Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Divia sedang menunduk, menatap layar ponselnya dengan geram ketika lelaki yang berada di seberang sana mengamati tingkahnya sedari tadi dari balik setirnya. Sudah cukup lama lelaki itu tidak keluar dari dalam mobilnya. Dia hanya duduk seorang diri, kijang putihnya diparkirkan lurus menghadap ke jalan raya, sejajar dengan kendaraan lain yang sedang diparkir juga. Arman baru saja bertemu dengan seorang kenalannya di kedai kopi seberang sana, setelah dua jam membahas rencana proyek baru.
Dua hari yang lalu Arman harus merelakan kekasihnya yang menerima lamaran dari lelaki lain. Kini pikirannya masih kacau, masih terasa ngilu setiap kali teringat akan hal itu. Kekasih yang dimilikinya selama tujuh tahun akhirnya pergi begitu saja, dirampas oleh takdir.
Gadis manis yang belum juga mendapat taksi di seberang jalan sana, masih tetap berdiri di depan kedai kopi. Wajahnya tampak semakin masam, taksi yang disetopnya sekian kali ternyata membawa penumpang. Awan sudah mulai gelap, hujan pasti akan turun dalam hitungan menit. Sikap jengkelnya malah membuat Arman tertawa sendiri. Akhirnya dia putuskan untuk turun dari kijangnya. Bukan untuk menghampiri Divia, tapi dia ingin kembali masuk ke kedai kopi dan membeli segelas es kapucino untuk menemaninya dalam perjalanan pulang.
Arman menunduk saat dirinya melintas di hadapan gadis berambut bob itu. Seolah tak melihatnya sejak tadi, Arman tetap berjalan lurus menuju pintu masuk kedai. Gayanya cool dan terkadang dia merasa dirinya memang tampan. Sepuluh menit kemudian Arman kembali keluar dari kedai sambil menyedot es kapucino di tangan kirinya, sedikit demi sedikit. Sedang di tangan kanannya dia memegang ponsel, matanya menunduk membaca notifikasi email yang baru saja masuk.
“Aduh..!!!”, spontan Divia mengaduh kesal.
“Aduh maaf.. Maaf ya Mba.”, kali ini Arman benar-benar tidak sengaja telah menabrak tubuh Divia akibat matanya yang terlalu fokus pada layar ponsel.
“Untung ngga tumpah tuh kopi. Kalau tumpah…. HUAH!!!”
“Iya maaf Mba. Saya beneran ngga sengaja.”
Divia hanya menunduk tanpa bicara lagi, tangannya menggoyangkan tali tas hitam yang sejak tadi dijinjingnya. Dia berharap lelaki itu segera enyah dari hadapannya. Namun Arman justru mematung, tak bicara tak bergerak hingga Divia akhirnya mendongak memandang wajahnya.
“Sudah sana!”
“Hehe. Judes banget Mba. Saya Arman.”, dengan penuh percaya diri Arman malah menyodorkan tangannya mengajak Divia berkenalan.
Dengan ekspresi kesal, Divia menyambut tangan Arman, “Divia.”, ucapnya singkat.
Divia kembali menunduk namun tetap menyadari sebuah taksi berwarna kuning akan melintas di hadapan mereka. Dia pun buru-buru menyetopnya dan akhirnya berhentilah taksi yang sudah ditunggunya sejak tadi.
“Saya duluan ya. Bye..!”, ucap Divia seraya tersenyum pada Arman sembari melangkah masuk ke dalam taksi.
Arman balas tersenyum dan melambaikan tangan tanpa sepatah kata membalas salam Divia. Dia terpana oleh senyuman gadis manis itu. Tak disangka di balik wajahnya yang penuh amarah tadi, gadis itu memiliki senyum yang sangat menawan. Sesaat Arman terdiam, dia terhipnotis. Dan baru tersadar ketika petir membelah awan hitam. Buru-buru Arman menyebrang jalan, kembali ke dalam kijang putihnya.
“Aduh. Ngga sempet tanya nomer HP.”, gerutu Arman menyesali dirinya yang belum sempat meminta nomor ponsel Divia. Perkenalan yang sangat singkat telah berlalu begitu saja. Seandainya taksi tadi tidak lewat, pasti dirinya masih punya waktu sebentar lagi untuk mengobrol dengan Divia.
Hujan turun dengan derasnya berbarengan dengan mesin mobil Arman yang baru dia hidupkan. Arman tertegun sejenak menatap hujan, tapi akhirnya dia bergerak di balik kemudinya menuju pulang ke rumah.
Sementara Divia, dalam perjalanannya dia menatapi jatuhnya air hujan yang menetesi kaca jendela taksi. Dia bertopang dagu, mengganjalkan sikunya pada pegangan pintu. Tiba-tiba saja dia teringat pada lelaki yang belum lama tadi berkenalan dengannya. Terbayang senyuman Arman ketika menyodorkan tangan untuk mengajaknya berkenalan. Divia pun menyayangkan perkenalan yang hanya sesingkat itu diantara mereka.
****
“Selamat ulang tahun Man..”, Mama dan Papa Arman kompak menyambut kedatangan Arman di balik pintu rumah sambil Mamanya membopong sebuah kue tart cokelat kesukaan Arman. Berhiaskan cahaya lilin merah angka tiga dan nol, Arman pun hati-hati meniup apinya.
“Selamat ya Man. Kamu sudah makin dewasa. Semoga sukses.”, dilanjutkan dengan kecupan manis yang mendarat di kening Arman.
“Aamiin.. Makasih ya Ma.”
“Selamat ya Man. Jadi orang yang lebih baik lagi.”, seraya memeluk Arman.
“Makasih Pa..”
Mereka hendak memotong kue cantik itu, lantas menghampiri meja tamu yang beberapa langkah terletak di dekat mereka. Arman dan kedua orang tuanya mengambil posisi duduk, hampir bersamaan pada sofa ungu di ruang tamu rumah mereka. Kedua orang tua yang usianya lebih dari setengah baya itu kini hanya memiliki seorang anak saja. Hanya Arman yang ada, anak kedua mereka yaitu Rafli adik laki-laki Arman telah berpulang saat usianya masih tujuh belas tahun. Rafli menderita leukimia sejak masih bersekolah di kelas satu SMP.
Potongan kue pertamanya, diberikan Arman kepada sang Mama. Lalu barulah kue berikutnya dia berikan kepada Papanya. Tangannya masih melanjutkan memotong kue itu, terlintas lagi dalam benaknya andaikan saja saat ini Maya masih berada di sisinya. Sekuat hati Arman kembali menepis pikiran itu. Dia coba tersenyum dan mulai pada suapan pertamanya, dia memakan sendiri sepotong kue tart cokelat yang barusan dipotongnya. Arman berlapang hati, dia nikmati sisa hari itu bersama kedua orang tuanya.
****
Divia sampai di rumah ketika Ibu dan kakak perempuannya sedang duduk di atas karpet, membuat beberapa macam kue kering sambil menonton tayangan televisi. Suara nyaring Divia memecah konsentrasi kedua orang itu yang sedang asyik mendengarkan dialog dalam drama sinetron sore yang mereka tonton.
“Ibu.. tolong bayarin taksi aku.”
“Astaga Ivi. Kebiasaan.”, seraya bangkit perlahan dari duduknya, beliau meletakkan dulu gumpalan adonan kue yang hendak dibentuknya.
“Ivi, kebiasaan banget.”, timpal Gema. Kakak Divia yang berusia empat tahun lebih tua darinya.
Sedang Divia hanya melengos saja, dia langsung menuju ke dalam kamarnya. Lagi-lagi Ibunya dikerjai untuk membayar taksi yang tadi mengantarnya pulang.
“Udah pergi taksinya Bu?”, tanya Gema.
“Udah. Adikmu tuh bener-bener. Kebiasaan ngga hilang-hilang. Coba saja, paling alasannya belum ambil duit ke atm.”
“Iya. Dia kenapa sih males banget mampir ke atm. Ambil duit sedikit-sedikit bukan sekalian. Habis jajan udah, habis duitnya.”
“Ya mungkin biar ngga jajan terus Gem. Kalau pegang duit di tangan kan jadi pingin jajan terus.”
“Iya juga sih Bu. Tapi jangan nyusahin orang dong kalau gitu. Harusnya kalau tau mau pergi ya lebihan ambil duitnya. Jadi ngga kayak tadi, main suruh Ibu yang bayar taksinya.”
“Udahlah Gem. Ngoceh saja. Ayo fokus lagi ke kue.”, ucap Ibu seraya tersenyum sembari kedua tangannya mulai membentuk lagi adonan kue kering tadi.
Kedua pasang mata Ibu dan Gema juga telah kembali tertuju pada layar televisi. Menonton drama sinetron adalah kesukaan mereka berdua, berbeda dengan Divia yang lebih suka menonton drama Korea. Tak terasa adonan kue kering di dalam baskom telah habis. Semua adonan telah selesai dibentuk oleh keterampilan dan kecekatan tangan Ibu serta Gema. Kini mereka sedang menyusun calon kue nastar itu pada loyang-loyang kaleng berbentuk persegi kemudian siap membakarnya di dalam oven tangkring.
“Kak Gema!”, seru Divia seraya menyergap tubuh kakaknya dari belakang.
“Apa? Ngagetin saja sih. Untung ngga jatuh nih kue.”, kedua tangan Gema sedang sibuk memasukkan loyang ke dalam oven.
“Tadi gue kenalan sama cowok ganteeng..”, Divia telah melepas pelukannya dari balik tubuh Gema, dia berdiri di samping kakaknya itu. Bertopang dagu pada meja yang sejajar dengan perutnya.
“Hahaha. Basi. Kenalan dimana?”, Gema telah siap mendengarkan celotehan adik tersayangnya itu.
“Di depan kedai kopi Bertha.”
“Hih, kok bisa?”
“Gue kan lagi nunggu taksi di depan situ. Tuh cowok lewat sambil main handphone, gue ditabrak.”
“Hahaha. Terus dia ngajak lo kenalan? Modus!”
“Hmm.. Bener Kak. Sumpah deh tadi di jalan gue juga ngga habis pikir kayak di film saja ketemunya. Hahaha. Tapi beneran Kak, dia minta maaf terus ngenalin dirinya gitu. Namanya Arman.”
“Hahaha. Arman Maulana? Vokalis Gigi.”
“Serius Kak.. Namanya Arman. Orangnya tinggi, putih, rambutnya rapi. Wah, pokoknya enak dilihat deh.”
“Terus tukeran nomer HP?”
“Ngga Kak. Ngga sempet, keburu taksi gue dateng.”
“Hahaha. Bagus! Awas lo ya macem-macem kenalan diluar sama cowok ngga jelas.”
“Ih Kak Gema.. Dia jelas kok. Jelas gantengnya. Hahaha..”
“Bandel lo, gue bilangin Ibu lho..”
Divia beranjak dari hadapan Gema sambil tertawa sendiri. Dalam hatinya, dia tahu akan kekhawatiran yang dirasakan sang kakak terhadapnya. Divia dapat merasakan Gema begitu menyayangi serta berusaha menjaga dirinya. Empat bulan lagi Gema akan menikah dan pastinya pindah dari rumah itu. Membayangkan hal itu, kerap kali membuat Divia menjadi sedih.
Jam delapan malam, Ayah tiba di rumah.
“Wih, Ayah pulang tuh.”, ucap Divia kepada Gema. Mereka sedang duduk berdua di teras lalu melihat Ayah yang membuka pagar dari luar.
“Ibu mana?”, tanya Ayah kepada mereka seraya kedua anak perempuannya itu bergiliran cium tangan menyambutnya.
“Di dalem lagi nyusun kue ke toples.”, jawab Divia.
“Kalian ngga bantu?”
“Udah tadi. Ivi tuh yang ngga mau bantu Ibu.”, tukas Gema yang sedikit menyudutkan adiknya.
“Ih, apaan sih..”, balas Divia mencoba membela diri. Sedangkan Ayah sudah melangkah masuk ke dalam rumah.
“Eh Ayah.”, Ibu langsung menghampiri Ayah saat melihat kedatangan suaminya.
“Ini setoran dari Mba Rum. Hari ini toko rame katanya.”, seraya merogoh ke bagian dalam tas kerjanya.
“Wah, syukurlah.”
Jika Ibu tidak sempat menengok toko, biasanya sepulang kerja Ayah lah yang menyempatkan diri untuk menengok kesana sekalian mengambil setoran hasil penjualan harian toko kue milik Ibu. Disana sudah ada Mba Rum yang dipercaya oleh Ibu untuk mengurus keuangan toko.
“Lo ngga jalan Kak? Malem mingguan.”
“Ngga. Mas Bimo masih di Surabaya.”
“Hmm.. Ngomong-ngomong cowok yang tadi sore itu....”
“Kenapa? Nyesel ngga tukeran nomer? Hahaha.”
“Hmm.. Udah ah gue mau tidur saja. Daripada galau.”, Divia beranjak meninggalkan Gema yang masih duduk di teras, sedang asyik dengan cemilan di pangkuannya.
Di dalam kamar pun, Divia masih gelisah memikirkan lelaki itu. Sosok Arman benar-benar telah menyita pikirannya hari ini. Hingga akhirnya Divia terlelap tidur dalam khayal dan senyum di bibirnya.
****