Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Jejak Masa Lalu

Jejak Masa Lalu

Listiana

5.0
Komentar
63
Penayangan
21
Bab

Selama lebih dari 4 tahun berumah tangga, Nindi merasa hubungannya dengan Dika baik-baik saja. Mereka menjalani rumah tangga dengan bahagia dan begitu harmonis, meski belum ada anak di antara mereka. Namun, siapa sangka, di belakang Nindi, Dika justru sedang merencanakan sebuah pernikahan bersama model terkenal bernama Rose Evelin, yang merupakan mantan kekasih Dika. Di saat hubungan Dika dan Nindi mulai merenggang, kehadiran laki-laki yang menjadi masa lalu Nindi turut memperburuk keadaan. Lantas, bagaimanakah nasib pernikahan Nindi dan Dika ketika masa lalu kedua kembali hadir dan membuat hubungan mereka goyah?

Bab 1 Jatuh Cinta Setiap Hari

[Terima kasih untuk yang semalam. Aku senang sekali kamu mau meluangkan waktu untukku.]

Barisan kata yang tersusun rapi di layar ponsel, Dika baca cepat di dalam hati. Merasa tak perlu membalas, jari-jarinya menghapus pesan dari nomor tanpa nama, yang sebenarnya ia kenal betul siapa orangnya.

Laki-laki itu kemudian menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang dan menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan menerawang. Tak ia pedulikan sama sekali matahari yang terus merangkak naik di luar sana.

Seandinya bisa, hari ini ia hanya ingin menghabiskan waktunya di atas tempat tidur. Tanpa perlu di sibukkan dengan pekerjaan, tekanan, ataupun tuntutan dari orang-orang di sekitarnya. Ia hanya ingin mengistirahatkan raga dan jiwanya yang tengah kelelahan.

"Sayang, kamu sudah bangun?"

Dika terlonjak kaget. Lamunannya buyar karena suara lembut dari wanita yang sekarang tengah berjalan ke arahnya.

Dia Nindi, wanita yang selama empat tahun ini membersamai Dika dalam biduk rumah tangga.

"Kenapa belum mandi? Ini sudah siang, lho," ujarnya lembut.

Aroma lembut lavender memenuhi indra penciuman Dika begitu Nindi mendudukkan diri di sebelah laki-laki itu. Wanita itu bahkan telah tampil cantik dengan make-up tipis dan baju terusan selutut yang seks. Sangat berbanding terbalik dengan Dika yang hanya memakai celana pendek dan masih bau liur.

"Dingin," rengek Dika, menjawab pertanyaan istrinya tadi.

Masih dengan posisi berbaring, tangan Dika bergerak melingkari pinggang istrinya. Kepalanya ia benamkan di perut wanita itu dan ia hirup dalam-dalam aroma tubuh Nindi yang selalu memanjakan indra penciumannya.

"Mau aku siapkan air hangat?" tawar Nindi. Telapak tangannya merapikan rambut tebal Dika yang berantakan karena baru bangun tidur.

Dika menggeleng, menolak tawaran istrinya. "Biarkan aku seperti ini sebentar saja," ucapnya dengan mata terpejam.

"Kamu pasti kelelahan, ya?" tanya Nindi khawatir.

Tadi malam, Dika sampai di rumah hampir jam dua belas, lebih lambat tiga jam dari waktu biasanya, dikarenakan harus lembur. Sudah pasti suaminya ini kelelahan.

"Iya." Dika menjawab seadanya. Ia memang kelelahan, baik fisik maupun batinnya.

"Ya sudah nanti kamu berangkat agak siangan saja. Kak Bimo pasti mengerti kalau kamu kelelahan karena lembur semalam."

"Hm."

Nindi tak lagi bersuara. Wanita itu tahu yang Dika butuhkah saat ini hanyalah ketenangan. Ia memilih mengusap-usap rambut Dika yang selalu menjadi favoritnya.

Sementara di dalam hati, Dika tengah merapalkan kata maaf berkali-kali untuk istrinya. Ia sungguh mencintai Nindi, tapi ia juga tak kusa menghindarkan istrinya dari hal yang mungkin nantinya akan menyakiti wanita itu.

Cukup lama mereka terdiam dan membiarkan waktu berlalu dalam keheningan yang menentramkan. Hingga beberapa menit berlalu, Dika memutuskan beranjak dari posisinya dan duduk dengan punggung bersandar pada kepala ranjang.

"Sudah lebih baik?" Nindi bertanya dengan senyum menghias bibir.

"Belum," jawab Dika datar.

Laki-laki itu menatap mata istrinya dalam. Rambut depan Nindi yang menjuntai ia raih dan diselipkannya ke belakang telinga. Sebuah kecupan manis laki-laki itu hadiahkan di dahi istrinya.

"Kamu cantik," puji Dika tulus. Telapak tanggangnya yang lebar membelai pipi sang istri yang tengah tersipu karena pujiannya. "Aku janji tidak akan menyakitimu," lanjutnya dengan nada sendu yang tak Nindi sadari.

Wajah Nindi memancarkan rona bahagia mendengar ucapan Dika.

