Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Siang itu aku sedang istirahat di kamar. Setelah selesai mengerjakan semua pekerjaan rumah rasanya badan ini sangat lelah dan ingin sejenak untuk merebahkan diri di kasur yang tak terlalu empuk namun sangat nyaman untukku itu.
"Punya mantu nggak tau diri, udah numpang malah seenaknya sendiri," ucap ibu mertuaku di luar sana yang sengaja mengeraskan suaranya agar aku dapat mendengarnya.
Seketika jantungku berhenti berdetak. Memang itu bukan kali pertama ibu mertuaku berkata jahat dan menyindirku seperti itu. Sejak aku menikah tiga tahun yang lalu dengan Mas Miko, ibu mertuaku memang sangat membenciku.
Aku hanya bisa ngelus dada tiap kali ibu mertua menyindirku seperti itu.
"Coba kalo dulu Miko mau dengerin aku dan mau dijodohkan dengan Salma, pasti hidupnya akan lebih bahagia. Pasti sekarang sudah punya anak. Nggak mandul kayak istrinya itu," ucap ibu mertuaku yang membuatku sangat sakit hati.
Mengenai apapun aku bisa menahan hinaan ibu mertuaku, tapi tentang anak apalagi sampai mengataiku mandul, aku tak bisa untuk tak menangis. Di dalam kamarku, aku menangis sejadi-jadinya.
Bukannya mengakhiri hinaannya padaku, namun ibu mertuaku masih terus melontarkan kata-kata yang membuatku sangat sakit hati. Meski aku tidak berhadapan langsung dengannya, tapi aku bisa mendengar dan merasakan semua hinaan yang ibu mertuaku tujukan kepadaku.
"Punya istri miskin, nggak bisa diandelin. Bisanya cuma ngabisin uang suaminya saja," ucap ibu mertua yang masih melanjutkan hinaannya padaku.
Aku hanya bisa menangis di kamar mendengar hinaan demi hinaan yang ibu mertuaku lontarkan padaku. Di rumah ini hanya ada Mas Miko yang sangat mengertiku, tapi siang itu Mas Miko sedang bekerja, sehingga tak ada siapapun lagi yang bisa menguatkanku.
"Ada apa sih Bu?" ucap ayah mertuaku yang baru datang entah darimana.
"Itu lo Pak, saya benci banget sama istri Miko. Coba aja dulu dia mau dijodohkan sama si Salma, pasti sekarang kita sudah punya cucu," jawab ibu mertuaku kepada ayah mertua.
"Iya Bu, emang jauh sekali sama si Salma. Selain berpendidikan tinggi dia juga anak orang kaya, jadi lebih selevel sama keluarga kita. Lha yang ini, udah lulusan SMA dari keluarga miskin lagi," balas ayah mertuaku yang membuat tangisanku semakin pecah.
Bukannya menasehati istrinya, ayah mertuaku malah ikut menghinaku. Betapa sangat hancur hatiku saat itu. Tak ada tempatku untuk mengadu.
"Coba Bapak lihat, baru jam sebelas loh ini, dia malah sudah masuk ke kamarnya dan itu nanti sampai sore baru keluar setelah Miko pulang bekerja, bener-bener menantu tak tau diri," lanjut ibu mertuaku yang masih terus mencari kesalahanku.
Mendengar tentang penuturan ibu mertuaku yang mengatakan aku hanya di dalam kamar sampai sore, aku tak terima. Aku segera mengusap air mataku dan memutuskan untuk keluar dari dalam kamar.
Ternyata ayah dan ibu mertuaku sedang duduk di sofa yang tak jauh dari kamarku. Mereka melihatku yang baru keluar dari dalam kamar dengan tatapan sinis.
"Itu dia benalu keluarga kita," celetuk ibu mertua yang ditujukan padaku.
"Bu maaf, bukanya saya ingin menjadi menantu durhaka. Tapi saya hanya ingin mengingatkan Ibu jika sejak pagi saya sudah menyelesaikan pekerjaan rumah, mulai dari memasak, mengepel lantai, mencuci baju bahkan mencuci semua baju Kakak ipar dan suaminya yang seharusnya bukan tugas saya," ucapku dengan sangat sopan.
Ibu dan ayah mertuaku tersentak melihatku yang sudah mulai berani melawan hinaan mereka.
"Kamu berani membantah ya?" balas ibu mertuaku sambil berdiri dengan mata melotot dan suaranya memekakkan telingaku.
"Saya tidak membantah Bu, saya mengatakan yang sebenarnya," balasku yang tetap bergeming, meski sebenarnya aku sangat takut.
"Kamu pikir kamu siapa. Kamu mau tinggal disini gratisan haa? bisa makan tidur seenaknya. Apa yang kamu lakukan itu sebagai bayaran karena kamu bisa tinggal di rumah saya ini," balas ibu mertuaku dengan mata yang masih melotot.
"Saya ikhlas melakukan semua pekerjaan itu Bu, tapi tolong hargai saya selayaknya menantu Ibu," ucapku yang masih terus mengungkapkan isi hatiku yang sudah aku pendam selama tiga tahun ini.
"Apanya yang perlu dihargai, kamu sama sekali tak ada harganya di mata keluarga kami. Semua anggota keluarga kami sarjana, sedangkan kamu hanya lulusan SMA, benar-benar malu-maluin keluarga kita kamu ini," ucap ibu mertuaku yang masih terus-terusan menghinaku.
"Jika disuruh memilih, saya lebih memilih tinggal di kontrakan Bu, meskipun kecil tapi saya dan Mas Miko bisa hidup tenang," balasku yang semakin membuat amarah ibu mertuaku memuncak.
"Jadi kamu merasa tidak tenang tinggal disini, kamu pikir kamu bisa merebut Miko dari kami, jangan harap. Bahkan aku akan berusaha untuk membuat Miko menceraikanmu," ucap ibu mertua yang membuatku kaget bukan kepalang.
Bagaimana bisa seorang ibu menginginkan kehancuran rumah tangga putranya sendiri.
"Bu sadarlah dengan apa yang Ibu katakan, nggak baik mendoakan hal buruk kepada anak Ibu sendiri. Berdoalah yang baik untuk kebahagiaan anak Ibu," ucapku yang terus mencoba menyadarkan ibu mertuaku yang sudah kesetanan.
"Ngak sudi aku mendoakan Miko bahagia jika dia masih bersama kamu," balas ibu mertua yang membuatku hanya bisa mengelus dada.
Aku memutuskan untuk mengakhiri perdebatanku dengan ibu mertuaku, karena jika aku terus meladeninya, maka urusannya akan bertambah panjang. Ayah mertua yang melihat perdebatanku dan ibu hanya diam tanpa ikut bergabung, tapi juga tak berusaha melerai kami.
Akhirnya aku menuju ke dapur untuk membuatkan kopi hitam untuk ayah mertua.
Sudah menjadi kebiasaanku, setelah jam sebelas siang aku harus membuatkan kopi hitam untuk ayah mertuaku. Meski ia juga membenciku, tapi aku tak pernah menaruh dendam padanya.
"Ini Pak kopinya, ucapku dengan sopan saat meletakkan secangkir kopi hitam di meja untuk ayah mertuaku.
Ayah mertuaku tak menggubrisku sama sekali, ia hanya sibuk membaca koran yang kebalik itu. Jangankan mengucapkan terimakasih, membalasnya saja tidak. Perlakuan itulah yang selalu aku terima, bahkan sudah seperti makanan sehari-hariku.
"Ibu mau dibuatkan minum apa?" tanyaku dengan lembut.
"Nggak sudah sok baik kamu, apa kamu mau meracuniku?" balas ibu mertuaku yang membuat aku sangat syok. Bagaimana bisa ibu mertuaku berpikir seburuk itu dengan menantunya sendiri.
Akhirnya aku kembali masuk ke kamar. Hari itu aku bisa istirahat dan tidur siang karena Lala anak Mbak Dina sedang berada di rumah orangtua Mas Dani yaitu suami Mbak Dina. Biasanya setiap hari aku yang selalu menjaga anak Mbak Dina.
Di dalam kamar aku memutar musik yang bisa memenangkan jiwaku yang sangat terguncang ini. Ragaku memang terlihat baik-baik saja, tapi jiwaku rasanya sudah sakit komplikasi akut.