Benang yang Tak akan Pernah Putus

Benang yang Tak akan Pernah Putus

Haniandira

5.0
Komentar
141
Penayangan
19
Bab

Yoyo terus berusaha menghilangkan perempuan itu di hidupnya, sosok Ibu yang seharusnya diimpikan banyak anak. Yoyo mencoba memutus seluruh benang, yang berhubungan dengan Ibunya. Tetapi seberusaha apapun Ia melakukannya, memotongnya dengan alat setajam apapun yang ada di dunia, benang antara Ia dan Ibunya tidak akan pernah bisa putus. Tetapi sayangnya Yoyo tidak pernah tahu itu, Ia terus mencoba. Sampai akhirnya bukan hanya Ibunya yang terluka tapi Ia sendiri terluka lebih dalam. *** Kaiyo Wrasasana.

Bab 1 1. Berusaha Menolak Takdir

"Yo! Udah makan siang?" tanya seseorang dari seberang telepon.

Yoyo nampak antusias, "Udah! Tadi aku beli mie instan!" sahutnya.

Terdengar helaan napas dari seberang sana, "Kenapa makan mie lagi? Tadi Bapak kan udah kirimin makan sehat."

Yoyo terkekeh, Ia tahu Bapaknya pasti akan mengomel karena Ia terlalu sering makan mie instan.

"Bosen makan sehat terus! Kalo sakit aku kan periksa gratis ke Bapak!" sahut Yoyo terkekeh membuat seseorang diseberang telepon menghela napas.

"Hus..! Ngggak boleh ngomong begitu, banyak orang yang sakit tapi pengen sembuh loh. Kamu malah nggampangin sakit," kata Bapak Yoyo dari seberang sana membuat Yoyo terkekeh lagi.

"Jadi tadi makan sehat aku tumplek gara-gara aku bawa lari-larian ngejar Mantara!" kata Yoyo menjelaskan kejadian tadi pagi.

"Ya udah! Nanti sore Bapak kirimin lagi! Harus Kamu makan pokoknya!"

"Siap, Pak!"

Usai bertelepon ria dengan sang Bapak, Yoyo kini menghela napas. Bukankah Bapaknya sudah seperti Ibunya? Lantas untuk apa Ia butuh seorang Ibu? Bapaknya saja sudah bisa jadi dua orang sekaligus dalam hidupnya, Bapak bisa jadi Ayah untuknya, dan terkadang bisa jadi Ibu juga untuknya. Jadi, Yoyo rasa Ia tidak perlu sosok perempuan yang di sebut Ibu. Bapaknya saja itu sudah lebih dari cukup.

Memangnya kenapa kalau Ia tidak punya Ibu? Toh Ia masih bisa hidup tanpa perempuan itu, lagipun selama ini Yoyo jadi anak baik meskipun tanpa Ibu. Ya beberapa orang bilang kalau seorang anak akan jadi anak yang lebih baik jika di urus seorang Ibu, tapi itu semua hanya kebohongan menurut Yoyo. Lelaki itu baik-baik saja, lelaki itu tidak mendadak jadi begundal hanya karena di besarkan dan di rawat oleh seorang Bapak bukan seorang Ibu.

"Nggak semua Ibu itu sama! Ada Ibu yang emang nggak cocok kalo harus ngerawat anaknya, dan itu adalah Ibu gue sendiri!" monolog Yoyo sembari menatap langit yang siang ini agak mendung.

Yoyo masih berdiri di depan mesin cuci yang sedari tadi terus memutar-mutarkan pakaian, tentu saja itu artinya mesin cuci berfungsi dengan baik. Lain jika manusia yang omongannya berputar-putar, di mana artinya manusia itu tengah menyimpan sebuah rahasia, dan orang lain tak boleh mengetahuinya. Dan mungkin hal ini sangat pas dengan Yoyo, yang tak ingin orang lain tahu masalahnya dengan sang Ibu.

***

Yoyo paling dekat dengan Mantara, sebab sejak SD mereka sudah satu sekolah dan teman sepermainan sejak kecil, bahkan rumah mereka juga cukup dekat meski lain komplek, di mana Mantara komplek C, sementara Yoyo komplek B.

Rumah keduanya bisa disebut di daerah perumahan elite, tentu saja biaya pajaknya saja mahal meski tidak selangit mahalnya.

