Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Pria Yang Disimpan

Pria Yang Disimpan

See Tea

5.0
Komentar
1.7K
Penayangan
10
Bab

Pernikahan Nadia dan Robin ternyata tidak seindah saat berpacaran. Robin memiliki kelemahan yang juga adalah penyakit, yang membuat Nadia menderita. Ditambah lagi, tidak ada yang tahu tentang sakitnya si suami. Itu membuat orang-orang berprasangka terhadap Nadia dan menyalahkan wanita itu untuk banyak hal, termasuk sang mertua. . Pernikahan Riska dan Alvin tidak ada yang salah. Hanya saja, sebagai seorang kapten kapal siar, membuat Riska selalu ditinggal sendirian. Riska tidak benar-benar sendirian, dia tinggal bersama ibu mertua yang sering kali mengadukan ini dan itu ke Alvin. Itu membuat Riska tersiksa. . Arfan adalah seorang yang tidak mudah jatuh cinta. Dia pernah dikhianati cinta dan bertekad tidak akan terjebak dengan asmara.Tapi, seorang wanita datang di kehidupannya, menumbuhkan kembali cinta yang lama dikubur. . Dua wanita menyimpan seorang pria di hati masing-masing dan seorang pria yang tidak yakin dengan apa yang dirasakannya. Takdir apakah yang akan menemani ketiganya.

Bab 1 1. Mama Mertua Datang

Nadia tiduran telungkup dengan salah satu kaki, sengaja menjuntai ke bawah, dan mengayun malas. Kedua matanya memang terpejam, tetapi pikirannya melayang ke mana-mana. Hatinya sedang tidak baik-baik saja.

"Nad...! Nad, bangun, Nad!" Robin membangunkan istrinya dengan guncangan kasar di punggung.

Nadia yang kesal langsung angkat kepala dan menoleh kasar ke suaminya, Robin.

"Apa sih, Mas? Ganggu orang tenang aja," gerutu Nadia yang tak urung bangun juga dan duduk.

"Itu, Mama datang," jawab Robin dengan suara agak panik.

"Mamanya siapa? Kamu apa aku?"

"Mamaku."

Nadia langsung terlonjak bangun. Kedua matanya yang tadinya sayu, juga langsung terbuka. Nadia melompat bangun dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi tanpa menutup pintunya. Robin sendiri langsung ke lemari pakaian, mengambil salah satu gaun harian untuk dikenakan Nadia.

"Tumben mamamu datang pagi-pagi, sih?" tanya Nadia di tengah-tengah kesibukannya menyikat gigi.

"Aku juga gak tau. Untung tadi Mbok Min langsung bilang, waktu mobil Mama masuk, jadi aku langsung ke kamar dulu buat bangunin kamu."

Nadia sudah menyikat gigi dan mencuci wajahnya. Dia melepaskan pakaiannya begitu saja, menampilkan kemolekan tubuhnya tanpa rasa malu di hadapan Robin yang sudah menjadi suaminya selama sepuluh bulan.

Robin menelan air liurnya saat mengulurkan gaun santai untuk si istri. Hasrat liarnya mulai tergoda dan bangun. Tapi, Robin menahan diri untuk itu.

Setelah Nadia mengenakan bedak dan perona bibir, pasangan suami istri itu keluar kamar, dengan bergandengan tangan. Keduanya langsung ke ruang makan, yang disambut kehadiran Mama Anita, yang sudah duduk di salah satu kursi makan.

"Mama kira kamu sudah berangkat kerja lho, Rob. Untung belum," ucap Mama Anita yang kemudian menyambut pelukan dan ciuman hangat di pipi dari putra dan menantunya.

"Nadia duduk sini, Sayang." Mama Anita menepuk kursi di sebelah kirinya. "Nih, Mama bawain bubur ikan teripang dan jus seledri campur bayam, buat kamu."

Nadia yang melihat suguhan di depannya, menjadi mual. Dia tidak suka jus sayuran dan dia juga tidak suka bubur, apalagi ada ikan teripangnya. Itu membuatnya ingin muntah.

"Dimakan semuanya sampai habis. Jusnya juga diminum sampai habis." Meski diucapkan dengan lembut dan dengan senyuman, tapi kalimat yang keluar adalah perintah Anita untuk menantunya.

"Aku makan nanti aja ya, Ma," elak Nadia.

"Jangan nanti-nanti. Ini buburnya mumpung masih hangat. Dimakan sekarang, ya."

"Nadia gak biasa sarapan, Ma." Robin yang duduk di sebelah nadia, mencoba membantu istrinya yang gelisah.

"Diem kamu, Rob. Ini buat kebaikan Nadia. Biar rahimnya sehat dan hangat. Jadi telur yang masuk dari kamu, bisa langsung terbuahi di dalam."

"Tapi kan Nadianya gak biasa sarapan, Ma. Mama juga biasanya ngantar beginian sore atau malam. Kok, tumben pagi?"

Mama Anita tidak langsung menjawab. Kepalanya sedikit dimiringkan dan kedua bola matanya bergulir ke sudut mata, menatap si menantu yang masih terlihat enggan memakan buburnya atau meminum jusnya.

"Karena Mama curiga, kalau Nadia gak makan buburnya atau semua makanan yang udah Mama kirim ke sini."

Nadia menunduk, menggigit bibir atasnya dengan perasaan tak menentu.

