Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Gadis berambut cokelat tengah sibuk di antara botol minuman dan gelas kaca, dia sering lupa waktu jika sudah berada di klub milik ayahnya ini. Terlalu hanyut dalam dunianya sendiri, yaitu meracik minuman.
Minggu lalu Seila menyaksikan Steve Schneider, sang bartender idola membuat Gimlet di bar terpopuler Jakarta live lewat YouTube. Stave ini seorang bartender terkenal yang merupakan mantan marinir Amerika Serikat. Menyajikan pilihan signature drink Employees Only seperti EO Gimlet hasil perpaduan gin, jeruk nipis dan daun jeruk purut dengan cita rasa klasik koktail. Dia terpesona dan bertekad untuk membuatnya juga. Hanya dengan sekali lihat, cukup bagi Seila untuk tahu apa yang harus dia lakukan.
Koktail merupakan paduan dari berbagai bahan yang pembuatannya harus dengan teknik khusus, termasuk juga cara mengocoknya. Ini yang menjadi alasan koktail begitu digemari, khususnya anak-anak muda. Menurut Stave, koktail ibarat minuman yang di kostum, perpaduan antara pengetahuan dan seni. Karena itu Seila menjadi terinspirasi untuk memodifikasi bahan ini.
Semua bahan sudah dicampurkan ke dalam gelas stainless steel. Gadis itu tengah sibuk mengocoknya agar semua bahan tercampur sempurna, seperti yang dicontohkan sang idola.
"Gin dan jeruk nipis?" Surya mendekati putrinya yang tengah sibuk menakar cairan bening dari sebuah botol kaca ke dalam gelas jigger. Aroma buah seketika menguar. Karena aroma itulah Surya ingin mendekat dan menyaksikan kemahiran putrinya dalam meracik minuman.
"Ah, ada daun jeruk purut juga." Surya menjumput selembar daun lalu menghidu aromanya. "Coba Ayah tebak. Gimlet, ya?"
Seila tersenyum tanpa mengangkat wajah. Tangan lentiknya begitu cekatan saat menuangkan cairan bening di gelas jigger ke dalam gelas kocok, tak terlihat ragu-ragu sedikit pun. Dia sudah terbiasa melakukan hal ini.
"2.5 oz Gin." Seila melirik ayahnya yang serius menonton. Gadis itu kembali menuang cairan lain ke dalam gelas yang bentuknya lucu. "0.5 oz lime. And then, 0.5 simple syrup." Seila menyimpan kembali botol ke tempat masing-masing.
Sebagai penutup, tak lupa Seila menuang es batu lalu menutup gelas stainless steel itu. Tangan kanan Seila mulai mengocok. Gerakannya terlihat anggun, namun mantap dan yakin. Seolah-olah dia sudah sering melakukannya. Padahal dia baru sekali ini membuat Gimlet. Sedangkan membuat yang lain dia sudah mahir.
Gerakan tangan Seila berhenti. Lalu dia menuangkan cairan di dalam gelas kocok ke gelas koktail. Setelah memberi sentuhan akhir yaitu daun jeruk dan mint ke atas minuman, gadis yang masih SMA itu berseru riang, "Voila!"
Surya bertepuk tangan. "Steve Schneider bakalan pensiun nih gara-gara kamu," selorohnya. Dia senang anaknya terlihat bahagia.
Jam di dinding sudah menunjukan waktu tengah malam. Seila harus segera pulang karena besok ia harus sekolah dan akan pulang sore.
Surya mendekat dan mengecup puncak kepala anak gadisnya. "Cepat pulang. Ini sudah malam, jangan sampai besok kesiangan ke sekolahnya, Nak."
Seila mengangguk lalu mencium punggung tangan Surya yang memiliki kulit berkerut mengeriput, tak menyembunyikan usia.
"Hati-hati dijalan, Nak." Surya melambaikan tangan melihat Seila yang semakin jauh.
Sekolah sudah terlihat sangat sepi saat dia baru selesai mengikuti ekstrakurikuler Palang Merah Indonesia. Tak sengaja dia pulang terakhir karena tadi siang ada desas-desus tak mengenakan. Namun, hal itu sungguh kembali menjatuhkan mental Seila. "Apa aku harus pindah sekolah lagi? Tapi, mau sampai kapan? Aku lelah harus terus berpindah sekolah dan kembali beradaptasi," gumamnya dengan semburat kesedihan yang tak dapat lagi ditutupi. Sampai tanpa terasa, bulir air mata pun menggenang dan meluncur menuruni pipi, tetapi segera ditepis jari tangan dengan cepat. Rumor beredar mengungkapkan identitas aslinya.
Teman sekolah menjudge Seila wanita nakal, karena lahir dari keluarga yang tidak baik. Entah siapa yang awalnya mengetahui rahasia ini.
Seila berjalan lemas meninggalkan pelataran sekolah sembari memikirkan gunjingan para teman-teman akan keadaan keluarganya. Sungguh umpatan mereka sangat tajam dan membuat hati terasa sakit. Tidak ada satupun sifat dan sikap yang mereka tuduhkan tentang Seila itu benar. Ia selalu berusaha bersikap baik kepada siapapun dan tak pernah mencoba mencari masalah.
Seila bahkan belum pernah memiliki pacar. Berciuman? Jangan tanya lagi, dia belum merasakan bagaimana ciuman pertama yang kata kebanyakan gadis rasanya lebih manis dari madu.
Mereka menghardik Seila sangat kejam hanya karena melihat latar belakang keluarga, sungguh ini semua tak adil baginya. Gadis itu menghela napas kesal seraya menendang setiap kerikil yang menghadang di depan jalan.
Sore sudah beranjak petang. Semua teman sekolah sudah pulang, tetapi sialnya Seila masih harus menunggu angkot. Ponselnya sudah kehabisan daya untuk memesan ojek online. Gadis itu menengadah memandang langit yang semakin jingga. Angin yang berembus membuatnya menggigil. "Gawat, nih. Bisa jadi turun hujan. Musti cepet pulang," gumamnya pada diri sendiri.
"Dingin banget.” Ia memeluk erat tubuh dengan kedua tangan sembari terus berjalan. Seseorang menarik lengannya hingga tubuh seketika berbalik ke arah pusat tarikan.
Tatapan seketika nanar kala melihat siapa yang bersikap begitu kasar. "Je-Jefry?" Jantung berdegup kencang seolah akan melompat keluar hingga membuat dada terasa sedikit nyeri. Jefry terkenal nakal dan dicap playboy di sekolah.
“Mau pulang, Cantik?” tanyanya sambil menyeringai miring dengan mata menatap tajam ke arah mata hazel milik Seila.
"I- iya." Bergidik ngeri saat melihat raut wajahnya yang tampak tak bersahabat. Lalu berusaha melepaskan tangan yang mencengkram kuat pergelangan tangannya. "Ma-maaf, Jef. Le-lepaskan tanganku,” pinta Seila memasang raut wajah cemas.
"Mau kuantar?" tawarnya.
"Ti-tidak usah, a-aku bisa sendiri. Tolong lepaskan tanganku." Seila berusaha melepaskan tangan yang mengunci di pergelangan tangannya dengan kepala tertunduk. Tak berani menatap mata lelaki yang ada di hadapan. Tatapannya menyeramkan, seperti seekor serigala yang kelaparan.
"Aku antar kau pulang," ucapnya dengan lembut.
"Terima kasih, tapi sungguh itu tidak perlu." Ia menolak dengan lembut dan tak boleh gegabah, insting alami memperingatkan tubuh Seila untuk waspada. Ia juga merasakan ada firasat buruk.
"Kalo kubilang akan kuantar, ya kau harus mau!" bentaknya seraya menarik tangan Seila.
"Aww." Seila hanya bisa merintih kesakitan dengan raut wajah meringis. Tangan Jefry begitu kasar dan kuat menggenggam tangan Seila yang mungil.
Jefry memaksa Seila untuk masuk ke mobil memasangkan sabuk pengaman, mengunci pintu lalu dia berlari mengitari kap mobil dan duduk di kursi kemudi. Lelaki itu mulai memutar kunci mobil untuk menyalakan mesin dan seketika mobil melaju kala sudah menyala.
Dia hanya bisa diam tertunduk tak berani menoleh ke arah pria yang sibuk menguasai kendali mobil, seraya meremas ujung rok abu-abu dengan gugup. Panas dingin terasa berdesir merambat ke sekujur tubuh. Takut, benar-benar takut. Ia sama sekali tak mengenal Jefry dengan baik. 'Tuhan, lindungi aku, aku mohon,' batin Seila berdo'a kepada Tuhan yang maha kuasa.
Tak terasa waktu sudah sepuluh menit berlalu, tak terucap sepatah kata pun di antara mereka. Hingga membuat hati Seila sedikit lega karena Defry sama sekali tak melakukan hal buruk. Mungkin Seila yang terlalu paranoid karena belum pernah berduaan dengan seorang pria. Namun, pada saat perasaan melega, tiba-tiba saja Jefry menepikan mobil tepat di atas jembatan.