Membunuh Masa Lalu

Membunuh Masa Lalu

Em Fardhan

5.0
Komentar
29
Penayangan
13
Bab

Sebelum kau memutuskan jatuh cinta, siapkan dua hal yang akan kau terima. Kehilangannya atau merindukannya. Cinta memang selalu misterius. Datang dan pergi sesuka hati. Namun, bagaimana jika ketika cinta pergi sembari membawa serta jiwa kita ini. Bagaimana jika kita kehilangan seseorang yang sangat kita sayang tanpa ada kepastian yang jelas? Kisah, Jaya ini mungkin pernah kalian alami, kalau belum jangan sekali-kali!

Bab 1 Karma

Setengah jam kami duduk di kedai ini. Namun, sepertinya tidak ada percakapan yang berarti. Kopi yang kami pesan sejak tadi tak aku sentuh sedikitpun. Hanya kopi lelaki di depanku yang terlihat tandas tak tersisa.

"Jadi, kamu tetap tak mau bercerita kenapa, Jay?" ucapnya kepadaku. Masih terus berusaha mendesakku.

"Lalu buat apa kamu minta aku kemari?" kejarnya lagi.

"Ayolah, Jaya yang kukenal tidak seperti ini. Lagi pula kaya sama siapa saja, aku ini kawan karibmu sejak kecil, Jay. Janganlah sungkan," ujarnya lagi sembari menyerobot kopi punyaku. Kubiarkan saja, toh aku tak lagi berselera.

Ingin rasanya aku curhat dengan Iwan, namun gengsi. Takut gantian di tertawakan. Sungguh tidak menyenangkan kalau sampai Iwan tahu bahwa aku yang biasanya sok tegar ini ternyata lemah juga oleh wanita. Benar-benar menyedihkan. Namun, ini memang masalah perasaan, terlalu susah untuk dikendalikan.

Dulu, sempat aku menertawakan Iwan, temanku karibku. Saat ia ditinggal pacarnya entah kemana. Sebenarnya juga kalau dibilang pacar juga lucu, sebab hanya berhubungan lewat dunia maya saja. Kenal, pacaran, dan akhirnya sudahan juga di dunia maya. Aku sempat tertawa terbahak-bahak saat Iwan curhat kepadaku kala itu. Melihat matanya yang basah oleh air mata, membuatnya semakin tampak lucu saja. Sangat tidak pantas lelaki berbadan kekar dan bertampang sadis bisa menangis hanya gara-gara wanita yang tidak pernah ditemui di dalam dunia nyata.

"Kamu gila!" kataku kepadanya waktu itu sembari tertawa terbahak-bahak.

Dan nampaknya kini aku tengah terkena karmaku sendiri. Dulu pernah menertawakan Iwan yang menangis kehilangan wanita, dan kini aku sendiri pun menangis karena kehilangan wanita. Benar-benar roda kehidupan itu berputar.

Kini Iwan sudah berumah tangga dengan Asih, teman sekelas kami waktu SMA. Yang berarti temanku juga. Sudah dikaruniai anak satu malah. Dan aku dulu yang menertawakannya, kini lagi menuai karma. Sedangkan Iwan sudah bahagia dengan pilihannya.

.

Kata pepatah, hidup adalah seperti roda yang berputar. Kadang di atas, kadang pula di bawah. Semuanya serba bergantian. Kesedihan dan kebahagian datang silih berganti. Dan kini, aku tengah berada dalam keadaan di bawah itu.

"Ya, sudah! Kalau nggak mau bercerita aku pergi, Jay. Sudah di tungguin bos, nih!" Iwan berdiri sembari meraih tas ranselnya di meja.

Buru-buru aku raih tangannya, "Sebentar, Wan. Baik, aku bercerita. Tapi janji ya, jangan tertawa."

Perlahan kuturunkan rasa gengsiku.

