Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Dua Cincin Satu Cinta

Dua Cincin Satu Cinta

Ajeng Kelin

5.0
Komentar
166
Penayangan
10
Bab

Kara terpaksa menikah dengan Randy karena balas perjodohan pasca operasi penangkokkan ginjal. Ia merahasiakan pernikahan tersebut dari semua orang terdekatnya, terutama Aaron --kekasihnya-. Tanpa sepengetahuan Randy dan keluarganya, Kara telah memiliki kekasih jauh sebelum ia dijodohkan dengan Randy. Lantas, apakah Kara bisa mencintai Randy sebagai suami dan menjadi istri yang sesungguhnya untuk Randy, atau Kara justru menjadikan pernikahannya hanya sekadar pernikahan kontrak saja? Jika kelak Kara memilih untuk mempertahankan pernikahannya dengan Randy, apakah akan ada jaminan kalau Randy tidak memiliki kekasih rahasia?

Bab 1 Suami yang Tidak Diinginkan

Cincin berbatu permata melingkar di jari manis tangan kanannya. Ia mengecup punggung tangan Randy, laki-laki yang baru saja sah menjadi suaminya.

Kara Almeta Indriani, seorang mahasiswi yang satu bulan lalu baru saja melakukan operasi pencangkokan ginjal. Bukan Ia yang mendapat pencangkokannya, tetapi Ia yang mendonorkan ginjalnya untuk seorang Ibu yang sudah kritis karena mengalami kerusakan ginjal.

"Masuk!" perintah Randy –sang suami-, meminta Kara untuk masuk ke dalam mobil yang sudah ia bukakan pintunya untuk sang istri.

"Hm, t-te-rima kasih," balas Kara dengan senyum tipisnya.

Randy masuk ke dalam mobil, untuk mengemudikannya dan menuju ke rumah mereka. Ya, ke rumah mereka. Sebuah rumah yang sudah dimiliki oleh Randy sejak duduk dibangku kuliahan, rumah yang Ia huni sudah hampir lima tahun.

Randy Anggara Putra, anak tunggal yang telah mewarisi kekayaan orang tuanya sejak ia lulus dari sekolah menengah atas. Rumah mewah dengan perusahaan yang sudah mulai ia kelola membuat kehidupannya cukup pelik dan sibuk karena selalu berkutik dengan tugas kuliah dan bisnis perusahaannya.

"Kak Randy, m-maaf ... maaf jika-"

"Sudah, tidak perlu dibahas," ucap Randy memotong pembicaraan Kara.

"Oh, maaf," balas Kara bergumam.

Kara merasa bersalah pada Randy karena menerima lamaran orangtua Randy untuk menjadi istrinya. Dimana Randy terlihat tidak setuju dengan pernikahannya. Namun Randy tidak bisa mengelaknya karena Kara sudah menyelamatkan nyawa Ibunya. Berkat ginjal milik Kara, sang Ibu berhasil bertahan hidup dan kini sudah kembali beraktivitas dengan normal.

Namun tidak dengan Kara. Dokter memvonis Kara bisa saja mengalami hal yang lebih parah dari Bu Nia –ibu Randy-, jika Ia memaksakan diri untuk bekerja keras dan terlalu aktif dalam kegiatan. Ia tidak boleh terlalu lelah, pola makan yang harus dijaga dan juga tetap harus meminum suplemen yang diberikan oleh dokter agar imunnya tetap terjaga dan sehat.

"Masuk!" perintah Randy lagi.

Kali ini Randy meminta Kara untuk masuk ke dalam rumahnya.

Rumah dua lantai dengan desain minimalis itu terlihat sederhana namun sangat elit. Dinding yang diberikan walpaper garis horizontal berwarna hitam, abu-abu dan putih itu menambah kesan minimalis juga di bagian dalam rumah.

"Ini kamarku. Kamarmu di sebelah," ujar Randy lalu masuk ke dalam kamarnya, tanpa menambah basa-basi apapun lagi kepada Kara.

BRAAAAK

Sementara Kara masih diam melihat pintu kamar Randy ditutup keras, hingga terdengar suaranya yang membuatnya berdegup.

"Huft ... aku hanya ingin menolong Bu Nia saja, tidak dengan pernikahan ini," gumamnya memandang cincin yang melingkar di jari manis, tangan kanannya. Cincin yang terlihat begitu mahal dan menurutnya tidak pantas melingkar pada jarinya.

Tidak ingin terus merenungin nasibnya yang sungguh kasihan, Kara akhirnya memilih untuk melanjutkan langkahnya, menuju ke sebuah kamar yang bersebelahan dengan kamar Randy. Kamar yang tidak begitu luas namun tertata sangat rapi, sehingga sangat nyaman dipandang.

"Warna pastel ... kesukaanku," gumamnya tersenyum, senang melihat kamarnya yang begitu indah dimatanya.

Ia menutup pintunya dan segera duduk di atas tempat tidur spring bed berukuran king.

"Bisa main bola disini," kekehnya lalu bergulingan di atas ranjang yang menurutnya super luas. "Huft, seharusnya aku diadopsi saja oleh Bu Nia ... tidak perlu menikah dengan Kak Randy."

Tok tok tok

Pintu kamar Kara diketuk tiba-tiba.

"Kara! keluar sebentar!" terdengar suara Randy yang memintanya untuk segera keluar kamar.

Kara segera beranjak dari tempat duduknya dan membukakan pintu untuk Randy.

Cklek

"Ada apa, Kak?" tanya Kara mengumbar senyumnya.

"Kamu kapan mau beli-beli pakaian dan kebutuhan?" tanya Randy juga, melihat Kara dengan ekspresi datar.

"Hmmm, i-tu, aku sudah membawanya, kok Kak. Kopernya masih di mobil."

"Oh, yasudah."

Randy berlalu begitu saja. Lagi-lagi sikapnya begitu dingin pada Kara, seolah ia tak menginginkan kehadiran Kara di rumah itu, bahkan di dalam hidupnya.

Kara diam, entah mengapa ia selalu tak enak hati setiap kali berbicara dengan Randy, berhadapan dengan Randy, mendapat perlakuan dingin dari Randy.

'Apa aku begitu tidak diinginkan olehnya?' batinnya bergumam, ia merasa sangat tidak berarti untuk Randy. Semua ini Randy lakukan hanya karena balas budi atas apa yang telah Kara berikan kepada ibunya. Kara yang begitu tulus, bukankah harus dibalas dan diperlakukan dengan baik? Meski semua itu hanya terpaksa.

***

"Non Kara, sedang apa?" tanya siMbok yang baru saja keluar dari kamarnya dan menuju ke dapur, menghampiri Kara yang terlihat sedang melakukan sesuatu di dapur.

"Menyiapkan makan malam, Mbok," jawab Kara dengan senyumannya.

"Aduh ... Non Kara di kamar saja. Biar saya yang menyiapkan makan malamnya. Nanti saya antar ke kamar Non Kara," ujar siMbok, meminta Kara untuk berhenti memasak dan kembali ke kamarnya.

"Mbok ... saya hanya ingin memasak makanan untuk saya sendiri, itu mudah dan tidak perlu merepotkan orang lain," tutur Kara, masih saja bersikeras ingin memasak.

"Nanti Mas Randy marah sama saya, kalau Non Kara sakit karena terlalu lelah-"

"Kak Randy bilang seperti itu?" sela Kara bertanya. Rautnya tiba-tiba saja berubah menjadi tidak enak dipandang.

"Euu ... i-itu ... Mas Randy mungkin mengkhawatirkan Non Kara-"

"Apa susahnya menurut saja, Kara?" tanya Randy, tiba-tiba saja datang dan menyusul ke dapur, menghampiri Kara dan siMbok.

"Kak. Maksud Kakak aku tidak boleh terlalu lelah itu apa? Aku baik-baik saja dan aku tidak ingin diperlakukan manja seperti ini-"

"Siapa yang memanjakanmu? Aku hanya tidak ingin repot jika terjadi sesuatu padamu. Ibu akan marah padaku dan lagi-lagi aku yang akan susah."

"Tapi Kak-"

"Tidak perlu bicara padaku jika tidak ada hal penting."

Randy berlalu begitu saja, lagi-lagi pergi tanpa berbasa-basi dan berbicara yang baik kepada Kara. Entah sudah keberapa kalinya Randy membuat hati Kara terluka, karena sikap dan penuturannya.

"Non, jika tidak ingin menunggu di kamar, Non duduk saja di sana. Biar saya yang selesaikan masakannya, ya ...," pinta siMbok.

Tanpa berkata apapun, Kara pun menurut pada permintaan siMbok.

'Kak Randy keterlaluan. Belum genap satu hari aku tinggal di rumah ini, aku sudah merasa tidak betah,' batinnya mengeluh.

***

Dug dug dug

Terdengar hentak kaki seseorang menuruni anak tangga. Kara segera bersiap menyiapkan piring untuknya dan juga Randy, untuk sarapan bersama.

Randy berjalan menuju ke dapur, dimana Kara baru saja menyiapkan makanan untuk sarapan mereka. Namun Randy melewati meja makan begitu saja, Ia membuka pintu kulkas dan mengambil susu yang disimpannya dalam botol kaca.

"Susah sekali diberitahu," gerutu Randy, sembari memberi lirikan sinis pada Kara.

"Kak, tidak sarapan?" tanya Kara menawarkannya sarapan, seolah tidak memedulikan gerutuan Randy.

"Kamu saja. Saya buru-buru."

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku