Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Alana berjalan keluar dari ruang fitting gaun pengantinnya menuju ruang tunggu yang ada cermin besar setinggi tubuhnya. Wajahnya ketus, memerah tapi bukan karena haru dan bahagia membayangkan dirinya yang akan segera menuju pelaminan nan sakral itu. Melainkan karena amarah yang sudah dia pendam sekian lama dan sekarang tak bisa ditahannya lagi.
Darahnya seperti naik ke ubun-ubun melihat foto yang baru saja dikirim ke ponselnya dari nomor anonim. Tatapan Alana tajam melihat ke arah sosok pria tinggi di dalam foto. Pria yang notabene harusnya datang bersamanya ke butik untuk mempersiapkan perlengkapan pernikahan mereka, malah dilihatnya sedang memeluk mesra pinggang seorang wanita yang sayangnya wajahnya tak bisa Alana lihat.
"Bisa-bisanya dia menipuku! Beraninya dia selingkuh saat hari pernikahan kami hanya tinggal menghitung hari saja! Harusnya aku memang nggak pernah ngikutin mau Mama buat nikah sama dia!”
Bersamaan dengan itu ponsel Alana berdering. Gambar yang tadi membuatnya marah besar sekarang digantikan oleh tulisan ‘Damar Atmajaya’. Tunangannya itu baru menelepon setelah Alana menghubunginya lebih dari sepuluh kali sebelum tiba di butik. Bibirnya menegang. Pandangannya seperti anak panah yang siap lepas landas ke titik target. Tak sabar ingin memberikan rasa sakit yang tak akan dilupakan Damar karena telah mempermainkannya.
“Terserahlah apa alasannya, aku nggak mau tahu! Kalau emang nggak niat datang, ya udah! Mungkin lebih baik kalau kita juga nggak usah jadi nikah!” bentak Alana lantas mematikan ponselnya sebelum Damar sempat bicara.
Tangannya masih mencengkeram ponsel itu begitu kuat. Tetapi hal lain menarik perhatiannya. Matanya membulat lebar saat tak diduganya ada seorang pria yang sedang mengamatinya dari sofa tepat di seberangnya berdiri saat ini.
“AARRGHHH!”
Pekikan itu sontak membuat dua orang staf yang tadi membantunya berpakaian segera berlari terbirit-birit menghampiri Alana. Mengabaikan sikap ketus Alana pada mereka tadi, dua orang itu memberanikan diri menanyai Alana yang masih berdiri tegang di dekat cermin besar itu.
“Nona? Ada apa? Apa yang-“
“KENAPA ADA DIA DI SINI?”
Pertanyaan Alana itu terdengar seperti bentakan bagi kedua staf tadi. Sama halnya dengan reaksi Alana, kedua staf itu pun terlihat kebingungan dengan kedua mata mereka yang saling memandang, mencari pembenaran.
“USIR DIA!”
Berbeda dengan Alana yang terlihat sangat marah, bahkan urat-urat nadi di lehernya tampak jelas sekarang, sementara pria berjas navy yang ada di hadapannya bangun dari duduknya santai. Seolah ingin meledek sikap Alana yang baginya cenderung berlebihan, pria itu menjawab ponselnya dan hanya menatap Alana datar.
“Ya, ini aku. Hm… sepertinya kita bicarakan nanti, ada sedikit gangguan di sini.”
‘Gangguan?’ batin Alana dengan jari-jarinya yang kini terkepal semakin kuat menahan amarah.
“Oke, bye.”
Pria itu mematikan ponselnya dan dengan langkah penuh percaya diri berjalan menghampiri Alana. Raut wajah pria itu sama sekali tak berubah. Tenang, tak menunjukkan reaksi apapun.
“Bagi wanita yang akan segera menikah, marah-marah itu nggak bagus. Ck! Apa karena sikapmu yang minus ini makanya kamu datang sendirian ke tempat ini?”
Wajah Alana semakin merah dipermalukan oleh orang asing di hadapannya itu. Saking marahnya, Alana bahkan tak bisa mengucapkan sepatah kata pun lagi. Kerongkongannya seakan tercekat dan suaranya mendadak hilang.
“Saya permisi.”
Belum sempat Alana berkata apapun, pria itu sudah melengos pergi. Ini sangat memalukan!
“Apa-apaan dia!” gerutu Alana geram sekali.