/0/28672/coverbig.jpg?v=20251027182455&imageMogr2/format/webp)
Namun, saat Nayara akhirnya memutuskan untuk meminta perpisahan, sikap Ravian mendadak berubah. Bukannya melepaskan dengan lapang dada, pria itu justru mulai mempermainkan hati Nayara-meninggalkannya dalam kebingungan yang semakin dalam. Dua tahun menikah karena desakan dari ibu Ravian, Nayara terjebak dalam bayang-bayang cinta yang tak pernah berbalas. Ravian Aditya Maheswara, pria dingin sekaligus pemimpin perusahaan ternama, menjalani pernikahan mereka hanya sebagai bentuk tanggung jawab... tanpa pernah benar-benar menginginkannya.
Hujan turun sejak sore tadi. Langit Jakarta berwarna kelabu, seakan ikut menyerap kepedihan di dada Nayara. Dari balik kaca jendela apartemen mewah di lantai dua puluh, ia menatap derasnya air yang menari di permukaan jalan. Semua terasa dingin, sunyi, dan... kosong.
Nayara menatap pantulan dirinya di kaca-wajah pucat, mata sembab, rambut acak-acakan. Dua tahun pernikahan seharusnya membuatnya terbiasa dengan semua ini, tapi setiap hari terasa seperti pertarungan baru antara bertahan atau menyerah.
Suara pintu terbuka memecah keheningan. Ravian baru pulang. Pria itu tampak seperti biasa-rapi, berwibawa, dan dingin. Jas abu-abu yang ia kenakan masih menempel di tubuhnya, rambutnya sedikit basah karena hujan. Tatapan matanya tak pernah berubah, tetap datar seperti lembaran kaca.
"Sudah makan?" tanyanya singkat tanpa menatap Nayara.
Belum sempat Nayara menjawab, Ravian sudah berjalan menuju kamar. Ia melepaskan dasi dan membuka kancing kemeja satu per satu tanpa sedikit pun menoleh.
"Aku sudah makan," jawab Nayara pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan di luar.
"Hm." Hanya itu tanggapan Ravian. Dingin, singkat, seperti tak ingin percakapan berlangsung lebih lama.
Nayara menarik napas panjang. "Kamu lembur lagi?"
"Ya." Ravian berdiri di depan lemari, mengganti pakaian kerjanya dengan kaus polos. "Banyak laporan yang harus kukerjakan. Besok ada rapat besar."
Nayara hanya mengangguk. Kalimat itu-banyak pekerjaan-selalu menjadi alasan yang sama setiap kali ia mencoba berbicara lebih dari lima menit dengan suaminya.
Ia memandangi punggung pria itu lama-lama, berharap Ravian akan sedikit saja menoleh, mungkin tersenyum, mungkin menanyakan kabarnya. Tapi tidak. Ravian tetap seperti batu-dingin, kaku, tak tersentuh.
Mereka menikah dua tahun lalu, bukan karena cinta, tapi karena permintaan Ibu Ravian, Ny. Maheswari, wanita elegan yang sangat menyayangi Nayara sejak kecil. Nayara tumbuh bersama keluarga itu setelah ibunya meninggal dan ayahnya bekerja di luar negeri. Hubungan mereka begitu dekat, hingga ketika Ny. Maheswari jatuh sakit, satu permintaan terakhirnya adalah ingin melihat Nayara dan Ravian menikah.
Dan Ravian menuruti.
Tanpa cinta, tanpa perasaan, hanya karena ingin memenuhi keinginan ibunya yang sedang sekarat.
Kini, setelah ibunya tiada, tak ada lagi alasan bagi Ravian untuk berpura-pura memperhatikan. Semua perlakuan hangat di awal hanyalah formalitas. Setelah pemakaman usai, dinginnya Ravian kembali seperti semula-bahkan lebih menusuk.
Nayara berjalan ke dapur, menyiapkan secangkir teh hangat. Tangannya bergetar saat menuang air panas, karena yang ia rasakan bukan hanya dingin dari udara, tapi juga dari sikap Ravian yang menembus hingga tulang.
Saat ia kembali ke ruang tamu, Ravian sudah duduk di sofa, membuka laptop.
"Aku bikin teh," ucap Nayara lembut. "Kamu mau?"
Ravian tidak menoleh. "Tidak. Aku masih harus bekerja."
Nayara mengangguk lagi, meski hatinya mencelos. Ia tahu betul Ravian tidak benar-benar bekerja. Laptop itu hanya perisai, cara pria itu untuk menghindari interaksi dengannya.
Ia menatap jam di dinding-pukul sepuluh malam. Dalam dua tahun ini, Ravian hampir tak pernah menemaninya makan malam. Tak pernah bertanya tentang harinya. Tak pernah menyentuhnya dengan kasih. Bahkan kamar tidur mereka pun sudah lama terpisah.
Nayara memejamkan mata. Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya lolos juga, menetes pelan di pipinya.
"Kenapa kamu menikahiku kalau kamu tidak mencintaiku, Ravian?" gumamnya, hampir tak terdengar.
Ravian berhenti mengetik. Ia menutup laptopnya, lalu menatap Nayara untuk pertama kalinya malam itu. Tatapan matanya tajam, tapi bukan karena marah-melainkan karena kebingungan.
"Aku tidak pernah menjanjikan cinta, Nayara," ucapnya datar. "Kau tahu alasan kita menikah."
Nayara menatap balik, matanya berair. "Aku tahu. Tapi aku juga manusia, Ravian. Aku punya hati."
"Dan aku tidak bisa memaksakan perasaan yang tidak ada," jawab Ravian cepat. "Jangan berharap sesuatu yang tidak mungkin."
Seketika ruangan itu kembali sunyi. Hanya suara hujan yang terdengar, seperti ikut menangis bersama Nayara.
Nayara tersenyum pahit. "Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku juga tidak sanggup terus seperti ini."
"Lalu apa yang kamu mau?" tanya Ravian tanpa emosi.
"Perceraian."
Ravian terdiam. Tatapannya kosong, namun di balik itu ada sesuatu yang bergetar-entah marah, terkejut, atau takut kehilangan kendali.
"Jadi itu yang kamu mau?" suaranya pelan tapi tegas. "Kau pikir setelah semua ini, aku akan membiarkanmu pergi begitu saja?"
"Kenapa tidak?" Nayara menatap balik dengan mata merah. "Kita tidak saling mencintai. Aku lelah hidup di rumah yang dingin, bersama seseorang yang bahkan tidak mau menyapaku."
Ravian berdiri, mendekat beberapa langkah. "Kau tahu apa yang akan terjadi pada reputasiku kalau kita bercerai? Pada perusahaan? Pada nama keluargaku?"
"Jadi kamu lebih peduli pada reputasi daripada kebahagiaan kita?"
"Tidak ada 'kita', Nayara!" Ravian mengangkat suaranya, untuk pertama kalinya menunjukkan emosi yang selama ini ia tahan. "Seharusnya kau tahu sejak awal-aku menikahimu bukan karena cinta!"
Nayara mundur setapak, menahan tangis yang kembali mengalir. "Ya, aku tahu. Tapi aku bodoh karena tetap berharap."
Suasana tegang mengisi ruang tamu. Keduanya terdiam, hanya saling menatap dalam jarak yang terlalu dekat, namun terasa begitu jauh.
Beberapa detik kemudian, Ravian berbalik. "Bicarakan soal ini nanti. Aku tidak ingin membahas hal ini sekarang."
Ia berjalan pergi, meninggalkan Nayara sendiri.
Malam itu, Nayara duduk lama di sofa, memandangi secangkir teh yang sudah dingin. Di dadanya, cinta yang dulu begitu besar kini terasa hancur perlahan. Ia sadar, tidak ada gunanya bertahan untuk sesuatu yang sudah mati sejak awal.
Namun ketika ia mulai berpikir untuk benar-benar pergi, Ravian justru mulai menunjukkan sisi lain yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Beberapa hari setelah pertengkaran itu, Ravian tiba-tiba menjemput Nayara di depan galeri tempatnya bekerja. Pria itu jarang sekali melakukan hal seperti itu. Biasanya ia hanya mengirim sopir.
"Masuk," ucap Ravian singkat sambil membuka pintu mobil.
Nayara ragu, tapi akhirnya masuk juga. Sepanjang perjalanan, keduanya diam. Hanya suara hujan ringan dan radio yang terdengar.
"Kita mau ke mana?" tanya Nayara akhirnya.
"Pulang," jawab Ravian. "Aku tidak ingin kau pulang sendirian malam-malam seperti ini."
Nada suaranya terdengar... berbeda. Tidak sedingin biasanya. Ada sedikit kekhawatiran di sana, meski samar.
Nayara menatapnya, mencoba membaca ekspresi wajah pria itu. Tapi Ravian terlalu pandai menyembunyikan apa pun yang ia rasakan.
Setibanya di rumah, Ravian membuka pintu untuk Nayara. Hal kecil itu saja sudah membuat Nayara terkejut.
"Ada apa sebenarnya?" tanyanya pelan.
Ravian tidak menjawab. Ia hanya menatapnya lama, lalu berkata, "Aku tidak suka kau bicara soal perceraian lagi."
"Kenapa?" Nayara menantangnya. "Bukankah kau sendiri bilang tidak ada cinta di antara kita?"
Ravian menghela napas panjang. "Aku tidak tahu." Ia menatap ke arah jendela, menghindari mata Nayara. "Aku hanya tahu aku tidak siap kehilangan sesuatu yang sudah jadi bagian dari hidupku."
Kata-kata itu menggantung di udara, membuat Nayara membeku. Untuk pertama kalinya, Ravian tidak berbicara dengan logika, tapi dengan perasaan.
Namun hati Nayara sudah terlalu lelah untuk berharap.
Ia menunduk, menatap jari-jarinya yang bergetar. "Kalau begitu, buktikan. Jangan cuma berkata tidak mau kehilangan, tapi terus memperlakukanku seolah aku tidak ada."
Ravian tidak menjawab. Ia hanya menatap Nayara lama, lalu melangkah pergi ke arah kamarnya.
Di sanalah Nayara sadar, pertarungan batin ini belum selesai.
Antara cinta yang tak berbalas dan keinginan untuk bebas, ia terjebak di antara dua dunia-yang satu menyakitinya, dan yang satu menakutkannya.
Malam itu, sebelum tidur, ia menulis di jurnal kecilnya:
"Mungkin mencintai orang yang salah bukan kesalahan terbesar. Tapi tetap bertahan setelah tahu tak dicintai-itu kebodohan yang tidak boleh kuulang."
Dan untuk pertama kalinya sejak dua tahun lalu, Nayara berdoa agar Tuhan memberinya keberanian untuk memilih-entah untuk bertahan, atau benar-benar pergi.
Namun ia tidak tahu, di balik dinginnya Ravian, ada rahasia yang perlahan akan mengubah segalanya.
Matahari baru saja naik ketika Nayara membuka matanya. Ruangan masih terasa dingin, sisa hujan semalam membuat udara pagi sedikit menusuk kulit. Ia menatap sekeliling, kamar yang rapi dan mewah itu terasa seperti penjara sunyi yang menelannya perlahan.
Ravian sudah tidak ada. Pintu kamar sebelahnya tertutup rapat, tapi dari suara samar deru mobil di garasi, Nayara tahu suaminya sudah berangkat kerja. Seperti biasa, tanpa pamit, tanpa sepatah kata.
Ia menarik napas panjang, duduk di tepi ranjang sambil menatap cincin pernikahan di jarinya. Cincin itu tak pernah dilepasnya, bukan karena berarti, tapi karena sulit melupakan makna di baliknya. Cincin itu simbol ikatan yang lahir dari kasih sayang seseorang yang sudah tiada-bukan cinta dua manusia yang menjalaninya.
Nayara turun ke dapur, menyiapkan sarapan sendiri. Sejak awal pernikahan, Ravian menolak keberadaan asisten rumah tangga di apartemen mereka. Katanya, ia tidak suka orang asing berkeliaran di rumah. Maka Nayara melakukan semuanya sendiri-memasak, mencuci, bahkan membersihkan rumah yang terlalu besar untuk satu hati yang sepi.
Sambil mengaduk kopi, pikirannya kembali ke semalam. Tatapan Ravian saat mengatakan ia "tidak siap kehilangan" masih terngiang. Bukan tatapan dingin seperti biasanya, tapi lebih... rapuh. Ada sesuatu di balik kalimat itu, sesuatu yang tidak Nayara pahami.
Namun, berulang kali ia mengingat, ia tetap tidak tahu apakah Ravian benar-benar mulai peduli atau hanya takut kehilangan kendali atas hidupnya yang sempurna.
Hari itu Nayara memutuskan untuk pergi ke galeri tempatnya bekerja. Ia sudah lama absen karena beberapa waktu terakhir suasana rumah terlalu menyesakkan. Galeri "Arsya Art Studio" adalah tempat di mana Nayara menemukan sedikit ketenangan. Ia bekerja sebagai kurator, mengatur pameran dan memilih karya-karya seni dari pelukis muda berbakat.
Begitu masuk, aroma cat dan kanvas baru menyambutnya. Reva, sahabat sekaligus rekan kerjanya, langsung menghampiri.
"Nay! Akhirnya kamu datang juga," seru Reva sambil memeluknya. "Aku pikir kamu udah lupa sama dunia seni kita."
Nayara tersenyum kecil. "Aku cuma butuh waktu buat istirahat, Rev."
Reva menatapnya lama. "Istirahat... atau kabur dari rumah?"
Nayara tertawa pahit. "Mungkin dua-duanya."
Reva menghela napas dan menggandeng tangannya. "Ayo, aku tunjukin karya baru dari seniman yang aku temuin di Bandung kemarin. Kayaknya kamu bakal suka."
Mereka berjalan ke ruang pamer. Di sana tergantung lukisan berwarna kelam, menggambarkan sosok perempuan yang berdiri di bawah hujan, memandangi bayangannya di genangan air. Judulnya 'Refleksi yang Hilang'.
Nayara terpaku. Lukisan itu seperti menampar dirinya sendiri.
"Lukisan ini..." bisiknya. "Rasanya aku seperti melihat diriku di dalamnya."
Reva menatapnya lembut. "Aku tahu. Makanya aku ingin kamu lihat."
Mereka berdua terdiam cukup lama sebelum Reva kembali bicara. "Kamu yakin masih kuat hidup seperti itu, Nay? Aku tahu kamu mencintainya, tapi Ravian-"
"Tidak semua cinta harus dimenangkan," potong Nayara cepat. "Kadang cinta cuma cukup untuk membuat kita bertahan sebentar... sebelum akhirnya sadar bahwa bertahan pun menyakitkan."
Reva menggenggam tangannya erat. "Kalau kamu butuh tempat tinggal sementara, kamu tahu pintu apartemenku selalu terbuka."
Nayara tersenyum kecil. "Terima kasih, Rev. Aku akan pikirkan semuanya."
Sore harinya, saat Nayara hendak pulang, hujan turun lagi. Ia berdiri di bawah atap depan galeri, menunggu taksi online yang ia pesan. Tapi sebelum mobil itu datang, sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Kaca jendela mobil turun, memperlihatkan wajah yang tak asing.
"Masuk," ucap Ravian dari balik kemudi.
Nayara tertegun. "Kamu jemput aku?"
"Ya. Kau pikir aku biarkan kau kehujanan?" katanya datar, tapi kali ini ada nada khawatir di ujung kalimatnya.
Nayara masih diam, mencoba membaca ekspresi wajah Ravian yang tetap sulit ditebak. Tapi akhirnya ia masuk ke mobil, lebih karena lelah daripada keinginan.
Sepanjang perjalanan, hening. Hanya suara hujan dan wiper mobil yang bekerja berirama. Nayara sesekali melirik Ravian, dan untuk pertama kalinya, ia menyadari pria itu tampak lebih letih dari biasanya. Ada lingkar hitam di bawah matanya, dan tangannya menggenggam setir terlalu kuat.
"Kamu belum makan?" tanya Nayara akhirnya.
"Belum," jawab Ravian pelan. "Kau mau makan di luar?"
Pertanyaan sederhana itu membuat Nayara nyaris tak percaya. Biasanya Ravian langsung mengantarnya pulang tanpa bicara banyak.
"Boleh," katanya hati-hati.
Mereka berhenti di restoran kecil yang dulu sering mereka kunjungi saat awal menikah-atas permintaan ibunya. Tempat itu penuh kenangan yang selama ini berusaha Nayara lupakan.
Pelayan menyapa mereka ramah. Ravian memesan makanan yang bahkan Nayara tahu dulu adalah favoritnya: nasi goreng kampung dan teh hangat.
Suasana canggung menggantung di antara mereka, hingga Nayara akhirnya membuka suara. "Kenapa tiba-tiba kamu berubah sikap, Ravian?"
Pria itu menatapnya sejenak sebelum menjawab. "Aku tidak berubah."
"Benarkah? Kau menjemputku dua hari berturut-turut. Kau mengajakku makan. Bahkan bicaramu sekarang... tidak sedingin biasanya."
Ravian menatap meja, jari-jarinya mengetuk permukaan kayu pelan. "Aku hanya sadar ada hal-hal yang mungkin selama ini salah."
Nayara menegakkan punggungnya. "Salah seperti apa?"
"Seperti caraku memperlakukanmu."
Kalimat itu membuat Nayara terdiam. Ia tidak tahu harus bahagia atau justru makin bingung. "Dan kenapa tiba-tiba kamu menyadari itu?"
Ravian menatapnya, kali ini dengan sorot mata yang tak bisa dijelaskan. "Karena kemarin aku hampir kehilanganmu."
Nayara mengernyit. "Apa maksudmu?"
"Aku pulang larut malam dan melihat koper kecilmu di depan lemari. Aku kira kamu pergi. Dan anehnya... aku panik."
Nayara menunduk. "Aku memang sempat berpikir untuk pergi."
"Aku tahu," sahut Ravian pelan. "Dan entah kenapa, pikiran itu membuatku sulit tidur."
Mereka terdiam lama. Pelayan datang membawa makanan, tapi keduanya tak menyentuh.
Nayara menatapnya lama, matanya basah. "Ravian, aku tidak butuh kamu berubah karena takut sendirian. Aku butuh kamu berubah karena kamu mau memperjuangkan hubungan ini."
Ravian menatapnya dalam. "Aku tidak tahu apakah aku bisa mencintai seperti orang lain mencintai, Nayara. Tapi aku ingin mencoba."
Kata-kata itu membuat hati Nayara bergetar. Ia tahu Ravian bukan tipe pria yang mudah bicara soal perasaan.
"Kalau kamu sungguh ingin mencoba," ucap Nayara dengan suara serak, "aku juga akan mencoba percaya lagi."
Ravian mengangguk. "Aku tidak janji akan sempurna, tapi aku janji tidak akan lagi membuatmu merasa sendirian."
Beberapa minggu setelah malam itu, perubahan kecil mulai terlihat. Ravian mulai pulang lebih awal. Sesekali ia menanyakan kabar Nayara, bahkan sekali waktu membawakan bunga-hal yang dulu tak pernah ia lakukan.
Nayara mulai tersenyum lagi, meski di dalam hatinya masih ada rasa takut. Ia tahu cinta tak bisa tumbuh secepat itu, tapi setidaknya ada harapan.
Namun, harapan itu mulai terguncang ketika satu sore, saat Nayara sedang membersihkan ruang kerja Ravian, ia menemukan sesuatu di dalam laci meja-sebuah foto lama.
Foto itu memperlihatkan Ravian dengan seorang wanita berambut panjang, tersenyum bahagia di tepi pantai. Di belakang foto itu tertulis tulisan tangan:
"Untuk Ravian, cinta yang akan selalu aku bawa, meski kamu memilih orang lain. - L."
Jantung Nayara berdegup keras. Ia menatap foto itu lama, tangannya bergetar. "L"? Siapa "L"?
Ia tahu Ravian pernah memiliki masa lalu, tapi tak pernah sedalam ini. Wanita di foto itu terlihat begitu akrab dengannya, bukan sekadar teman biasa.
Malamnya, Nayara menyimpan foto itu di saku bajunya. Saat Ravian pulang, ia mencoba bersikap biasa, tapi hatinya terus bergejolak.
"Bagaimana harimu?" tanya Ravian sambil melepas jas.
"Baik," jawab Nayara datar. "Kamu?"
"Capek sedikit. Ada rapat dengan direksi."
Mereka makan malam bersama untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Tapi kali ini, Nayara tidak bisa fokus. Matanya sesekali menatap ke arah Ravian dengan seribu pertanyaan di benaknya.
Setelah makan, ia berdiri, mendekati Ravian. "Aku menemukan sesuatu di ruang kerjamu," katanya akhirnya.
Ravian berhenti meneguk airnya. "Apa?"
Nayara mengeluarkan foto itu dari sakunya dan meletakkannya di meja. "Ini."
Ekspresi Ravian berubah. Wajahnya menegang, matanya membulat. Ia menatap foto itu lama, lalu menutupnya dengan telapak tangan.
"Di mana kau menemukannya?" suaranya pelan tapi berat.
"Di laci meja kerjamu. Siapa dia, Ravian?"
Ravian tidak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang, lalu menatap Nayara. "Namanya Liora."
Nayara menelan ludah. "Dia... mantanmu?"
Ravian mengangguk pelan. "Dia perempuan yang seharusnya kunikahi."
Kalimat itu menampar Nayara keras. Dunia seperti berhenti sejenak.
"Kenapa kalian tidak jadi menikah?" tanyanya dengan suara hampir bergetar.
Ravian memejamkan mata. "Karena dia meninggal-sehari sebelum aku melamarnya."
Nayara terpaku. "Meninggal?"
"Ya. Kecelakaan. Aku yang mengemudi malam itu."
Air mata Nayara menetes tanpa bisa ditahan. "Jadi selama ini... kau masih mencintainya?"
Ravian menatapnya dengan mata yang basah untuk pertama kalinya. "Aku tidak tahu apakah cinta itu masih ada atau hanya rasa bersalah yang tidak pernah hilang. Tapi setiap kali aku menatapmu, aku merasa seperti mendapat kesempatan untuk menebus sesuatu."
Nayara membeku. Jadi itu alasan Ravian menikah tanpa cinta. Bukan hanya karena ibunya, tapi karena ia masih hidup di masa lalu.
Dengan suara bergetar, Nayara berkata, "Aku bukan pengganti siapa pun, Ravian. Aku tidak bisa mengisi ruang yang bukan milikku."
Ravian berdiri, menatapnya dalam. "Kau salah, Nayara. Mungkin dulu aku menikahimu karena alasan yang salah, tapi sekarang aku mulai takut kehilanganmu karena alasan yang benar."
Kata-kata itu mengguncang Nayara. Ia tidak tahu apakah harus percaya atau menjauh. Luka lama Ravian bukan sesuatu yang mudah dihapus, tapi di balik dinginnya, ada ketulusan yang perlahan mulai muncul.
Malam itu, ketika Ravian menyentuh tangan Nayara untuk pertama kalinya setelah sekian lama, tidak ada kata yang terucap. Hanya diam yang penuh makna-diam antara dua hati yang sama-sama terluka, tapi masih ingin mencoba saling memperbaiki.
Di dalam hati Nayara, ia tahu perjalanan mereka baru saja dimulai.
Antara cinta yang tumbuh dari luka, dan masa lalu yang belum sepenuhnya terkubur.
Bab 1 kepedihan
15/10/2025
Bab 2 Tiga hari sejak Nayara tahu siapa Liora
15/10/2025
Bab 3 pertengkaran
15/10/2025
Bab 4 melihat luka yang terlalu dalam
15/10/2025
Bab 5 tanpa mengharapkan kehangatan
15/10/2025
Bab 6 Di matanya kini tak hanya ada kesedihan
15/10/2025
Bab 7 sejak malam terakhir bersama Ravian
15/10/2025
Bab 8 berusaha saling menemukan
15/10/2025
Bab 9 ada sesuatu yang berbeda
15/10/2025
Bab 10 keberanian mereka berdua
15/10/2025
Bab 11 membuatnya sadar bahwa musuh mereka tidak akan berhenti
15/10/2025
Bab 12 sosok yang licik
15/10/2025
Bab 13 hujan deras malam itu menjadi saksi
15/10/2025
Bab 14 kecerdikan
15/10/2025
Bab 15 menambah berat suasana
15/10/2025
Bab 16 jauh di gedung tinggi
15/10/2025
Bab 17 bermain di zona aman
15/10/2025
Bab 18 Peringatan dari pengacara
15/10/2025
Bab 19 semua bukti sudah cukup
15/10/2025
Bab 20 kepanikan
15/10/2025
Bab 21 menahan diri
15/10/2025
Bab 22 bukan hanya cerdas
15/10/2025
Bab 23 memisahkan
15/10/2025
Bab 24 bahagia
15/10/2025
Bab 25 aku akan selalu bersamamu
15/10/2025
Bab 26 menikmati malam yang tenang
15/10/2025
Bab 27 terdengar dari kejauhan
15/10/2025
Buku lain oleh Kurnia Malindo
Selebihnya