"Apaan, sih? Bikin penasaran saja! Dari tadi, Kek." Iwan kembali menaruh ranselnya, dan duduk kembali sambil pasang wajah manyun.

"Janji ya, jangan meledek atau tertawa," tegasku sekali lagi sembari sedikit melotot.

"Iya, iya! Bawel, sih. Apaan?" Iwan balas mendelik.

Akhirnya aku ceritakan juga kepada Iwan tentang pertemuanku dengan seorang wanita, yang pada akhirnya ia menghilang tanpa jejak. Iya hilang, entah kemana tanpa pamit satu patah kata pun juga.

"Ha-ha-ha ... kena karma kamu, Jay!" Tawa Iwan menggelegar di udara, sampai-sampai seluruh penghuni kedai kopi melirik kepada kami.

Kutinju lengan Iwan. Sialan, kalau tahu begini mendingan tadi enggak usah cerita saja. Aku membatin kesal.

***

Aku mengenal wanita itu belum lama, baru sekitar tiga bulan yang lalu. Kami berkenalan di sebuah kedai kopi, di sore hari saat hujan deras mengguyur bumi. Awalnya kami hanya sama-sama tengah berteduh di sebuah emperan kedai, hanya ada kami berdua kala itu. Lalu kami saling berkenalan dan sembari menunggu hujan reda kami pun berlanjut mengobrol masuk ke dalam kedai.

Wanita itu bernama Vera, nama yang menyiratkan aura pesona dan kedewasaan, menurutku. Setelah hujan reda kami pun saling berpamitan dan tentu tak lupa saling bertukar nomor telepon. Meskipun perkenalan itu hanya sekilas lalu. Namun, senyumnya yang memesona berbalut lipstik merah marun itu sangat membekas sampai ke dalam palung hatiku. Bahkan senyum itu bertengger mesra di otakku hingga tiga hari lamanya.

Belum pernah aku sebucin ini. Aku memang lelaki normal yang sangat bisa mengagumi wanita cantik, tetapi aku bukanlah seorang lelaki gampangan yang mudah terpikat dan terpesona kepada setiap wanita.

Baru kali ini tampaknya pesona wanita mampu mematahkan kuda-kuda pertahananku sebagai seorang lelaki. Biasanya, wanita yang mendekatiku atau berkenalan denganku sepintas lalu saja, tidak ada yang spesial atau istimewa. Perasaanku juga tak seheboh ini kala bertemu pertama kali dengan dengan Sandra, mantan kekasihku dulu. Vera memang berbeda. Ia bagai intan mutiara yang kilaunya mampu menyilaukan mataku sampai aku tak bisa lagi melihat apa-apa selain kilaunya saja. Gila bukan?

Sejak tiga hari setelah bertemu dengannya kala itu, bayangannya seperti tak mau lenyap, terus menari-nari dalam otakku. Aku seperti setiap detik dirajam rindu. Aku memberanikan diri menghubungi nomernya, rasanya tak tahan juga tersiksa begitu. Entah perasaan gila macam apa ini. Orang baru kenal sekilas kok sudah merindu.

Ingin kutulis chat untuk menyapanya. Namun, berkali-kali juga aku hapus, canggung sebenarnya harus memulai dari mana. Ada rasa gengsi juga. Ah, persetan! Aku melawan perasaanku sendiri. Tidak mau aku lebih lama disiksa oleh bayangannya. Rindu ini begitu mengganggu dan begitu menyiksaku!

[Hai, Ver. Ini aku, Jaya. Kita berkenalan di kedai Coffee Star tiga hari lalu. Ingat?] aku kirim juga akhirnya.

Aku menunggu balasan chat-nya dengan perasaan yang gelisah, dengan harap-harap cemas.

Tak berselang lama, Vera pun akhirnya membalas, [Eh, iya. Ingat dong, masa baru tiga hari sudah lupa. Aku belum pikun, lho ya. Bagaimana kabarmu?]

[Aku baik, Ver. Oh ya, kalau tidak sibuk, apa kita bisa bertemu nanti malam di Kedai Coffee Star lagi?] balasku tanpa babibu lagi. Rasanya aku tidak ingin lagi membuang-buang waktu dengan percuma untuk segera menemuinya. Kali ini bukan lagi waktunya untuk bertele-tele ria, Bung!

[Oh, tentu. Aku juga kebetulan lagi free. Nggak ada kesibukan, nih! Baik pukul delapan malam kita bertemu, ya. Bye,] balasnya diakhiri dengan emoticon love.

Apa! Sebentar-sebentar, benarkah dia balas dengan emoticon love? Berkali-kali aku memastikan dan memang benar aku tidak salah lihat. Senyumku merekah, batinku membuncah, nampaknya gayung pun bersambut. Tak henti-hentinya aku tersenyum sendiri bak orang gemblung. Kuhampiri cermin, kulihat bayanganku sendiri.

"Apa kau tengah jatuh cinta, Jaya?" tanyaku bodoh pada bayanganku sendiri.

Ah, aku baru mengalami jatuh cinta sekonyol sekaligus seindah ini. Pesona apa yang ada di dalam dirimu, Ver, sehingga membuatku tak bisa menahan diri untuk tidak jatuh cinta kepadamu. Tidak sabar rasanya menunggu sampai nanti malam.

Ah, Ver, Ver. Aku masih terus saja senyum-senyum sendiri. Tidak peduli lagi kalau ada orang melihat dan mengira aku orang gila dadakan. Sekali lagi, peduli setan!

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

Gavin
5.0

Aku adalah Alina Wijaya, pewaris tunggal keluarga Wijaya yang telah lama hilang, akhirnya kembali ke rumah setelah masa kecilku kuhabiskan di panti asuhan. Orang tuaku memujaku, suamiku menyayangiku, dan wanita yang mencoba menghancurkan hidupku, Kiara Anindita, dikurung di fasilitas rehabilitasi mental. Aku aman. Aku dicintai. Di hari ulang tahunku, aku memutuskan untuk memberi kejutan pada suamiku, Bram, di kantornya. Tapi dia tidak ada di sana. Aku menemukannya di sebuah galeri seni pribadi di seberang kota. Dia bersama Kiara. Dia tidak berada di fasilitas rehabilitasi. Dia tampak bersinar, tertawa saat berdiri di samping suamiku dan putra mereka yang berusia lima tahun. Aku mengintip dari balik kaca saat Bram menciumnya, sebuah gestur mesra yang familier, yang baru pagi tadi ia lakukan padaku. Aku merayap mendekat dan tak sengaja mendengar percakapan mereka. Permintaan ulang tahunku untuk pergi ke Dunia Fantasi ditolak karena dia sudah menjanjikan seluruh taman hiburan itu untuk putra mereka—yang hari ulang tahunnya sama denganku. "Dia begitu bersyukur punya keluarga, dia akan percaya apa pun yang kita katakan," kata Bram, suaranya dipenuhi kekejaman yang membuat napasku tercekat. "Hampir menyedihkan." Seluruh realitasku—orang tua penyayang yang mendanai kehidupan rahasia ini, suamiku yang setia—ternyata adalah kebohongan selama lima tahun. Aku hanyalah orang bodoh yang mereka pajang di atas panggung. Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Bram, dikirim saat dia sedang berdiri bersama keluarga aslinya. "Baru selesai rapat. Capek banget. Aku kangen kamu." Kebohongan santai itu adalah pukulan telak terakhir. Mereka pikir aku adalah anak yatim piatu menyedihkan dan penurut yang bisa mereka kendalikan. Mereka akan segera tahu betapa salahnya mereka.

Membalas Penkhianatan Istriku

Membalas Penkhianatan Istriku

Juliana
5.0

"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku