Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Perjuangan Cinta yang Pernah Hilang

Perjuangan Cinta yang Pernah Hilang

fana92897

5.0
Komentar
6K
Penayangan
51
Bab

"Ara! Ara!" panggil pemuda itu dengan suara bergetar. Matanya bahkan sudah berlinangan air mata. Tak peduli banyaknya darah yang mengotori bajunya. Pemuda itu tanpa rasa jijik langsung mendekap tubuh gadis itu kedalam dadanya. "Ara! Bangun Ara! Jangan buat aku takut," ucap pemuda itu disela isak tangisnya. Dibelainya wajah gadis yang dicintainya itu dengan rasa takut. Wajah dengan beberapa noda darah kental yang melekat. Bau anyir pun mulai menyeruak disekitar. Bersamaan dengan banyaknya orang-orang yang mulai mendekat. Pemuda itu tidak mempedulikan sekitarnya. Ia hanya peduli dengan gadis didalam dekapannya. Gadis yang tidak menyahuti panggilannya. Meskipun matanya masih terbuka. Bibirnya pun mengulas senyuman. Walaupun tipis, tapi pemuda itu masih melihatnya dengan jelas. "Ara! Kamu dengar suara aku 'kan?" ucap pemuda itu sekali lagi berusaha untuk memanggil nama gadis itu. Tapi, bukan jawaban yang pemuda itu dapatkan. Karena tubuh gadis itu tiba-tiba lemas. Bersama dengan tertutupnya kedua mata indahnya. "ARA!!!" ~~~ Sebuah kecelakaan yang menimpa Ararya Chandrika Dewi, membuat Devandra Pradipta Atmaja harus membuat sebuah kesepakatan dengan Papanya. Yaitu Himawan, yang mengharuskan Devan meneruskan pendidikannya keluar negeri. Demi menyelamatkan nyawa Ara. Selama tiga tahun Devan terpisah dengan Ara tanpa bisa bertukar kabar berita. Setelah tiga tahun berlalu. Devan kembali dan bertemu dengan Ara lagi. Namun, apa yang terjadi. Ternyata Himawan mempunyai rencana lain untuk Devan. Bagaimanakah kisah cinta Ara dan Devan selanjutnya? Akankah cinta mereka bisa bersatu? Sementara restu orang tua menjadi penghalang cinta mereka.

Bab 1 1.

~Ararya Chandrika Dewi~

Aku berdiri disini memandang luasnya samudera. Ketika apa yang aku inginkan dapat ku genggam. Teringat diriku pada 'Dia'. Dirinya yang kucinta. Semua yang aku dapatkan saat ini. Rasanya tidaklah lengkap tanpa dirinya.

Entah kemana Dia berada, tiba-tiba menghilang dari pandangan mata. Semenjak saat itu ... tepatnya kejadian tiga tahun yang lalu.

Saat itu Aku merasakan sesuatu yang keras menghantam tubuhku. Aku merasakan sakit yang sangat luar biasa. Tubuhku terasa terbang melayang di udara. Aku mendengarnya berteriak keras.

Mataku melihatnya panik, berlari ke arahku. Sambil berlinangan air mata. Entah apa yang terjadi padaku saat itu.

Teriakannya yang terakhir sangat jelas ditelinga ini. Dia menyuarakan namaku. Dia memanggil namaku, 'Ararya!'.

Setelah itu, semuanya gelap.

~~~

Tiga Tahun yang lalu*

"ARARYA!"

Seorang pemuda berteriak dengan suara lantang. Ketika melihat pemandangan yang mengerikan didepannya. Disana, gadis cantik pemilik hatinya telah ditabrak sebuah minibus.

Pemuda itu berlari dengan kencang, menghampiri gadis yang tergeletak diatas jalan aspal. Sementara minibus yang menabrak gadis itu, telah melarikan diri begitu saja.

"Ara! Ara!" panggil pemuda itu dengan suara bergetar.

Matanya bahkan sudah berlinangan air mata. Tak peduli banyaknya darah yang mengotori bajunya. Pemuda itu tanpa rasa jijik langsung mendekap tubuh gadis itu kedalam dadanya.

"Ara! Bangun Ara! Jangan buat aku takut," ucap pemuda itu disela isak tangisnya.

Dibelainya wajah gadis yang dicintainya itu dengan rasa takut. Wajah dengan beberapa noda darah kental yang melekat.

Bau anyir pun mulai menyeruak disekitar. Bersamaan dengan banyaknya orang-orang yang mulai mendekat.

Pemuda itu tidak mempedulikan sekitarnya. Ia hanya peduli dengan gadis didalam dekapannya. Gadis yang tidak menyahuti panggilannya. Meskipun matanya masih terbuka. Bibirnya pun mengulas senyuman.

Walaupun tipis, tapi pemuda itu masih melihatnya dengan jelas.

"Ara! Kamu dengar suara aku 'kan?" ucap pemuda itu sekali lagi berusaha untuk memanggil nama gadis itu.

Tapi, bukan jawaban yang pemuda itu dapatkan. Karena tubuh gadis itu tiba-tiba lemas. Bersama dengan tertutupnya kedua mata indahnya.

"ARA!!!"

Pemuda itupun berteriak sekeras-kerasnya. Orang-orang yang berkerumun merasa iba melihatnya.

"Cepat panggilkan ambulance!" teriak salah seorang di kerumunan itu.

Beberapa menit kemudian ambulance pun datang. Pemuda itu segera membopong tubuh pujaan hatinya itu. Tanpa ingin dibantu orang lain.

Di dalam ambulance, pemuda itu terus bergumam. Memanggil nama pujaan hatinya. Tanpa rasa bosan ataupun lelah. Tidak menghiraukan bau anyir yang menyeruak. Yang pemuda itu pikirkan hanya satu.

Bagaimana 'Ara-nya' itu harus bisa bertahan. Demi dirinya ... demi orang-orang yang mengasihinya. Dan demi janji mereka berdua.

"Kita akan sama-sama pergi berlibur ke Paris," ucap pemuda itu kala mereka sedang duduk disebuah taman. Memandang indahnya menara Monas.

"Kapan?" tanya gadis itu.

"Nanti, setelah Aku menjadi Sultan!" pemuda itu berucap dengan tegas.

"Hu! Kalau mimpi jangan ketinggian. Kalau jatuh sakit," seloroh gadis itu sambil tergelak.

Pemuda itu kembali menangis tergugu, kala mengingat senyum manis gadis itu.

Tak lama kemudian, ambulance itu sampai didepan sebuah rumah sakit. Brankar rumah sakit segera menyambut tubuh gadis itu. Dua orang petugas laki-laki mendorong brankar tersebut. Diikuti satu orang suster.

Pemuda itu terus mengiringi brankar yang membawa pujaan hatinya. Sampai pada sebuah ruangan, seorang suster menghentikannya.

"Tolong Mas-nya tunggu disini dulu, ya. Biarkan petugas dan dokter yang menangani temannya," ujar suster tersebut.

"Tapi, Sus ... Saya mau melihatnya. Saya takut terjadi apa-apa padanya, Sus," pemuda itu terlihat enggan berpisah dengan pujaan hatinya.

"Mas, lebih baik Mas-nya segera mengurus administrasinya. Karena rumah sakit akan membutuhkan data-data pasien untuk tindakan lebih lanjut."

Pemuda itu akhirnya menganggukkan kepalanya. Suster tersebut memanggil salah satu rekannya.

"Silakan Mas ikut dengan Suster Eni. Untuk mendaftarkan nama pasien," ujar Suster tersebut. Suster Eni segera mengajak pemuda itu.

"Mari, Mas."

Dengan ramah Suster Eni membimbing pemuda itu menuju meja resepsionis.

"Nama Mas-nya siapa?" tanya Suster Eni yang sudah duduk dibalik komputer.

Sementara pemuda itu berdiri diseberang dengan terhalang pembatas kaca yang transparan.

"Devandra," jawab pemuda itu pelan setelah lama terdiam.

Suster Eni segera mengetikkan namanya. Setelah selesai, Suster Eni kembali mengajukan pertanyaan kepada pemuda bernama Devandra itu.

"Nama temannya yang kecelakaan?"

"Ararya," jawab pemuda itu.

"Bisa sebutkan nama kepanjangannya, Mas?" ulang Suster Eni dengan ramah.

"Ararya Chandrika Dewi."

Suster Eni kembali mengetikkan nama yang Devandra sebutkan. Suster Eni terus menanyakan identitas Ararya. Devandra senantiasa memberikan jawaban yang ia ketahui.

""Oh iya, Mas Devan. Tolong segera hubungi keluarga pasien."

Pemuda bernama Devandra itu menganggukkan kepala. Kemudian segera mengambil gawainya. Dengan tangan gemetaran Devan mencoba menghubungi orang tua Ara.

Devan merasa gelisah ketika panggilan teleponnya tidak diangkat.

"Bunda ... tolong angkat telepon Devan," gumam Devan.

Rasa sedih yang Devan rasakan masih terbingkai begitu jelas diwajahnya. Kekhawatiran pemuda itu semakin dalam. Bercampur dengan rasa tidak sabarannya. Ketika tidak ada jawaban dari orang tua Ara.

Sampai pada panggilan kelima, berulah ada jawaban dari orang tua Ara.

"Halo, assalamualaikum. Devan, ada apa, Nak? Maaf, ya Bunda baru angkat. Bunda baru saja selesai sholat," ucap seorang wanita diseberang sana.

Devan kembali terisak ketika mendengar suara wanita yang dikasihinya. Wanita yang kerap dipanggilnya 'Bunda' itu. Suaranya begitu lembut didengar oleh Devan.

Tenggorokan Devan terasa tercekat, ketika ingin memberitahu wanita yang kerap dipanggilnya 'Bunda' itu.

Sampai pada akhirnya sang Bunda kembali bertanya kepada Devan.

"Devan, ada apa, Nak? Kenapa kamu menangis? Jawab Bunda, Nak! Apa terjadi sesuatu?"

Devan masih terisak sambil menutup wajahnya dengan tangan kanan. Sementara tangan kirinya memegang telepon genggam yang menempel ditelinga.

"Bunda ... Ara ... Ara, Bunda. Ara kecelakaan," Devan akhirnya menjawab dengan suara bergetar.

"Apa! Kamu jangan becanda, Nak. Devan pasti bohong 'kan? Ara baik-baik saja 'kan?" tanya Bunda dengan suara panik.

"Devan serius, Bunda. Se-sekarang, De-devan sedang dirumah sakit. Ara sedang ditangani dokter. Bunda dan Ayah cepat kesini, ya. Devan takut, Bunda."

Suara tangis pemuda itu kembali pecah. Devan tergugu ketika mengungkapkan perasaan takutnya. Sementara suara diseberang sana terdengar gaduh.

Tak lama kemudian, terdengar suara seorang pria paruh baya.

"Halo, Devan. Nak, ini Ayah ... apa yang terjadi? Bunda bilang Ara kecelakaan. Apa itu benar, Nak?" tanya orang yang menyebut dirinya 'Ayah' itu dengan suara panik.

"Ayah cepat kesini, Yah. Ke rumah sakit umum terdekat dengan sekolahan, Yah," ucap Devan disela isak tangisnya.

"Devan takut, Yah. Ayah dan Bunda cepat kesini. Devan takut!" imbuh Devan.

"Devan tenang, ya. Ayah dan Bunda segera kesana. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Telepon pun terputus setelah Devan menjawab salam dari sang Ayah. Pemuda itu menggenggam telepon genggamnya dengan erat. Setelah itu memasukkannya kembali kedalam saku celananya.

Pemuda itu tiba-tiba teringat dengan Ara. Cepat-cepat ia melangkahkan kakinya, menuju ruangan dimana Ara sedang ditangani oleh tenaga medis.

Sementara itu, disebuah tempat yang jaraknya beberapa kilo meter dari lokasi kecelakaan. Dimana sebuah minibus yang telah menabrak gadis bernama Ara itu berhenti.

Seorang pria dengan memakai masker terlihat sedang menghubungi seseorang.

"Misi selesai, Bos. Gadis itu berhasil dieksekusi," ucap pria tersebut kepada orang yang dipanggilnya 'Bos'.

"Bagaimana keadaannya?" tanya sang Bos dari seberang telepon.

~~~~

Bersambung ....

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh fana92897

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku