Kisah Penyesalan Masa Lalu Yang Menusuk

Kisah Penyesalan Masa Lalu Yang Menusuk

Gavin

5.0
Komentar
Penayangan
10
Bab

Selama sepuluh tahun pernikahan, aku menahan siksaan batin karena suamiku, Pradipa, tak pernah bisa melupakan cinta pertamanya, Riana. Aku mencintainya secara buta, namun yang kudapat hanyalah penghinaan dan pengkhianatan. Puncaknya, saat Riana mencoba bunuh diri, Pradipa dengan kejam memaksaku yang menderita anemia untuk mendonorkan darah demi menyelamatkannya. Saat itulah hatiku benar-benar mati. Namun, takdir memberiku kesempatan kedua. Di ambang kematian, aku melihat kehidupan masa laluku yang lain-di mana akulah yang menjadi sosok kejam seperti Pradipa. Aku menyakiti dan menghancurkan pria yang tulus mencintaiku, Adam, hingga ia memilih mengakhiri hidupnya. Penyesalan yang menusuk jiwa itu membuatku terbangun. Kini, aku terlahir kembali. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Aku akan melepaskan Pradipa, membiarkannya mengejar kebahagiaannya sendiri, dan aku akan mencari kedamaian untuk diriku.

Bab 1

Selama sepuluh tahun pernikahan, aku menahan siksaan batin karena suamiku, Pradipa, tak pernah bisa melupakan cinta pertamanya, Riana.

Aku mencintainya secara buta, namun yang kudapat hanyalah penghinaan dan pengkhianatan. Puncaknya, saat Riana mencoba bunuh diri, Pradipa dengan kejam memaksaku yang menderita anemia untuk mendonorkan darah demi menyelamatkannya.

Saat itulah hatiku benar-benar mati.

Namun, takdir memberiku kesempatan kedua. Di ambang kematian, aku melihat kehidupan masa laluku yang lain-di mana akulah yang menjadi sosok kejam seperti Pradipa. Aku menyakiti dan menghancurkan pria yang tulus mencintaiku, Adam, hingga ia memilih mengakhiri hidupnya.

Penyesalan yang menusuk jiwa itu membuatku terbangun.

Kini, aku terlahir kembali. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Aku akan melepaskan Pradipa, membiarkannya mengejar kebahagiaannya sendiri, dan aku akan mencari kedamaian untuk diriku.

Bab 1

Alvina POV:

Jika aku tahu bagaimana ini akan berakhir, aku tidak akan pernah membiarkan Pradipa Prakasa masuk ke dalam hidupku.

"Apa kamu akhirnya akan menyerah?" Suara Pradipa menusuk telingaku, diselimuti nada ejekan yang sudah terlalu akrab. Wajahnya yang tampan terlihat begitu dingin, tanpa sedikit pun emosi.

Aku menatapnya. Dia berdiri di hadapanku seperti pahlawan yang muncul dari komik, seragam militernya yang sempurna membingkai sosok tegapnya. Medali di dadanya berkilauan, seolah mengejek setiap napas yang kuambil. Dia adalah gambaran sempurna seorang pria yang dihormati, seorang penyelamat bagi banyak orang. Namun bagiku, dia adalah algojo.

Dulu, aku akan tersipu melihatnya dalam seragam itu. Kini, setiap benang kainnya terasa seperti belenggu yang mengikatku pada penderitaan. Mataku terasa perih, bukan karena air mata, melainkan karena kesadaran yang pahit. Kenangan pahit muncul, satu per satu, seperti pecahan kaca di hatiku. Aku tahu, kali ini, aku tidak akan membiarkan diriku hancur lagi.

Dia bertanya lagi, "Apakah kamu sudah gila? Atau pura-pura gila?"

Aku hanya tersenyum tipis. Mungkin memang benar. Mungkin aku memang gila. Gila karena pernah mencintainya begitu dalam. Gila karena mengira aku bisa mengubahnya. Tapi kali ini, kegilaanku adalah kunci kebebasanku.

"Aku sudah tidak mencintaimu," kataku, suaraku sendiri terdengar asing di telingaku. Aku tidak tahu dari mana datangnya kekuatan itu, tapi setiap kata yang keluar terasa seperti membebaskan rantai yang mengikatku.

Wajahnya menegang. Keningnya berkerut, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Apa maksudmu?"

"Dia, Riana, adalah wanita yang selalu kamu inginkan, kan?" Aku melanjutkan, menatap tepat ke matanya. "Wanita yang selalu kamu kejar, bahkan saat kamu bersamaku."

Mata Pradipa menyipit. Aura permusuhan langsung memancar darinya. "Jangan coba-coba melibatkan Riana dalam masalah ini."

"Melibatkan?" Aku tertawa getir. "Dia selalu ada di antara kita, Pradipa. Bahkan saat kita mengucapkan janji suci."

"Jangan berani-berani melakukan hal kotor apa pun pada Riana," ancamnya, suaranya rendah dan penuh bahaya. "Aku peringatkan kamu."

Aku mengangkat tanganku, menghentikan ucapannya. "Tidak perlu mengancamku. Aku tidak akan melakukan apa pun padanya. Atau padamu." Aku menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan semua keberanian yang tersisa. "Aku menyerah, Pradipa."

Dia menatapku dengan tatapan tajam, seolah mencoba membaca pikiranku. Ada campuran kejutan dan ketidakpercayaan di matanya. "Apa yang ingin kamu lakukan?"

"Aku hanya ingin mengakhiri semua ini," jawabku lembut, tapi dengan tekad baja. "Aku akan pergi. Bebaskan aku, dan kamu bisa bersama Riana, tanpa ada aku di antara kalian."

"Aku tidak punya waktu untuk omong kosongmu," katanya dingin, menolak untuk percaya. "Tandatangani surat-surat ini secepatnya. Jangan buang waktuku." Pradipa melempar setumpuk dokumen ke atas meja di hadapanku, lalu berbalik dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi.

Aku hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, hatiku terasa seperti dicabik-cabik. Dulu, aku akan mengejarnya, memohon padanya untuk tetap tinggal. Tapi tidak lagi. Rasa sakit ini, aku sudah terlalu akrab dengannya. Ini adalah rasa sakit yang sama setiap kali dia memilih Riana, setiap kali dia melupakan janjinya padaku.

Aku ingat bagaimana aku dulu mencintainya. Cinta yang buta, cinta yang bodoh. Aku jatuh padanya seperti kupu-kupu yang tertarik pada api, bahkan setelah dia menyelamatkan hidupku dari sebuah kecelakaan. Aku mengira kebaikan itu adalah cinta, mengira tatapan khawatirnya adalah kepedulian seorang kekasih. Bagaimana aku salah.

Orang tuanya, begitu menyukaiku, telah mencoba menjodohkan kami setelah kejadian itu. Mereka melihat kesetiaan dan ketulusanku, sesuatu yang tidak pernah dilihat Pradipa. Aku setuju, berharap bahwa kedekatan akan menumbuhkan cinta, bahwa aku bisa menjadi wanita yang dia inginkan.

Namun, setelah kami menikah, kenyataan menghantamku dengan keras. Aku hanyalah bayangan, pengganti, pelampiasan. Dia tidak pernah melupakan Riana. Ketika Riana mencoba bunuh diri karena patah hati... Pradipa langsung menghilang dari hidupku, hanya untuk kembali setahun kemudian, lebih dingin dan acuh tak acuh daripada sebelumnya.

Sepuluh tahun. Sepuluh tahun aku hidup dalam bayang-bayang cintanya yang tak pernah kumiliki. Sepuluh tahun aku mencoba mempertahankan pernikahan yang sudah mati. Sepuluh tahun aku menjadi bahan ejekan orang, sementara dia sibuk mengejar hantu masa lalunya.

Aku ingat suatu malam, dia mabuk berat. Aku merawatnya, menyeka keringat di dahinya, berharap dia akan melihatku. Sebaliknya, dia bergumam, "Seharusnya aku tidak pernah menikahimu. Ini adalah kesalahan terbesar dalam hidupku."

Kata-katanya menembus hatiku lebih dalam dari pisau mana pun. Dan kematiannya membuatku benar-benar hancur. Bukan karena aku tidak mencintainya, tapi karena aku menyadari betapa aku telah menyiksa dirinya dengan cintaku. Aku adalah beban, aku adalah kesalahan, aku adalah sumber penderitaannya.

Tapi takdir memberiku kesempatan kedua. Kesempatan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kesempatan untuk tidak membiarkannya mati lagi karenaku. Kali ini, aku akan melepaskannya. Ini adalah caraku membayar nyawanya yang pernah dia selamatkan.

Aku akan membiarkannya pergi, kembali ke kehidupannya. Aku akan membiarkan Riana mendapatkan cintanya. Dan aku, aku akan mencari kedamaianku sendiri. Aku tidak akan pernah mengganggu hidupnya lagi. Ini adalah janjiku.

Aku membungkuk, mengambil dokumen-dokumen itu. Pena di tanganku terasa dingin. Aku menuliskan nama "Riana"-wanita yang selalu dia cintai-di formulir yang seharusnya kuisi. Sebuah senyuman pahit tersungging di bibirku. Ini adalah keadilan yang kubisa berikan padanya.

Dengan langkah mantap, aku berjalan menuju pintu. Aku tahu, ini adalah awal dari segalanya, atau akhir dari semua yang ada.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Gavin

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku