Membunuh Masa Lalu
nasnya. Sinar keemasannya merangsek masuk ke kamarku lewat
erganggu oleh ketukan pintu yang bertubi-tubi d
apa ini? Apa kamu mau bolos kerja
," kujawab lemah saja
n! Lekas sana temui, jangan tidur saja kerja
kikku. Terganggu juga dengan s
apa yang baru keluar dari persemediannya. Sampai ruang depan, kulihat Da
a?" tanyaku malas sekadar be
dari kehadiranku. Tidak ada yang berbeda dengannya, logat ngapaknya masih kental meski lama hidup di Jakarta. Biasanya aku tak tahan untuk ti
i," jawabku sekenanya sembari
laki pula. Sadar, Jaya, sadar!" Suara Darto mulai terdengar menjengkelkan. Lagi pula apa hubungannya sa
Ingat berapa hari koen bolos kerja? Berkali-kali di kontak
n kepadaku. Tanpa aku kulihat pun aku sudah tahu kalau itu adalah SP gara-gara bol
h tidak minat kerja lagi?" selidik Da
ginilah keadaanku.Aku bekerja di sebuah pengiriman paket sebagai kurir. Darto ini adalah seniorku di sana. Iwan juga kerja disana, tetapi sebagai s
kenal selama ini selalu energik, selalu semangat, suka memberi motivasi kepada kawan-kawan lainnya,
tahu apa yang terjadi." Tiba-tiba emak ikut nimbru
at hidup begitu. Di tanyain enggak mau bilang apa-apa, diam saja. Sudah emak bujuk tap
, kuenya di dalam masih ada kan, Mak?" Seru Darto sembari mencomot kue y
enyeringai senang. Kilatan matanya berbinar-binar. Darto ini memang dekat se
lay!" ujar emak sembari bergegas ke belakang, tidak lupa liriknya mampir ke arahku. Lirikan y
putus cinta? Sama siapa? Bukannya selama i
nafas, dan perlahan aku ceritakan semuanya kepada Darto. Satu demi s
salahku. Tapi nyatanya beban ini tak menjadi berkura
aku tidak tahu. Sebentar-sebentar, alamat? Bukankah KTP pasti tertera alamatnya? Yah! Ibu kos tempat Vera tinggal sel
penyebabnya kenapa engkau begitu tega menyi
*
angatiku tetapi tetap saja tidak mampu memantik gairah hidupku untuk menyala kembali. Barangkali hatiku dan apapun yang bisa
Rasanya tidak ada lagi sesuatu yang menarik di dunia ini selain mengingatnya dan kembali bersamanya. Tikaman demi tikaman rindu kian menghujam diri
manya. Tiba-tiba memoriku berputar kembali ketika masih menjalani hari-hari indah bersama Vera. Sebelum
tidak tajir," kataku kala itu kepadanya di bawah siraman senja di ujung utara Jakarta. Aku
h membalas menatapku lekat penuh isyarat.
itu, bukan?" jawabku kepadanya
lasan dan segala tetek bengeknya. Bukankah jika cinta masih membutuhkan alasan dan ketika nanti alasan itu berubah seiring waktu, a
erdas. Aku menjadi semakin tertantang u
u itu tanpa alasan, kita sebagai manusi
pertanyaanku. Lihatlah, bahkan ketika tertawa
cukup. Cukup untuk alasan cinta itu sendiri, jika memang menurutmu cinta harus ada alasannya, dan itu satu-satunya alasanku." ujarnya sem
*