"Ada masalah, Yo?" tanya Mantara yang kini menepuk bahu Yoyo, membuat lelaki itu berjingkit terkejut.

"Dih kaget! Berarti ada masalah!" kata Mantara menyimpulkan sendiri, seolah sudah hapal betul kelakuan teman sekaligus tetangganya.

Yoyo nampak menghela napas, sedang tak berminat bercerita terlebih jika menyangkut Ibunya.

"Benerkan? Ah udah jelas ada masalah! Ada apa sih, Yo sebenernya? Cerita aja siapa tau gue bisa bantu," todong Mantara agar Yoyo mau setidaknya membuka mulut, dan bercerita tentang masalahnya.

Sayangnya Yoyo bukan tipe manusia, yang dengan mudahnya menceritakan masalah pribadinya pada orang lain, meski yang di maksud orang lain adalah sahabatnya sendiri.

Yoyo sekali lagi hanya menatap Mantara, yang kini juga menatapnya. Yoyo sering kali tidak merasa yakin kepada siapapun ketika hendak menceritakan masalah hidupnya, bagi Yoyo tempat terbaik dan tersempurna untuk bercerita adalah Tuhan, sebab bagi Yoyo manusia tidak ada yang bisa benar-benar menjaga rahasia yang tengah di simpannya. Dari pada ada yang tahu Yoyo memilih diam, dan menutup seluruh kehidupan pribadinya dari dunia. Dan memutuskan untuk bercerita pada Tuhan saja, seperti yang selalu di ajarkan sang Bapak.

Karena Bapak tidak pernah bisa denger ceritamu, ceritakan semua hal paling menyenangkan ataupun menyedihkan sekaligus menjengkelkan pada Tuhan. Tuhan sudah pasti menjamin kerahasiaan hamba-Nya, bahkan Tuhan akan menyimpan rapat-rapat aib seorang hamba. Maka dari pada Kamu repot-repot menceritakannya pada orang, dengan hati yang tidak tenang karena takut orang itu membongkar rahasiamu. Lebih baik ceritakan pada Tuhan, Tuhan tidak pernah menolak siapapun yang datang pada-Nya.

Dan Yoyo seketika kembali tersadar dari lamunannya, benar juga. Mungkin akan lebih baik Mantara tidak perlu tahu, dan intinya tidak boleh ada yang tahu. Karena Yoyo benci jika harus menjelaskan ataupun menceritakannya.

"Ada lah beberapa!" kata Yoyo berusaha tersenyum.

"Yodah deh kagak apa-apa! Gue mau masuk dulu, lo kapan dah kelar nyucinya?" tanya Mantara akhirnya memilih mengalihkan topik.

"Bentar lagi! Kenapa?" tanya Yoyo menatap Mantara.

"Mo nyucilah lo pikir gue kesini mo ngapain, bambang!" saut Mantara membuat Yoyo nyengir.

"Yodah sono masuk! Ntar gue panggil dah kalo udah kelar!" kata Yoyo membuat Mantara mengacungkan jempolnya, dan memilih masuk ke gedung asrama. Meninggalkan Yoyo yang termangu masih menatap mesin cuci.

***

Taman kota

19.23

Yoyo menatap sekelilingnya yang ramai malam ini, dan Yoyo sendirian. Jujur saja Yoyo memang suka berjalan-jalan malam, menikmati angin malam sembari melihat-lihat keramaian taman kota, yang dipenuhi orang berdagang, pasangan-pasangan tengah membuncah asmaranya, dan lampu-lampu taman yang kerlap-kerlip adalah favorit Yoyo.

Yoyo memilih duduk di bangku taman, menatap sekeliling tanpa berniat menjadi bagian dari keramaian taman kota. Yoyo hanya suka mengamati, tanpa ingin jadi bagian hal yang tengah Ia amati. Banyak hal yang bisa dilakukan di taman kota, jika Yoyo lebih suka mengamati keramain, maka lain dengan orang yang berdiri jauh dari Yoyo. Orang itu lebih suka mengamati Yoyo, ketimbang suasana taman kota malam ini.

Yoyo yang sedari tadi menatap ke depan menoleh ke belakang, dan seketika raut wajahnya yang tadinya sumringah bahagia berubah, air muka Yoyo tiba-tiba saja menjadi keruh setelah melihat kebelakang.

Yoyo baru saja melihat perempuan paruhbaya, yang tadi siang pula menjadi sumber kegalauannya. Tentu saja sang Ibu, perempuan yang melahirkannya ke dunia. Entahlah Yoyo tidak tahu kenapa akhir-akhir ini perempuan itu sering kali hadir di hadapannya, menunjukkan seolah peduli padanya. Tapi Yoyo sudah terlalu lama di selimuti kabut kebencian, jadi bagi Yoyo semua yang dilakukan perempuan paruhbaya itu tak pernah bernilai sama sekali. Luka pada malam itu, saat Ia memohon dengan sangat pada perempuan paruhbaya itu masih Ia ingat dengan jelas. Dan sejak saat itu Yoyo mulai membiarkan kabut-kabut kebencian menyelimuti hatinya.

Yoyo tidak bisa bukan terus menghindari perempuan paruhbaya itu? Ya akhirnya Yoyo memilih menghampiri perempuan paruhbaya itu, menatapnya lama membuat perempuan paruhbaya itu menyunggingkan senyum, lantaran merasa berhasil mendapat perhatian dari Putranya.

"Kaiyo!" panggil perempuan itu menyunggingkan senyum, yang sama persis dengan milik Yoyo.

Yoyo sadar senyumnya amat mirip dengan perempuan paruhbaya itu. Jika Bapaknya bukan orang sabar, dan baik hati. Mungkin lelaki itu tidak segan-segan akan memukuli Yoyo, kala Yoyo tersenyum. Sebab Yoyo tahu senyuman miliknya pasti akan selalu mengingatkan sang Bapak pada perempuan itu, perempuan yang melanggar janji sehidup semati dengan sang Bapak.

"Kenapa? Kenapa anda mengikuti Saya?" tanya Yoyo dengan nada dinginnya, tetapi tak meluruhkan senyum di wajah perempuan itu.

Perempuan paruhbaya itu merasa setidaknya Yoyo masih mau berbicara padanya, dan itu sudah lebih dari cukup.

"Maafin Mama, Yo!"

Yoyo terdiam, maaf? Memangnya maaf itu bisa membuat kabut-kabut kebencian di hatinya menghilang begitu saja? Memangnya maaf itu bisa menebas seluruh kebenciannya sampai akar? Memangnya maaf itu bisa mengembalikan luka masa lalunya? Dan memangnya maaf itu akan berdampak buatnya? Sungguh Yoyo tidak peduli, tapi sekali lagi Yoyo tidak bisa benar-benar tidak peduli.

Yoyo menarik napasnya sebelum berbicara, "Yoyo nggak perlu maaf dari Ibu! Yoyo cuman minta Ibu jangan muncul lagi di hadapan Yoyo! Yoyo baik-baik aja, Yoyo sehat dan tumbuh jadi lelaki yang baik seperti Bapak. Jadi, tolong jangan muncul lagi. Menghilang aja seperti dulu, menghilang seperti saat Ibu pergi ninggalin Bapak dan Yoyo! Menghilang dan pergi saat Ibu sudah tidak mau dipanggil Ibu seperti dulu, Yoyo memang benci sama Ibu tapi Yoyo nggak pernah bisa melukai Ibu. Dan Yoyo benci itu, kenapa Yoyo nggak bisa melukai Ibu? Kenapa? Kenapa setiap kali Yoyo mencoba benci Ibu, hati Yoyo makin sakit? Kenapa, Bu?" Yoyo mengeluarkan seluruh isi hatinya, air mata mulai berderai keluar dari matanya yang jernih itu.

Perempuan paruhbaya itu tersenyum, "Maafin, Ibu!" dan hanya maaf lagi yang terucap.

"Kalo Ibu cuman bisa minta maaf! Lantas Yoyo harus minta apa dari Ibu? Yoyo minta Ibu pergi tapi Ibu pasti nggak akan melakukan hal itu! Jika Ibu nggak mau pergi, maka Yoyo yang akan terus berusaha menyingkirkan Ibu dari hidup Yoyo. Yoyo akan putus seluruh benang, yang terhubung dengan Ibu!" kata Yoyo membuat perempuan di hadapannya menatapnya sendu, tiba-tiba saja buliran air mata mulai turun dari mata jernih yang bulu matanya lentik itu.

Yoyo tidak bisa melihat perempuan itu menangis, tapi Yoyo juga tidak bisa menenangkan perempuan paruhbaya itu karena egonya sebagai remaja juga lelaki.

"YOYO!" sebuah teriakan membuat Yoyo, dan perempuan paruhbaya di hadapan Yoyo menoleh ke sumber suara.

TBC.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Juliana
5.0

21+ Dia lupa siapa dirinya, dia lupa siapa pria ini dan bahkan statusnya sebagai calon istri pria lain, yang dia tahu ialah inilah momen yang paling dia tunggu dan idamkan selama ini, bisa berduaan dan bercinta dengan pria yang sangat dia kagumi dan sayangi. Matanya semakin tenggelam saat lidah nakal itu bermain di lembah basah dan bukit berhutam rimba hitam, yang bau khasnya selalu membuat pria mabuk dan lupa diri, seperti yang dirasakan oleh Aslan saat lidahnya bermain di parit kemerahan yang kontras sekali dengan kulit putihnya, dan rambut hitammnya yang menghiasi keseluruhan bukit indah vagina sang gadis. Tekanan ke kepalanya Aslan diiringi rintihan kencang memenuhi kamar, menandakan orgasme pertama dirinya tanpa dia bisa tahan, akibat nakalnya lidah sang predator yang dari tadi bukan hanya menjilat puncak dadanya, tapi juga perut mulusnya dan bahkan pangkal pahanya yang indah dan sangat rentan jika disentuh oleh lidah pria itu. Remasan dan sentuhan lembut tangan Endah ke urat kejantanan sang pria yang sudah kencang dan siap untuk beradu, diiringi ciuman dan kecupan bibir mereka yang turun dan naik saling menyapa, seakan tidak ingin terlepaskan dari bibir pasangannya. Paha yang putih mulus dan ada bulu-bulu halus indah menghiasi membuat siapapun pria yang melihat sulit untuk tidak memlingkan wajah memandang keindahan itu. Ciuman dan cumbuan ke sang pejantan seperti isyarat darinya untuk segera melanjutkan pertandingan ini. Kini kedua pahanya terbuka lebar, gairahnya yang sempat dihempaskan ke pulau kenikmatan oleh sapuan lidah Aslan, kini kembali berkobar, dan seakan meminta untuk segera dituntaskan dengan sebuah ritual indah yang dia pasrahkan hari ini untuk sang pujaan hatinya. Pejaman mata, rintihan kecil serta pekikan tanda kaget membuat Aslan sangat berhati hati dalam bermanuver diatas tubuh Endah yang sudah pasrah. Dia tahu menghadapi wanita tanpa pengalaman ini, haruslah sedikit lebih sabar. "sakit....???"

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Gavin
5.0

Suamiku, Banyu, dan aku adalah pasangan emas Jakarta. Tapi pernikahan sempurna kami adalah kebohongan, tanpa anak karena kondisi genetik langka yang katanya akan membunuh wanita mana pun yang mengandung bayinya. Ketika ayahnya yang sekarat menuntut seorang ahli waris, Banyu mengusulkan sebuah solusi: seorang ibu pengganti. Wanita yang dipilihnya, Arini, adalah versi diriku yang lebih muda dan lebih bersemangat. Tiba-tiba, Banyu selalu sibuk, menemaninya melalui "siklus bayi tabung yang sulit." Dia melewatkan hari ulang tahunku. Dia melupakan hari jadi pernikahan kami. Aku mencoba memercayainya, sampai aku mendengarnya di sebuah pesta. Dia mengaku kepada teman-temannya bahwa cintanya padaku adalah "koneksi yang dalam," tetapi dengan Arini, itu adalah "gairah" dan "bara api." Dia merencanakan pernikahan rahasia dengannya di Labuan Bajo, di vila yang sama yang dia janjikan padaku untuk hari jadi kami. Dia memberinya pernikahan, keluarga, kehidupan—semua hal yang tidak dia berikan padaku, menggunakan kebohongan tentang kondisi genetik yang mematikan sebagai alasannya. Pengkhianatan itu begitu total hingga terasa seperti sengatan fisik. Ketika dia pulang malam itu, berbohong tentang perjalanan bisnis, aku tersenyum dan memainkan peran sebagai istri yang penuh kasih. Dia tidak tahu aku telah mendengar semuanya. Dia tidak tahu bahwa saat dia merencanakan kehidupan barunya, aku sudah merencanakan pelarianku. Dan dia tentu tidak tahu aku baru saja menelepon sebuah layanan yang berspesialisasi dalam satu hal: membuat orang menghilang.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku