Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Kota Jakarta terlalu dingin untuk ukuran jam 8 malam. Angin terlalu sepoi ditambah rintik hujan yang mengguyur. Aspal kini lembap dan digenangi air. Meskipun demikian, langkah kaki
Carolin atau yang sering disapa Olin terus melaju tidak peduli akan tubuhnya yang basah. Rasa sakit hatinya lebih penting dari pada rasa menggigil yang diterima oleh tubuhnya.
“Aku harus apa, Tuhan?” Bibir pucat itu berucap dibarengi air mata. Ia tidak tahan lagi.
Keluarganya benar-benar telah menancapkan luka di hatinya tanpa peduli sama sekali.
Mengusirnya hanya karena memberontak demi sebuah keadilan antara dirinya dan sang kakak.
Ayahnya menganggap dirinya sebagai anak durhaka dan tidak pantas tinggal di rumah mereka, sedangkan ibunya menuduhnya merebut kebahagiaan sang kakak. Padahal, jika
dipikir-pikir, Elana yang telah merusak segala kebahagiaannya.
Ah, Olin harus apa?
Elana berhasil menggoda Stevan dan mengajak tidur bersama hingga kakak satu-satunya itu hamil. Ketika menuntut keduanya dan menjatuhkan kesalahan pada Elana, kedua orang
tuanya malah menganggap dirinya yang tidak layak untuk Stevan sehingga lelaki itu melarikan diri pada Elana yang merupakan primadona.
Di depan semua orang Olin dipermalukan dengan Stevan melamar Elana dan siap menjadi ayah untuk calon bayi dalam perut Elana.
Semua orang mencemooh Olin. Mencapnya sebagai perempuan buruk yang tidak akan berhasil pada satu hubungan serius.
Dan itu semakin menyakitkan hati Olin. Kenapa? Apa salahnya? Hanya karena tubuhnya yang tidak layak mendapatkan yang sempurna?
“Akh!” Suara rintihan
keluar dari bibir pucat ketika beling menancap pada telapak kakinya. Meskipun memakai alas kaki, tapi berhasil tembus menusuk dan mengalirkan darah. Mungkin karena alas kaki yang digunakan hanya sendal jepit tipis. Olin terlalu susah payah melepas beling itu hingga ia terpaksa duduk di aspal yang tergenang air.
Terlalu perih, meskipun rasa di hatinya jauh lebih sakit dan perih.
“Kenapa rasanya sangat sakit, Tuhan!” Olin menggigit bibirnya. Percampuran antara ras sakit kaki dan rasa sakit hati benar-benar telah membuat luka teramat dalam di hidupnya.
Tangis jatuh. Rintik hujan meleburkan segalanya.
Tidak ada pilihan untuk Olin selain melepaskan segalanya. Mungkin dengan mengakhiri nyawanya maka luka dan penderitaan berakhir.
Tidak akan ada lagi yang mengejek penampilannya dan juga tubuhnya yang terlalu berisi.
Olin sudah siap untuk mati. Ia akan mencari jembatan untuk terjun bebas. Atau mencari kendaraan yang melaju cepat dan melemparkan dirinya agar dilindas.
Pemikirannya kacau. Namun, belum sempat
melakukan segala niatnya itu, seseorang berdiri di depannya, memayungkan dan kemudian bertanya dengan nada khawatir.
“Anda baik-baik saja, Nona?” Suara itu terdengar rendah dan juga dalam.
Olin bahkan terpaku hanya pada suara. Menengadah dan menatap fokus pada lelaki yang terlihat tampan meskipun menutup wajahnya dengan masker hitam.
“Kakimu terluka. Astaga!” Lelaki itu menyerahkan payung pada Olin, lalu berjongkok dan meneliti
luka kaki yang tertancap beling itu. “Ini cukup dalam. Darah yang keluar cukup banyak. Kau harus ke rumah sakit.”
Belum lima menit kalimat itu keluar dari mulut si lelaki, Olin terkulai lemah. Bersyukur saja, gerakan cepat si penolong sungguh luar biasa sehingga mampu meraih tubuh Olin dan membawanya ke dalam pelukannya. Bahkan payung yang terjatuh dari tangan Olin berhasil ditangkap olehnya. Lelaki asing yang terlalu baik.
***
“Kau sudah bangun?” Olin yang baru saja
membuka matanya dikagetkan oleh suara lelaki asing yang terdengar begitu dekat di rungunya.
Olin memalingkan wajahnya ke samping lantaran lelaki asing itu menunduk ke arahnya hingga jarak mereka terlalu dekat.
“Syukurlah. Aku benar-benar khawatir,” kata lelaki itu. Ia meletakkan tangannya di kening Olin.
“Demammu juga sudah stabil,” lanjutnya lagi.
Mendengar itu, Olin kembali meluruskan pandangannya, menatap wajah lelaki asing yang sangat tampan dan juga menawan. Bola mata berwarna biru itu berbinar memancarkan kelegaan yang tiada tara.
“Ah, iya. Aku lupa memperkenalkan diri.” Mengulurkan tangan pada Olin. “Darren Agler.”
Olin tidak langsung menyambut. Ia malah berusaha mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk.
Darren dengan sigap membantunya, memberi bantal di punggung Olin agar lebih nyaman.
“Nyaman?” tanya Darren.
Olin mengangguk.
“Boleh aku tahu siapa namamu?” Kembali Darren bertanya.
Lagi, Olin mengangguk.
“Kalau begitu beritahu padaku,” kata Darren.
“Carolin Azetta,” ucap Olin pelan.
“Nama yang cantik,” puji Darren jujur. “Kau tunggu di sini, ya. Aku akan membawakan makanan untuk mengisi perutmu.” Darren hendak berdiri, tapi Olin menahan tangannya.
“Ini di mana? Dan ... kenapa aku bisa di sini?” Darren tersenyum.
“Kau di rumahku,” sahutnya. “Apa kau tidak ingat apa yang terjadi tadi malam?” lanjut Darren.
Olin membulatkan matanya. Spontan tangannya menyilang di dada.
Darren lagi-lagi tersenyum. “Bukan itu maksudku.”
“Lalu?” cicit Olin.
“Tadi malam, kau pingsan di pelukanku,” jelas Darren. “Waktu hujan turun, aku melihatmu menangis dengan kaki terluka. Jadi, aku mendekatimu saat itu dan setelahnya kau malah
terkulai lemah,” sambung Darren menjelaskan apa yang terjadi tadi malam.
Olin menunduk. Ia ingat sekarang. Tadi malam, ia di usir dari rumah di saat kakak kandungnya
Elana bertunangan dengan Stevan si pengkhianat.
“Terima kasih, Darren. Terima kasih karena sudah menolongku dan membawaku ke sini. Tapi ....” Olin menggantungkan pembicaraannya.
“Tapi apa?” Darren bingung.
“Tapi seharunya kau tidak perlu menolongku. Aku memiliki niat untuk mengakhiri segalanya tadi malam,” terang Olin. Tanpa terasa air matanya jatuh.
“Kenapa?” Darren ingin tahu.
Olin menggelengkan kepala. “Ini urusan pribadiku, kau tidak perlu tahu.” Olin tidak ingin orang lain yang baru ia kenal mengetahui aib keluarganya. Ia takut akan di ejek oleh Darren seperti kebanyakan orang yang mengetahui
kisah cinta mirisnya.
“Aku tidak akan memaksamu, Olin. Tapi satu hal yang harus kau tahu, bunuh diri itu tidak akan
menyelesaikan masalah. Justru akan menambah masalah dan mungkin akan semakin
sulit untuk dipecahkan.” Darren mencoba memberi pengertian.
Olin terdiam. Ada benarnya apa yang dikatakan Darren, tapi ia tidak ingin hidup dengan penderitaan seperti ini. Tidak diterima oleh keluarganya sendiri dengan alasan yang sungguh tidak logis menurut Olin sendiri.
Dia dianggap durhaka hanya karena memberontak saat kekasihnya terlena pada rayuan kakak kandungnya sendiri.
Miris memang!
“Aku akan membuat makan siang untukmu.” Darren yang hendak berdiri lagi-lagi tertahan lantaran Olin menahan tangannya.
“Boleh aku meminta sesuatu?” ujar Olin pelan.
“Katakan saja.” Darren menyahut santai.
Olin menghela napas.
“Em ... tidak jadi,” cicit Olin lagi. Ia takut jika Darren merasa keberatan pada permintaannya nanti.
“Kau yakin tidak ingin mengatakannya?” tanya Darren.
Olin menggelengkan kepalanya. Masih ragu untuk meminta hal yang mungkin tabu sebenarnya.
“Ya, sudah. Aku ke dapur dulu. Kau bisa membersihkan diri sekarang. Di lemari yang ada di kamar mandi, ada handuk bersih dan juga perlengkapan lainnya. Kau bisa menggunakannya.” Darren menyarankan agar Olin segera membersihkan diri agar terlihat lebih segar.
“Terima kasih,” cicit Olin.
“Kau bisa jalan sendiri?” Darren khawatir pada kaki Olin yang terluka. Meskipun Darren sudah
mengobatinya dan membalut dengan perban, tetap saja ada rasa khawatir karena bukan dokter yang melakukannya.
Sebenarnya Darren ingin membawa Olin ke rumah sakit terdekat atau klinik, tapi karena sudah sangat larut dan hujan deras, Darren akhirnya membawa pulang ke rumahnya.
Dengan bekal pengetahuan yang pernah ia pelajari dari temannya yang merupakan seorang dokter, Darren memberanikan diri melepas pecahan kaca dari tapak kaki Olin dan mengobatinya dengan sesempurna, mungkin.
Olin melirik kakinya yang diperban. Kemudian mengangguk walau dia tidak yakin apakah sanggup berjalan atau tidak.
“Aku bisa menggendongmu ke kamar mandi jika kau mau,” tawar Darren.
“Tidak perlu. Aku bisa sendiri, Darren,” tolak Olin. Ia tidak ingin merepotkan Darren yang terlalu baik padanya. Padahal dirinya hanya orang asing yang baru dikenal.
Lagian, ukuran badannya tidak akan sanggup diangkat oleh Darren, meskipun ia tahu, di balik
kaos oblong warna putih berkerah V itu ada otot kekar.
Olin menelan salivanya susah payah. Astaga, Olin. Pikiran mesum apa itu?
“Baiklah, kalau kau yakin. Aku tinggal,” ucap Darren dan kali ini benar-benar keluar dari kamar
yang di tempati oleh Olin.
Olin menghela napas kasar. Ia mencoba menggerakkan kakinya, menapak pada lantai keramik cokelat tua.