"Nadia makan kok, Ma," ujar Robin yang masih melindungi istrinya. Pada kenyataannya memang Nadia tidak mau memakan atau meminum apa-apa yang dikirimkan ibunya. Nadia punya alasan untuk itu.

"Kalau makan kok gak hamil-hamil? Perempuan-perempuan lain sudah pada hamil setelah makan bubur ini dan minum jus ini. Bahkan satu hari setelah menikah juga, langsung hamil. Ini malah sudah sebelas bulan, gak hamil juga."

"Sepuluh bulan, Ma," ralat Robin.

"Halah sama aja." Mama Anita mengibaskan tangan. "Ayo, Nad, dimakan buburnya. Keburu dingin."

"Aku udah makan roti sama telur, Ma," dusta Nadia. "Aku makan nanti siang, ya."

"Udahlah, makan sekarang. Banyak ngelaknya kamu ini." Mama Anita sudah tidak sabar dengan Nadia yang dianggapnya lambat.

Tidak punya pilihan. Nadia terjepit. Dengan tangan lemas Nadia memegang sendoknya, mulai mengaduk buburnya yang memiliki kuah berwarna abu-abu. Aroma amis, semakin menguar, dan perut Nadia semakin bergejolak.

Di bawah tatapan mata ibu mertuanya, Nadia menyuap sesendok bubur ikan teripang. Begitu masuk ke dalam bibir mungilnya, seketika itu juga Nadia memuntahkannya.

"Lho, kok dimuntahin?" tanya Mama Anita dengan mata mendelik lebar.

Bukannya menjawab, Nadia justru keluar dari kursinya, dan tergopoh-gopoh meninggalkan ruang makan.

"Lihat, itu istrimu! Bisa-bisanya dia muntahin makanan yang Mama bawa!" pekik kesal Mama Anita.

"Kan tadi aku sudah bilang kalau dia gak biasa sarapan. Mama pake maksa segala," protes Robin yang bersiap berdiri dan akan menyusul Nadia, yang dia yakini lari ke kamar.

"Mau ke mana kamu? Duduk!" bentak Mama Anita dengan wajah garang.

Dengan patuh, Robin duduk. Pun begitu, arah matanya masih tertuju pada kepergian Nadia.

"Jadi, selama ini istrimu itu gak makan makanan yang Mama kirim? Iya?" tanya Mama Anita galak.

Robin menghela napas lelah. "Lagian kenapa Mama kirim makanan yang gak jelas gini sih, Ma?"

"Tadi kan Mama sudah bilang kalau itu untuk kebaikan rahimnya. Memangnya buat apa lagi?"

"Tapi makanan yang Mama bawa, aneh semua rasanya. Aku aja mau muntah, apalagi Nadia."

"Ya, ditahan dong. Itu semua kan makanan herbal. Makanan kesehatan."

Robin menarik napas panjang. Ibunya sudah ngotot dan itu tidak bisa didebat.

"Kamu ini memangnya gak khawatir kalau istrimu gak hamil-hamil?" tanya Mama Anita.

"Apa yang dikhawatirkan sih, Ma?" tanya Robin malas.

"Khawatir, dong. Orang lain yang setelah nikah, langsung hamil. Ini udah mau setahun, belum juga hamil. Kalian udah periksa ke dokter?"

"Tidak ada yang salah dengan aku dan Nadia, Ma."

"Kalau gak salah kok gak hamil-hamil?"

"Ya, belum dikasih aja sama Tuhan. Dan lagi, buat apa hamil cepat-cepat, Ma? Udahlah, biarin kami jalani rumah tangga ini dengan tenang. Lagian, aku sama Nadia masih ingin pacaran dulu."

"Apa?!" Mama Anita mendelik menatap putra tunggalnya dengan kesal. Sedari tadi, Robin selalu bersikap melindungi Nadia, padahal yang dia lakukan sebagai ibu adalah untuk kebaikan.

"Kurang puas ya, tiga tahun lebih kalian pacaran? Sampai-sampai sudah menikah aja, masih mau pacaran segala. Yang bener sajalah kamu ini!

Di mana-mana, orang menikah itu tujuan utamanya adalah memiliki anak! Memiliki penerus! Apalagi kamu adalah anak laki satu-satunya, penerus kejayaan papamu. Kalau kamu sampai gak punya anak juga, apa kata orang nanti ke kita?

Kalau bukan karena istrimu itu yang mandul, ya bisa aja kamu yang loyo! Dan Mama gak mau rumor kedua menimpa dirimu. Bikin malu itu namanya!"

Mama Anita berdiri dengan kasar. Ditatapnya Robin yang diam saja, tidak memberikan reaksi apa-apa.

"Dari awal kamu kenalkan Nadia sebagai calonmu, Mama sudah merasakan aura negatif. Aura kesialan. Aura ketidakberuntungan. Kamunya aja yang ngotot tetap nikahin dia.

Kalau sampai akhir bulan ini ,istrimu itu gak ada tanda-tanda hamil, sebaiknya kamu segera pertimbangkan cari istri kedua atau ceraikan saja dia dan menikah lagi dengan wanita yang memiliki rahim kuat."

Anita meluncurkan ultimatumnya tanpa perasaan, sebelum kemudian berpamitan pulang, mengabaikan sang putra yang diam termangu. Di sudut lain rumah, di tempat yang tersembunyi, Nadia mendengarkan sisa percakapan dengan tangan terkepal kuat dan kemudian berlalu kembali ke kamar.

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku