Sumpah! Jika tak mengingat Eiffel, aku pasti sudah menceraikan Yumiko. Bukan, bukan karena penyakitnya yang tak kunjung sembuh. Kalau masalah itu, aku masih bisa menerimanya meskipun berat dan sulit. Masih sanggup bertahan lah, jika dibandingkan dengan kenyataan pahit yang baru saja menamparku dengan sangat keras. Bayangkanlah! Aku tahu dari Fellicia, sahabat dekat Yumiko kalau ternyata dia itu adalah kupu-kupu malam. Wanita penghibur. Kalian tahu, kan? Ah! Rasanya seperti terkepung dalam kobaran api yang begitu besar. Mau menerjang ke luar, tak cukup nyali tapi untuk bertahan di dalam adalah sesuatu yang mustahil. Hei, suami mana sih yang tidak sakit hati jika dibohongi seperti ini? Bukan hanya itu, sejujur-jujurnya aku sangat kecewa. Marah, murka dan ingin mencabik-cabiknya sampai menjadi daging cacah. Selama ini, dia terlihat baik-baik saja, lho. Penyabar, penurut dan setia. Tapi kalau seperti itu kenyataan yang sebenarnya, untuk apa? Lebih baik tak pernah bertemu untuk selama-lamanya. Apa, apa dia pikir dengan penyakitnya yang semakin hari semakin parah itu aku akan iba? Tidak! Salah sendiri, siapa suruh menyemai benih luka? Satu lagi, kalau dia membohongi aku itu berarti juga membohongi Mama, Papa dan Mbak Galuh. Apalagi selama ini mereka sangat menyayangi Yumiko. Duh, sungguh tak berani membayangkan bagaimana reaksi Mama kalau tahu kenyataan ini? Pasti sangat terluka karena dia yang telah memperkenalkan kami untuk pertama kalinya dulu. Mama juga yang mendekatkan kami sehingga akhirnya membina rumah tangga seperti sekarang ini. Ah! Terlalu panjang ceritanya, tak bisa kutuliskan semuanya di sini. Yang jelas, jika apa yang dikatakan Fellicia itu benar, aku tak sudi lagi hidup bersamanya. Cukup sampai di sini saja. Titik.
Fellicia memandangku lekat-lekat, seolah ingin meneguhkan keyakinan di hatiku tentang semua kisah masa lalu Yumiko. Setiap kata yang diucapkan penuh dengan emosi dan penekanan, membuatku bergidik ngeri. Jijik, membayangkan bagaimana sebelum bertemu denganku dulu, Yumiko menjajakan tubuhnya kepada banyak lelaki. Membiarkan setiap pelanggan menikmati tubuhnya. Meraup pundi-pundi rupiah dari hasil melacur. Hal terbesar yang membuatku limbung adalah sudah ada Eiffel di antara kami. Buah cinta yang selama ini kuyakini sebagai cinta suci. Bah! Tapi ternyata busuk. Berbisa.
"Lo nggak lagi bohongin gue kan, Fel?" gumamku dengan nada suara menggertak, "Lo nggak lagi punya rencana jahat kan, Fel?"
Kutanya dengan kalimat yang setajam itu, Fellicia malah tertawa cekikikan, bukannya tersinggung atau semacamnya membuatku tertegun. Bukan apa-apa. Satu, aku memang bukan psikolog tapi jika bertanya dan tak langsung menuai jawaban, pasti jatuh curiga. Dua, jika memang semua yang dia katakan tadi itu benar adanya, kenapa harus bersikap seambigu itu? Sejujur-jujurnya kukatakan, dalam masalah ini aku hanya membutuhkan jawaban yang sebenar-benarnya bukan tawa cekikikan.
"Kok, malah ketawa sih?" tegurku, masih dengan nada yang tajam menggertak, "Gue serius nih Fel, bukannya main-main. Kami sudah ada Eiffel lho, apa Lo lupa? Gila aja kan, kalau kami sampai broken tapi ternyata semua ini hoaks? Please deh, seriusan dikit, dong? Nggak mungkin dong, gue asal pisah sama Yumiko gitu aja? Mana dia juga lagi sakit ...!"
"Ups sorry, Jun. Gue nggak ada maksud apa-apa, kok. Gue, ya gue lucu aja denger gertakan Lo tadi. Emangnya gue penjahat, apa?" Fellicia berkilah sambil menyedekapkan kedua tangannya, "Menurut Lo, gue bohong apa nggak? Hehe."
"Gue bohong apa nggak?" tanyaku setelah memastikan bola mata kami sama-sama menyorot terang, "Maksud Lo apa, ha? Ditanya kok, malah balik nanya?"
"Ish, terserah Lo dah, Jun." Fellicia mengibaskan tangan kanannya, "Yang penting gue udah ngasih tahu Lo apa adanya tentang istri Lo, semuanya. Selanjutnya, terserah Lo. Mau percaya syukur, nggak juga terserah. Gue nggak ada maksud jahat kok, ama Lo berdua. Terutama Lo. Nggak ada untungnya juga kali, gua ngejahatin kalian. Kita kan udah sohiban sejak lama? Sampai anak kalian udah brojol," lanjutnya dengan nada tersinggung. Kali ini, dia membuang muka dariku, memakai kaca mata hitamnya lagi dan melangkah pasti menuju pintu keluar.
Brak!
Tanpa kusadari, aku memukul meja kerjaku sendiri. Hal yang belum pernah kulakukan selama ini, sungguh. Aku memang laki-laki tapi bukan tipikal laki-laki kasar yang bisa dengan mudahnya memukul, walaupun itu benda mati. Ah! Tapi ini sudah keterlaluan. Kelewatan. Masa, Yumiko merahasiakan semua itu dariku? Dari Mama, Papa dan Mbak Galuh juga pastinya, kan? Hah, apa dia tak tahu, sedalam dan serapat apapun bangkai dikubur pasti akan tercipta juga.
Nah, ini buktinya. Semua penjelasan Fellicia yang bagiku detail dan meyakinkan. Walaupun ada secubit keraguan juga sih, di hati. Masa, Yumiko seperti itu? Masa, Mama tidak tahu sama sekali tentang hal itu? Oh ya, aku masih harus menunggu semua bukti nyata yang dijanjikan Fellicia tadi. Mengenai kenyataan hitam kalau sebenarnya Yumiko itu bukan perempuan baik-baik. Apa yang dia katakan tadi, ya? Kapan dia akan mengirimkan semua foto, video bahkan E-News yang dia maksudkan tadi?
Hemh!
"Apa lagi sih, Jun?" pertanyaan Fellicia terdengar sangat marah tapi aku tak peduli, "Kenapa Lo ngubungi gue? Kalau nggak percaya sama gue buat apa? Percuma saja kan, Jun?"
Aku mempererat genggaman pada ponsel, "Bukan gitu Fel ... Maklum lah, gue shocked berat ini, Fel. Sumpah, gue nggak ada maksud buat Lo tersinggung, kecewa ... Marah. Please, ngertiin gue, Fel?"
Saluran telepon sepi untuk beberapa saat lamanya. Tidak tahu apa yang Fellicia pikirkan di sana tapi yang pasti aku hanya ingin menagih janji. Bagaimanapun, apapun yang terjadi aku harus mendapatkan semua bukti akurat itu. Karena itu yang akan menjadi titik terang. Lagi pula, tak mungkin aku menyampaikan berita yang belum jelas ini pada keluarga besar kami. Salah-salah, aku yang dijadikan daging cacah dengan sempurna. Iya, kan?
"Fel, please ... Gue mohon, Fel?"
"Apa, foto Yumiko sama pelanggannya? Ada, Lo nggak perlu khawatir, Jun. Kayak nggak kenal siapa gue aja, Lo. Yang paling penting bagi gue, Lo percaya sepenuhnya ama gua apa nggak? Itu aja, sih!"
"Emh, iya deh."
"Iya deh, apa?"
"Gue percaya sama Lo."
"Sepenuhnya?"
"Iya, sepenuhnya."
***
Yumiko sudah menunggu di beranda depan seperti biasa, sewaktu aku pulang kantor. Eiffel, putri kecil kami juga ikut menunggu, dengan Moli, boneka kucing kesayangannya dalam dekapan. Terlihat jelas, rona kebahagiaan memancar indah di wajah teduh dan lembut mereka. Yumiko melambaikan tangan ke arahku yang baru saja turun dari mobil. Biasanya, dalam keadaan normal---sebelum Fellicia's News tadi---aku membalas lambaian tangannya sambil melontarkan senyum manis. Kalau sudah begitu, Yumiko lalu menjalankan kursi rodanya, menyambut kepulanganku.
"Daddy, Daddy ...!" Eiffel berlari-lari kecil ke arahku, merontokkan jantungku, "Daddy, Eiffel kangen!"
Eiffel kangen. Eiffel kangen. Eiffel kangen.
Oh, tak kuasa aku mendengarkan ungkapan tulus itu, sungguh. Entah mengapa sebelah perasaan bersalah sekaligus berdosa menyelinap ke dalam dadaku. Begitu banyak pertanyaan mendera diri yang limbung ini. Salah satunya, 'Gampang banget sih Lo, dengerin berita yang nggak jelas kayak gitu? Lagian, mana mungkin Mama nyesatin Lo? Jangan bodoh, entar nyesel sampai mati!'
"Daddy ...!" tiba-tiba, Eiffel sudah sampai di hadapanku, menubruk dan memeluk hangat, "Eiffel kangen, Daddy. Eiffel loves Daddy so much."
"Ya, Eiffel." sebisa mungkin aku bersikap biasa terhadapnya, "Daddy juga kangen sama Eiffel. Daddy loves you too so much, Eiffel."
"Really?" tanya Eiffel sambil melepaskan pelukan, memindai kejujuran di bola mataku, "Daddy, Daddy sakit?"
Secepat mungkin aku menggeleng-gelengkan kepala, "Nggak Eiffel, Daddy nggak sakit. Daddy baik-baik saja dan Eiffel? Mommy sehat kan Eiffel, Mommy nggak mimisan lagi, kan?"
Entah bagaimana, tiba-tiba Eiffel menangis. Tangisnya benar-benar pecah, seolah-olah baru saja kusakiti atau semacamnya membuatku bingung. Benar-benar bingung, karena bahkan aku sudah melakukan semua yang semestinya tadi. Spesial untuknya, mengalahkan badai yang berkecamuk di dalam dada. Berlutut di halaman berkonblok, menyambut dengan merentangkan tangan. Menggambar senyum lebar, tertawa kecil hingga kemudian dia sampai di hadapan.
Merapikan anak rambut pirang ikalnya dan menyimak setiap kata yang diucapkan dengan penuh perhatian. Apa masih ada yang kurang? Aku juga sudah mengecup ubun-ubunnya, kan? Tapi mengapa dia malah menangis? Tidak wajar menurutku, karena aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membuatnya tetap dalam kebahagiaan.
"Eiffel ... Mas, ada apa, Mas? Eiffel kenapa?" tentu saja, Yumiko mempercepat laju kursi rodanya ke arah kami. Wajahnya terlihat bingung dan khawatir saat sampai di dekat Eiffel yang tangisnya justru semakin berserakan, "Eiffel ... Come to Mommy, Eiffel!"
Bab 1 Percaya Tidak Percaya
17/12/2021
Bab 2 Mencoba Untuk Mengabaikan
17/12/2021
Bab 3 Menelusuri Kebenaran
17/12/2021
Bab 4 Hati Seorang Mama
17/12/2021
Bab 5 Tindakan Arogan Fellicia
17/12/2021
Bab 6 Memburuk dan Kritis
17/12/2021
Bab 7 Mata-mata Khusus Fellicia
19/12/2021
Bab 8 Keluarga, Masalah dan Kesalahan
21/12/2021
Bab 9 Pria Yang Beruntung
21/12/2021
Bab 10 Rapuh dan Ragu Lagi
23/12/2021
Buku lain oleh Humairah Samudera
Selebihnya