/0/23841/coverbig.jpg?v=f504fd44d5add382fb179085698f1b10&imageMogr2/format/webp)
Aku terhenyak, menatap Marsel dengan tatapan tajam penuh kemarahan. Baru setahun pernikahan kami, dan dia, suamiku, dengan santainya memintaku untuk menjual satu-satunya rumah peninggalan orang tuaku yang sudah meninggal. Rumah itu adalah kenangan terakhir yang tersisa darinya, tempat aku tumbuh dan merasakan kasih sayang mereka. Bagaimana mungkin dia memintaku untuk melepaskan itu? "Hilda," suaranya terdengar tenang, seolah tidak ada hal yang terlalu penting dari pembicaraan ini. "Kita butuh uang untuk investasi. Rumah ini hanya membebani." Aku menggigit bibir, berusaha menahan emosi yang berkecamuk dalam dada. "Tidak! Ini bukan tentang uang, Marsel! Ini tentang kenangan, tentang masa lalu yang tak bisa aku tinggalkan begitu saja hanya karena alasanmu yang... dangkal!" Aku melangkah mundur, menatapnya dengan mata yang mulai memerah. Marsel memandangku dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Di satu sisi, aku melihat kekuatan, tapi juga ada ketidaksabaran yang kian terlihat. "Hilda, aku hanya berpikir praktis. Kita harus berpikir ke depan." Aku tertawa pahit. "Ke depan? Apa kau lupa? Rumah ini adalah warisan yang tak ternilai bagiku! Dan kau ingin menjualnya begitu saja?" Dia menarik napas panjang, seakan mencoba menenangkan diri. "Aku tidak ingin bertengkar, Hilda. Tapi kita perlu uang untuk merencanakan masa depan kita. Apa pun itu, rumah ini hanya menghambat langkah kita." Aku merasa dunia ini begitu berat, seolah seluruh hidupku sedang terancam runtuh hanya karena keputusan yang diambil oleh orang yang aku cintai. Tidak ada jalan tengah dalam hal ini. Bagaimana bisa Marsel, yang dulu begitu aku percayai, berubah menjadi seseorang yang begitu dingin dan pragmatis? Aku tidak tahu lagi apa yang sedang terjadi antara kami, tapi satu hal yang pasti, aku tidak akan pernah menyerah pada perasaan ini.
Aku menatap Marsel dengan sorot mata tak percaya. Detik itu juga, rasanya jantungku seperti diremas dari dalam. Kata-katanya masih menggema di kepalaku, membentur dinding-dinding kesabaran yang sejak tadi sudah retak.
"Jual saja rumah itu, Hil. Kita butuh dana tambahan untuk ekspansi toko. Rumah itu cuma jadi beban."
Nada bicaranya santai. Terlalu santai untuk sesuatu yang bagi hidupku berarti segalanya.
"Apa kau sadar apa yang baru saja kau ucapkan?" tanyaku dengan suara pelan, tapi jelas. Tangan gemetar, kuku-kuku mencengkeram kuat ujung meja makan, seolah itu satu-satunya penyangga untuk tidak roboh saat itu juga.
Marsel tidak langsung menjawab. Dia hanya menatapku dengan pandangan yang... kosong. Bukan dingin, bukan pula tajam. Kosong. Seakan-akan aku ini hanya sekadar variabel dalam rumus perhitungan logisnya.
Baru satu tahun pernikahan kami berjalan. Baru satu tahun sejak aku menyerahkan semua yang kupunya padanya-waktu, tenaga, mimpi, dan harapan. Dan sekarang? Dia ingin aku menjual rumah yang bukan hanya sekadar bangunan, tapi satu-satunya peninggalan dari orang tuaku yang telah tiada.
Rumah itu adalah tempat aku dibesarkan. Tempat aku merangkai masa kecil yang penuh luka tapi juga cinta. Rumah dengan dinding-dinding kusam dan taman kecil yang selalu kurawat setiap akhir pekan. Rumah itu... adalah satu-satunya tempat di dunia yang masih terasa "rumah".
"Rumah itu bukan beban, Marsel," kataku dengan suara gemetar. "Rumah itu satu-satunya yang tersisa dari Mama dan Papa. Kau tahu itu."
Marsel menghela napas panjang. Ia menunduk sebentar, lalu menatapku kembali-kali ini dengan ketidaksabaran yang mulai merayap dalam nada suaranya.
"Hilda, tolong jangan terlalu sentimentil. Aku paham itu warisan dari orang tuamu, tapi kita harus realistis. Kita butuh modal untuk cabang baru. Kita butuh kemajuan."
Aku menatapnya lama. Mataku mulai panas, tapi aku menolak menangis di hadapannya. Bukan kali ini. Bukan soal ini.
"Aku sudah bantu kamu dari awal," suaraku pecah, tapi masih jelas. "Aku jual perhiasan peninggalan Mama, aku berikan tabunganku dari sebelum menikah. Aku bahkan menahan diri dari banyak hal yang dulu penting buatku-hanya demi usahamu. Tapi rumah itu... jangan minta itu juga."
Marsel berdiri, berjalan ke arah jendela. Tangannya menyelip ke saku celana, menatap keluar seperti sedang menimbang sesuatu yang berat. Tapi aku tahu dia tidak berpikir untuk mengerti perasaanku-dia hanya sedang mencari cara agar aku menurut.
"Hilda," katanya pelan. "Kita ini membangun masa depan. Jangan biarkan masa lalu mengikatmu sampai kamu kehilangan semuanya."
Aku berdiri, kursiku bergeser kasar di lantai keramik.
"Kalau masa lalu itu satu-satunya yang kumiliki, apa menurutmu mudah untuk melepasnya? Kau bilang tentang masa depan. Tapi kenapa rasanya seperti aku satu-satunya yang terus kehilangan sesuatu setiap kali kita bicara soal 'masa depan' itu?"
Marsel memutar tubuhnya menghadapku. "Jangan drama."
"Dengar baik-baik," potongku cepat, mataku menatapnya penuh luka. "Aku tidak akan menjual rumah itu. Titik. Bahkan kalau aku harus menentangmu untuk pertama kalinya sejak kita menikah."
Hening. Beberapa detik terasa seperti selamanya. Marsel menatapku dengan wajah yang tak bisa kubaca. Ada kekecewaan, mungkin. Atau kemarahan yang ditahan.
Akhirnya, dia bicara dengan suara dingin, tajam, seperti pisau yang perlahan menyayat.
"Kalau begitu, mungkin kita harus mulai menimbang kembali arah pernikahan ini, Hil."
Aku terdiam. Tubuhku kaku, seolah seluruh udara dalam ruangan lenyap begitu saja. Kata-katanya mengguncangku lebih dari yang pernah kulalui setahun terakhir.
Kapan terakhir kali aku melihat Marsel dan merasa dicintai? Kapan terakhir kali kami bicara tanpa nada bisnis atau rencana ekspansi atau target omzet? Sejak kapan dia berhenti melihatku sebagai istrinya, dan mulai melihatku sebagai aset?
"Arah pernikahan?" bisikku, nyaris tak terdengar. "Ini bukan tentang arah. Ini tentang siapa yang masih peduli, dan siapa yang hanya ingin menang."
Aku melangkah pergi meninggalkannya di ruang makan, menuju kamar, lalu menutup pintu dengan perlahan. Di balik pintu, aku bersandar, menahan air mata yang akhirnya jatuh juga.
Rumah itu bukan hanya sekadar bangunan tua dengan cat yang mulai mengelupas. Itu adalah kenanganku. Peluk Mama di pagi hari. Suara Papa mengeluh tentang teh yang kurang manis. Bau kayu tua dari lantai. Dan senyuman terakhir mereka sebelum dunia merenggut semuanya dariku.
Dan sekarang, suamiku... pria yang bersumpah akan menjagaku, malah menjadi orang pertama yang memintaku menghapus sisa kenangan itu dari hidupku.
Aku tidak tahu akan seperti apa esok. Tapi malam ini, untuk pertama kalinya sejak aku menikah, aku merasa lebih sendirian daripada saat aku ditinggal yatim piatu.
Dan untuk pertama kalinya... aku mulai mempertanyakan, apakah cinta memang cukup untuk menyelamatkan semuanya?
Bab 1 Rumah Terakhir
11/04/2025
Bab 2 aku juga tidak ingin tahu
11/04/2025
Bab 3 Hilda akhirnya menemukan
11/04/2025
Bab 4 Aku tak mengenali mereka
11/04/2025
Bab 5 berkas-berkas utang Marsel
11/04/2025
Bab 6 Pengadilan mungkin masih jauh
11/04/2025
Bab 7 sesuatu mulai menyala
11/04/2025
Bab 8 seakan berubah menjadi siluet
11/04/2025
Bab 9 Warisan Yang Dikubur
11/04/2025
Bab 10 memutar ulang cuplikan
11/04/2025
Bab 11 kenyataannya justru sebaliknya
11/04/2025
Bab 12 membayangi pikirannya
11/04/2025
Bab 13 memeluknya dalam kecemasan
11/04/2025
Bab 14 Julian muncul
11/04/2025
Bab 15 kenangan yang mulai terpecah
11/04/2025
Bab 16 mereka temukan tidak hanya mengejutkan
11/04/2025
Bab 17 memahami
11/04/2025
Bab 18 mengingatkan
11/04/2025
Bab 19 semakin asing
11/04/2025
Bab 20 Dia merasa seperti boneka
11/04/2025
Bab 21 pelindungnya
11/04/2025
Bab 22 ketegasan
11/04/2025
Bab 23 Ketika Semua Berubah
11/04/2025
Bab 24 pernikahan
11/04/2025
Bab 25 Dia ingin sekali mempercayai
11/04/2025
Bab 26 apakah itu masih ada
11/04/2025
Bab 27 semakin tak tertahankan
11/04/2025
Bab 28 berbicara panjang lebar
11/04/2025
Bab 29 harapannya
11/04/2025
Bab 30 kerisauan
11/04/2025
Buku lain oleh Muhammad Radea
Selebihnya