"Iya, aku percaya," ujar Nindi. Wanita itu kemudian berdiri di sisi ranjang. "Ayo bangun, Sayang. Kamu harus mandi kalau tidak mau semakin terlambat."

Bukannya langsung berdiri, Dika justru mengulurkan tangannya malas-malasan ke arah Nindi, membuat dengusan halus keluar dari hidung wanita itu.

"Dasar manja," ejek Nindi yang hanya dibalas senyum tanpa dosa suaminya.

Meski begitu, Nindi tetap meraih tangan Dika dan membantu suaminya itu berdiri. Sebenarnya, ia tak pernah keberatan dengan sikap manja laki-laki itu. Nindi justru senang bisa menyaksikan sifat lain Dika yang tak pernah ditunjukkannya pada orang lain.

Sepasang suami istri itu keluar kamar, menuju kamar mandi, dengan Dika yang merangkul mesra bahu Nindi. Kamar mandi di rumah mereka memang hanya ada satu, bersebelahan dengan dapur. Sesekali candaan keluar dari mulut Dika dan ditanggapi Nindi dengan tawa pelannya.

"Sayang!" panggil Dika ketika telah sampai di ambang pintu kamar mandi.

Ruang makan yang juga merangkap sebagai dapur terletak bersebelahan dengan kamar mandi, membuat Nindi yang tengah menyiapkan sarapan dapat mendengar panggilan Dika dengan jelas.

Wanita itu menoleh dengan raut tanya.

"I love you!" Dika meneriakkan kata-katanya dan langsung masuk ke dalam kamar mandi serta menutup pintunya dengan meninggalkan suara debam yang keras.

Warna merah seketika merambati wajah Nindi. Ia terkejut sekaligus malu. Meski sudah empat tahun bersama, ia masih belum terbiasa dengan sikap manis suaminya.

Nindi menunduk salah tingkah. "I love you too," balas Nindi lirih, yang jelas tak mungkin didengar Dika. Ia tak mungkin berteriak seperti Dika dan berakhir menjadi tertawaan tetangga.

Dengan wajah berbinar, Nindi kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat terjeda.

Berlebihankah jika Nindi mengatakan ia jatuh cinta pada Dika setiap hari?

***

Setelah melepas kepergian Dika hingga depan pintu dan memastikan mobil laki-laki itu tak lagi terlihat, Nindi bergegas masuk ke rumah.

Baju terusan seksi yang tadi melekat di tubuh, ia ganti dengan kaos longgar berlengan pendek serta celana kain yang hanya mampu menutupi setengah pahanya.

Jujur saja, Nindi lebih nyaman mengenakan baju longgar dengan bentuk yang sederhana. Jika bukan karena Dika yang selalu menyuruhnya tampil feminin dan seksi, mana mau ia mengenakan semua pakaian yang mencetak bentuk tubuh dengan jelas itu.

Baginya baju-baju seksi itu hanya bentuk baktinya pada Dika. Ia hanya ingin suaminya senang karena kepuasan batinnya terpenuhi. Baju-baju longgarnya bisa ia kenakan ketika sendiri atau saat berhadapan dengan orang lain.

Selesai urusan baju, Nindi mengikat rambutnya tinggi-tinggi. Ini akan memudahkannya dalam beraktivitas.

Pekerjaan rumah wanita itu pun dimulai.

Tidak banyak sebenarnya yang perlu Nindi kerjakan. Ia dan Dika sama-sama menyukai kebersihan dan kerapian.

Baju kotor yang telah menumpuk di dalam keranjang, Nindi masukan ke dalam mesin cuci. Ia kemudian membersihkan sisa sarapan tadi dan mencuci piring sembari menunggu mesin cuci berputar.

Empat tahun mengerjakan pekerjaan rumah tangga seorang diri membuat Nindi terbiasa mengerjakan banyak hal secara bersamaan. Selain bisa menghemat waktu, ia juga bisa bersantai lebih cepat.

Setelah ini ia masih harus menjemur pakaian, menyiram tanaman, membersihkan lantai, dan menyetrika baju. Semua pekerjaan rumahnya harus selesai ketika Dika tak di rumah. Karena saat laki-laki itu pulang, waktunya hanya ada untuk memanjakan dan memperhatikan suaminya itu.

Baru saja Nindi mengangkat baju dari mesin cuci, suara bel rumahnya berbunyi nyaring.

"Siapa yang bertamu sepagi ini?" monolog Nindi heran.

Belum juga Nindi melangkah meninggalkan cuciannya, bel rumahnya kembali berbunyi berkali-kali dengan jarak yang rapat, seolah tamu di sana tak sabar untuk segera dibukakan pintu.

"Iya, tunggu sebentar!" teriak Nindi berharap orang di luar sana mau menunggu.

Dengan tergesa Nindi berjalan ke arah pintu depan.

Ketika pintu depan terbuka, sesosok perempuan yang tak asing bagi Nindi berdiri di depannya dengan penampilan yang berantakan. Di gendongannya ada seorang bayi berusia sekitar lima bulan yang tertidur dengan nyenyak.

Dahi Nindi mengernyit melihat pemandangan itu. Ada apa dengan perempuan di depannya ini?

Bersambung..

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku