, menandakan hari baru. Meski tubuhnya terasa lelah setelah semalam merapikan rumah Nadia, pikirannya tidak bisa tenang. Hatinya masih penuh dengan kepahitan dari malam yang lalu, ketika ia mengetahui Daniel menyembunyikan istrinya. Malam itu bukan hanya mempermalukannya, tapi juga membuatnya kehilangan kepercayaan pada orang lain, terutama pria.

Nadia muncul dari dapur dengan membawa cangkir kopi hangat. "Kau tidak akan makan?" tanya sahabatnya, menepuk punggung Alisha.

Alisha menggeleng, suaranya serak. "Aku belum lapar, Nadi. Masih banyak yang harus kupikirkan."

Nadia duduk di sampingnya, menatap mata Alisha dengan lembut. "Lisha, kau harus berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Ini bukan salahmu. Percayalah, Tuhan selalu punya rencana. Kau hanya belum melihat jalannya."

Alisha menarik napas panjang. Kata-kata Nadia menenangkan sedikit, tapi luka yang tertinggal dari pengkhianatan Daniel masih terasa tajam. Ia merasa dunia di sekitarnya runtuh, meninggalkannya dalam kekosongan yang tidak mudah diisi.

Beberapa hari kemudian, Alisha memulai pekerjaan barunya sebagai baby sitter. Rumah tempat ia bekerja tampak besar dan rapi, dengan halaman luas dan tanaman hijau yang tertata rapi. Anak yang harus ia rawat bernama Aidan, seorang bocah laki-laki berusia enam tahun, dengan mata besar dan senyum yang selalu bisa mencairkan hati siapa pun.

Namun, pekerjaan itu tidak semudah yang ia bayangkan. Aidan memiliki sifat keras kepala dan sering menentang aturan. Pada hari pertama, Alisha harus menghadapi tantrum yang hebat ketika Aidan menolak mandi.

"Kau tidak bisa selalu melakukan sesuka hatimu, Aidan," kata Alisha dengan tenang namun tegas.

"Tidak mau!" teriak Aidan, menolak sambil menangis.

Alisha menatap bocah itu, menahan kesal. Dalam hatinya, ia tersenyum kecil. Ada sesuatu yang mengingatkannya pada dirinya sendiri saat kecil-perasaan ingin bebas tanpa batas. "Baiklah, ayo kita lakukan secara menyenangkan," ujarnya, mencoba pendekatan baru. Ia mulai bernyanyi dan memutar-mainkan air di wastafel, hingga Aidan akhirnya berhenti menangis dan ikut tertawa.

Melihat hal itu, Alisha menyadari satu hal: kesabaran bukan hanya tentang menahan diri, tapi juga tentang menemukan cara untuk mengerti orang lain. Setiap anak, seperti halnya setiap orang dewasa, memiliki cara berbeda untuk memahami dunia.

Hari-hari berikutnya, Alisha mulai terbiasa dengan ritme rumah itu. Ia belajar menyiapkan makanan, membantu Aidan belajar membaca, dan menemaninya bermain di taman kecil belakang rumah. Namun, ada satu hal yang selalu membuat hatinya bergetar: keberadaan Rafli Ardiansyah, duda yang tinggal di rumah sebelah.

Rafli bukanlah pria yang ramah pada orang luar. Saat pertama kali Alisha bertemu dengannya di pagar rumah, ia menatapnya dengan tatapan tajam, seolah menilai setiap gerakannya. Rambutnya hitam legam, wajahnya tegas, dan aura dinginnya sulit diabaikan. Namun, ada sesuatu di balik matanya yang membuat Alisha penasaran-sebuah kesedihan yang tersembunyi dan rasa kehilangan yang dalam.

Hari itu, Rafli muncul di halaman saat Aidan bermain. "Siapa kau?" tanyanya tanpa basa-basi.

Alisha menelan ludah. "Aku... aku babysitter baru Aidan," jawabnya sopan.

Rafli menatapnya lama, seolah membaca setiap kata yang keluar dari mulutnya. Setelah beberapa detik, ia hanya mengangguk dan pergi tanpa banyak bicara. Alisha menelan kekecewaan kecil. Ia sadar, mendekati Rafli bukanlah perkara mudah.

Suatu sore, ketika Aidan sedang tidur siang, Rafli mendekati Alisha di teras. "Kau cukup sabar dengan anak itu," ucapnya, suaranya rendah dan tenang.

Alisha tersenyum tipis. "Dia sebenarnya pintar, hanya butuh arahan yang tepat."

Rafli mengangguk, menatap ke arah taman. "Dia mirip ibunya," katanya pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Alisha menahan rasa penasaran. "Maksudmu...?"

Rafli hanya menatapnya sebentar, kemudian menunduk. "Lupakan saja."

Perkataan itu membuat Alisha merasa ada luka yang dalam di hati Rafli. Tanpa sadar, rasa ingin tahu dan empatinya muncul. Ia ingin tahu cerita di balik kesedihan pria itu, namun juga tahu bahwa ia harus berhati-hati.

Hari demi hari, hubungan mereka berkembang perlahan. Rafli mulai mempercayai Alisha, meski hanya sedikit. Ia membiarkannya membantu Aidan belajar dan menemaninya bermain di halaman. Kadang, Rafli duduk di bangku taman sambil membaca buku, diam-diam memperhatikan Alisha dan Aidan bermain, tanpa terlibat secara langsung.

Alisha merasa ada koneksi yang sulit dijelaskan. Rafli tidak banyak bicara, namun tatapannya selalu menusuk hatinya. Ada rasa aman yang aneh ketika ia berada di dekatnya, walau aura dinginnya membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

Suatu malam, saat Alisha sedang menyiapkan makan malam untuk Aidan, Rafli masuk ke dapur tanpa mengetuk. "Aku ingin bicara," katanya singkat.

Alisha menatapnya waspada. "Tentang apa?"

Rafli menghela napas panjang. "Tentang hidupku. Tentang kehilangan yang tidak bisa aku lepaskan."

Alisha menunggu, tanpa menyela. Rafli duduk di kursi, menatap jauh ke luar jendela. Ia mulai bercerita tentang istrinya, seorang wanita yang konon meninggal karena menyelamatkan hidupnya dalam sebuah kecelakaan. Rasa bersalah dan kehilangan membuat hatinya tertutup rapat, dan sejak saat itu ia menutup diri dari dunia.

Alisha mendengarkan dengan penuh perhatian. Hatinya perih, tapi juga tumbuh rasa hormat dan empati yang mendalam. Ia mulai memahami bahwa setiap orang memiliki luka yang berbeda, dan kadang, orang yang paling dingin pun bisa menyimpan hati yang rapuh.

Minggu-minggu berikutnya, Alisha menemukan kenyamanan baru dalam rutinitasnya. Ia mulai menikmati interaksi dengan Aidan, melihat perkembangan anak itu, dan perlahan merasakan keterikatan yang hangat. Namun, hatinya juga semakin tertarik pada Rafli, meski pria itu tetap misterius dan sulit dijangkau.

Di sisi lain, bayangan malam pertama yang memalukan bersama Daniel masih menghantui pikirannya. Ia belajar menutup luka itu, namun tidak mudah melupakannya. Pengalaman itu mengajarkannya satu hal penting: ia tidak boleh menyerahkan hatinya kepada sembarang pria, dan kepercayaan harus dibangun perlahan, dengan bukti nyata, bukan sekadar kata-kata manis.

Alisha tahu, perjalanan ini baru dimulai. Ada banyak hal yang harus ia pelajari-tentang kesabaran, cinta, dan keberanian menghadapi kenyataan. Rafli mungkin menjadi kunci untuk membuka sisi hatinya yang lama terkunci, tapi ia juga sadar bahwa pria itu bukanlah orang yang mudah. Setiap langkah harus ditempuh dengan hati-hati, perlahan, dan penuh empati.

Sementara itu, kehidupan barunya membawa Alisha pada pengalaman yang belum pernah ia bayangkan. Setiap tawa Aidan, setiap tatapan misterius Rafli, setiap hari yang ia lalui di rumah itu, mengajarkannya tentang ketahanan, pengorbanan, dan harapan baru. Dan meski dunia di sekitarnya penuh dengan ketidakpastian, Alisha mulai merasakan bahwa ia bisa memulai babak baru dalam hidupnya-dengan hati yang perlahan membuka diri untuk cinta yang tulus.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Heri Purnomo

Selebihnya

Buku serupa

Jatuh Cinta dengan Dewi Pendendam

Jatuh Cinta dengan Dewi Pendendam

Juno Lane
5.0

Sabrina dibesarkan di sebuah desa terpencil selama dua puluh tahun. Ketika dia kembali ke orang tuanya, dia memergoki tunangannya berselingkuh dengan saudara angkatnya. Untuk membalas dendam, dia tidur dengan pamannya, Charles. Bukan rahasia lagi bahwa Charles hidup tanpa pasangan setelah tunangannya meninggal secara mendadak tiga tahun lalu. Namun pada malam yang menentukan itu, hasrat seksualnya menguasai dirinya. Dia tidak bisa menahan godaan terhadap Sabrina. Setelah malam penuh gairah itu, Charles menyatakan bahwa dia tidak ingin ada hubungan apa pun dengan Sabrina. Sabrina merasa sangat marah. Sambil memijat pinggangnya yang sakit, dia berkata, "Kamu menyebut itu seks? Aku bahkan tidak merasakannya sama sekali. Benar-benar buang-buang waktu!" Wajah Charles langsung berubah gelap. Dia menekan tubuh Sabrina ke dinding dan bertanya dengan tajam, "Bukankah kamu mendesah begitu tidak tahu malu ketika aku bersamamu?" Satu hal membawa ke hal lain dan tidak lama kemudian, Sabrina menjadi bibi dari mantan tunangannya. Di pesta pertunangan, sang pengkhianat terbakar amarah, tetapi dia tidak bisa meluapkan kemarahannya karena harus menghormati Sabrina. Para elit menganggap Sabrina sebagai wanita kasar dan tidak berpendidikan. Namun, suatu hari, dia muncul di sebuah pesta eksklusif sebagai tamu terhormat yang memiliki kekayaan miliaran dolar atas namanya. "Orang-orang menyebutku lintah darat dan pemburu harta. Tapi itu semua omong kosong belaka! Kenapa aku perlu emas orang lain jika aku punya tambang emas sendiri?" Sabrina berkata dengan kepala tegak. Pernyataan ini mengguncang seluruh kota!

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku