Api Dendam di Masa Lalu

Api Dendam di Masa Lalu

Gavin

5.0
Komentar
Penayangan
20
Bab

Aku ditinggalkan untuk mati di dalam mobil yang terbakar oleh suamiku sendiri. Dia lebih memilih menyelamatkan selingkuhannya, junior kerjaku. Saat aku membuka mata lagi, aku kembali ke masa lalu, dengan semua ingatan tentang pengkhianatan mereka. Di kehidupan sebelumnya, aku terperangkap di kursi penumpang, melihat Arifin, suamiku, memeluk Liana dengan senyum puas saat mobil kami meledak. Ini bukan kecelakaan. Ini adalah pembunuhan berencana yang kejam demi menguasai harta warisanku. Rasa sakit karena dikhianati jauh lebih membakar daripada api yang melahap tubuhku. Aku mati dengan hati hancur dan penuh dendam. Aku tidak mengerti mengapa takdir memberiku kesempatan kedua. Saat aku membuka mata, aku kembali ke masa kuliah, jauh sebelum tragedi itu terjadi. Arifin berdiri di hadapanku, dengan senyum polos yang sama seperti saat pertama kali kami bertemu. Tapi kali ini, aku melihat kebusukan di baliknya. Aku akan membuat mereka membayar semua penderitaanku.

Bab 1

Aku ditinggalkan untuk mati di dalam mobil yang terbakar oleh suamiku sendiri. Dia lebih memilih menyelamatkan selingkuhannya, junior kerjaku. Saat aku membuka mata lagi, aku kembali ke masa lalu, dengan semua ingatan tentang pengkhianatan mereka.

Di kehidupan sebelumnya, aku terperangkap di kursi penumpang, melihat Arifin, suamiku, memeluk Liana dengan senyum puas saat mobil kami meledak.

Ini bukan kecelakaan. Ini adalah pembunuhan berencana yang kejam demi menguasai harta warisanku.

Rasa sakit karena dikhianati jauh lebih membakar daripada api yang melahap tubuhku.

Aku mati dengan hati hancur dan penuh dendam.

Aku tidak mengerti mengapa takdir memberiku kesempatan kedua.

Saat aku membuka mata, aku kembali ke masa kuliah, jauh sebelum tragedi itu terjadi. Arifin berdiri di hadapanku, dengan senyum polos yang sama seperti saat pertama kali kami bertemu. Tapi kali ini, aku melihat kebusukan di baliknya. Aku akan membuat mereka membayar semua penderitaanku.

Bab 1

Natania POV:

"Aku menyesali setiap detik yang kubuang untuk mencintaimu, Arifin," kataku, suaraku serak, teredam oleh rasa sakit yang menusuk.

Tenggorokanku tercekat, perih dan panas. Aku merasakan hawa panas yang membakar melingkari kakiku.

Mobil itu, rumah kedua kami, sedang terbakar. Api menjilat-jilat kursi, melahap dasbor yang retak. Asap hitam pekat memenuhi paru-paruku.

Kupalingkan wajahku ke samping. Arifin, suamiku, arsitek brilian yang kucintai, baru saja menarik Liana Tambunan keluar dari kobaran api.

Liana, rekan kerja juniorku yang selalu kubimbing.

Tubuhnya, yang biasanya lincah dan bersemangat, kini tergeletak lemas di pelukan Arifin. Arifin memeluknya erat, menepuk-nepuk pipinya, seolah dialah satu-satunya yang penting.

Arifin, yang pernah bersumpah akan mencintaiku sampai mati, kini meninggalkanku begitu saja di dalam mobil yang sebentar lagi akan meledak.

Aku melihat matanya. Tidak ada lagi cinta, tidak ada lagi rasa panik. Hanya ketenangan dingin. Seolah dia sudah merencanakan ini.

Seolah dia memang ingin aku mati di sini.

Seketika, rasa sakit di hatiku jauh lebih membakar daripada api yang menjilat-jilat kakiku. Lebih menyakitkan daripada tulang-tulangku yang mungkin patah akibat benturan.

Ini pengkhianatan. Pengkhianatan yang paling kejam.

"Tolong! Arifin! Selamatkan aku!" teriakku, suaraku pecah.

Tapi Arifin tidak menoleh. Dia terus memeluk Liana, tatapannya terpaku pada wajah Liana yang pucat.

Dunia di sekitarku berputar. Warna merah, oranye, dan hitam memenuhi pandanganku.

Panas itu semakin hebat, membakar kulit dan rambutku. Bau bensin dan karet terbakar menusuk hidungku.

Aku merasakan jantungku berdebar kencang, lalu melambat. Napasku tersengal-sengal.

Melihat Arifin dengan Liana, semua kenangan kami berkelebat. Malam-malam tanpa tidur saat kami merancang maket rumah impian kami.

Tawa renyah saat kami menerima penghargaan pertama sebagai duo arsitek muda. Janji yang terucap di depan altar, disaksikan oleh kalung giok pusaka keluargaku yang melingkari leherku.

Semua itu kini terasa seperti kebohongan besar.

Satu detik. Dua detik.

Aku memejamkan mata, menunggu ledakan yang tak terhindarkan.

Tapi kemudian, sebuah cahaya terang menusuk kelopak mataku. Rasa dingin yang aneh merambat di tubuhku, menggantikan panas yang membakar.

Aku membuka mata. Aku tidak lagi di dalam mobil. Aku berdiri di sampingnya, melihat diriku sendiri yang terperangkap di kursi penumpang.

Wajahku pucat pasi, rambutku acak-acakan. Mataku menatap kosong ke depan.

Lalu, sebuah ledakan dahsyat. Api melambung tinggi, melahap habis sisa-sisa mobil yang hancur.

Dan di sana, di dekat semak-semak, Arifin masih memeluk Liana. Wajahnya dipenuhi senyum tipis, puas.

Sebuah senyum yang tidak pernah diberikannya padaku dalam beberapa bulan terakhir.

Aku merasakan diriku melayang, transparan. Aku adalah arwah.

Aku kembali.

Karena janji suci yang terikat pada kalung giok itu. Janji yang kini terasa pahit.

Aku kembali untuk menyelesaikan urusan terakhirku.

Berpisah. Berpisah dengannya.

Aku terbangun di tempat tidurku yang lembut. Ini kamarku, kamar kami.

Cahaya matahari menembus tirai, menerangi ruangan yang tertata rapi. Maket rumah impian kami, yang dulu kubuat dengan penuh cinta, berdiri anggun di sudut ruangan.

Piagam-piagam penghargaan kami berjejer rapi di dinding.

Aku bangkit, berjalan ke cermin. Bayanganku muncul, samar, hampir transparan.

Aku menyentuh pipiku. Tidak ada lagi rasa sakit. Tidak ada lagi kesedihan yang membakar. Hanya kekosongan.

Aku berjalan ke balkon, melihat ke bawah.

Di halaman, Arifin sedang menyiram bunga. Bunga mawar yang dulu selalu kuberikan padanya setiap ulang tahun pernikahan kami.

Dia tersenyum. Senyum itu. Senyum yang sama saat dia memeluk Liana di dekat mobil yang meledak itu.

Aku mengepalkan tinju. Rasa marah menyengat hatiku.

Aku harus mengakhiri ini. Hari-hariku terbatas. Tujuh hari.

Aku kembali ke kamar, mencari kalung giok itu. Kalung yang diwariskan turun-temurun di keluargaku, yang konon menyimpan kekuatan cinta sejati dan ikatan pernikahan.

Aku menyentuhnya. Dingin. Penuh energi.

Aku mulai menulis. Menulis surat cerai.

Keesokan harinya, aku melihat Arifin di ruang kerja. Dia sedang berbicara dengan seseorang di telepon, suaranya pelan dan mesra.

"Ya, sayang. Tentu saja. Firma kita akan menjadi yang terbaik."

Firma kita? Aku mengerutkan kening. Firma kita?

Aku mengintip. Di layar laptopnya, ada foto Liana. Liana tersenyum, wajahnya cerah.

Juga ada rencana pembangunan firma arsitektur baru. Dengan nama mereka berdua.

Air mataku menetes. Ini bukan sekadar perselingkuhan. Ini pengkhianatan yang direncanakan.

"Aku sengaja meninggalkannya mati demi menguasai harta warisan," suara Arifin menggema di telingaku, seolah dia baru saja mengucapkannya.

Mengerikan. Begitu kejam.

Aku merasakan amarahku membumbung tinggi. Aku tidak bisa lagi menahan diri.

Aku merenggangkan tanganku, dan maket rumah impian kami jatuh dari sudut ruangan. Pecah berkeping-keping di lantai.

Suara pecahan itu menarik perhatian Arifin. Dia menoleh, matanya membelalak.

"Ada apa ini?" gumamnya, menatap maket yang hancur.

Aku menatapnya dengan pandangan dingin. Aku ingin dia merasakan setidaknya sedikit dari rasa sakitku.

Dia tidak bisa melihatku. Aku tahu itu. Tapi aku ingin dia tahu, aku ada.

"Natania?" Arifin berjalan mendekat, melihat ke sekeliling ruangan dengan bingung.

Aku tertawa sinis, tanpa suara. Aku bukan Natania yang dulu. Aku adalah arwah.

Aku mulai menghancurkan semua kenangan. Piagam-piagam penghargaan yang dulu kami raih bersama, kuturunkan satu per satu.

Kurobek, kulemparkan ke lantai.

"Siapa di sana?" Arifin berteriak, suaranya mulai panik.

Aku tidak menjawab. Aku terus menghancurkan.

Ini adalah perpisahan yang sebenarnya.

Malam itu, aku meninggalkan surat cerai di meja makannya.

Keesokan paginya, dia menemukannya. Wajahnya berubah pucat.

"Apa-apaan ini?" gumamnya, membaca tulisan tanganku.

Dia menoleh ke sekeliling, mencari-cari. Mencari aku.

Aku berdiri di depannya, menatapnya dengan dingin.

"Tandatangani, Arifin," kataku, suaraku hanya bisa kudengar sendiri.

Dia tertawa, sinis. "Ini pasti ulahmu lagi, Natania. Halusinasi."

Halusinasi?

Amarahku kembali membakar. Aku bukan halusinasi. Aku adalah korbanmu.

Aku terus mengganggu dan meremehkannya. Aku memindahkan barang-barangnya, membuat suara-suara aneh di malam hari.

Aku ingin dia tahu, aku tidak akan membiarkannya hidup tenang.

Tapi dia hanya menganggapnya sebagai lelucon, atau tanda bahwa dia terlalu stres.

Sampai pada hari terakhir.

Aku muncul di depannya dan Liana di sebuah acara penghargaan arsitektur.

Liana mengenakan gaun yang dulu pernah kubeli, yang Arifin bilang sangat cocok untukku.

Aku berdiri di samping mereka, tak terlihat. Mendengar bisikan-bisikan manis mereka.

Melihat Arifin memeluk Liana dengan erat, tepat di depan semua orang.

Dan aku, Natania, berdiri di sana, seperti hantu yang tidak diinginkan.

Aku menunggu. Menunggu momen yang tepat.

Ketika Arifin menerima penghargaan, di atas panggung, aku muncul.

Aku berdiri di sampingnya, menatapnya dengan pandangan kosong.

Liana terkesiap, matanya membelalak ketakutan. "Arifin! Ada... ada dia!"

Arifin menoleh, melihatku. Wajahnya pucat pasi.

"Natania?" gumamnya, suaranya bergetar.

Aku tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya menatapnya, dengan tatapan yang mengatakan, 'Aku tahu segalanya.'

Dia berteriak. "Keamanan! Keamanan! Wanita ini gila!"

Keamanan datang, mencoba menangkapku. Tapi mereka tidak bisa menyentuhku.

Aku adalah arwah.

"Aku akan menceraikanmu, Arifin!" teriakku, suaraku bergema di seluruh ruangan. Semua orang menoleh ke arahnya.

Liana mencoba menyembunyikan wajahnya.

Arifin menatapku dengan kebencian. "Baik! Aku akan tandatangani! Asal kau lenyap dari hidupku!"

Dia meraih pulpen, menarik surat cerai yang kutaruh di sakunya, dan membubuhkan tanda tangannya dengan kasar.

Tanda tangannya. Kini aku bebas.

Rasa lega bercampur sedih membanjiri diriku. Misiku telah selesai.

Aku menatap Arifin untuk terakhir kalinya. Matanya masih dipenuhi amarah dan ketakutan.

Aku tersenyum tipis. "Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya, Arifin."

Lalu, aku lenyap.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Gavin

Selebihnya
Penolakan Sang Luna: Hancurnya Hati Alpha Vincent

Penolakan Sang Luna: Hancurnya Hati Alpha Vincent

Likantrof

5.0

Ayahku menjualku kepada Alpha Vincent sebagai "Kontrak Disiplin", menjadikan aku bukan sebagai Mate yang dihormati, melainkan tawanan yang disembunyikan di gudang berdebu. Namun, neraka yang sesungguhnya dimulai saat Isabel, wanita licik yang ia puja, datang menginvasi hidupku. Isabel memalsukan penyerangan dan menuduhku sebagai pelakunya. Tanpa mendengar penjelasanku, Vincent menyeretku ke penjara bawah tanah dan merantaiku dengan perak murni—racun paling mematikan bagi kaum kami. Saat kulitku melepuh dan mendesis terbakar oleh lilitan rantai, Vincent justru melakukan hal yang paling kejam. Dia melelang kalung peninggalan almarhum ibuku tepat di depan mataku. "Vincent, belikan itu untukku," rengek Isabel manja. "Anjingku butuh kalung baru." Tanpa menatapku, Vincent memberikannya. "Terjual untuk Isabel." Hancur. Bukan hanya tubuhku, tapi juga jiwaku. Mereka menertawakanku, menyebutku jalang yang tidak berguna, sementara aku menahan rasa sakit dari *Silver* yang menggerogoti tulangku. Vincent tidak tahu satu hal. Darah yang ia tumpahkan malam ini bukanlah darah Omega lemah. Itu adalah darah *White Wolf*, serigala paling langka dan suci yang memiliki kekuatan penyembuh mutlak. Di ambang kematian, aku mendongak, menatap mata pria yang dulu kucintai itu dengan tatapan kosong. "Saya, Sofia Permana..." Vincent tertegun, matanya membelalak melihat aura putih menyilaukan yang tiba-tiba meledak dari tubuhku, melelehkan rantai besi itu. "...menolakmu, Vincent Dirgantara, sebagai Mate-ku." Malam itu, saat dia meraung kesakitan karena putusnya ikatan jiwa kami, aku bangkit dari abu, membakar penjara itu, dan berlari menuju takdirku sebagai Luna di Pack lain yang jauh lebih kuat.

Bangkit Dari Luka: Istri Yang Terbuang

Bangkit Dari Luka: Istri Yang Terbuang

Romantis

5.0

Aku menghabiskan seribu sembilan puluh lima hari mencintai Elton, tapi hanya butuh satu detik baginya untuk membuktikan bahwa nyawaku tidak ada harganya. Di tepi dermaga itu, saat Rachel—wanita masa lalunya—terpeleset, Elton tanpa ragu menghempaskan tubuhku ke samping. Aku terlempar ke dalam ombak ganas, meminum air asin yang membakar paru-paru, sementara dia mendekap Rachel erat-erat agar wanita itu tidak tergores sedikit pun. Saat aku berjuang naik ke permukaan dengan napas tersengal, yang menyambutku bukanlah uluran tangan suamiku, melainkan pemandangan dia yang sedang menenangkan Rachel dengan lembut. Di rumah sakit, kekejamannya berlanjut. Dia membiarkan Rachel memakan buah jatahku dan menuduhku hanya mencari perhatian. Dia tidak tahu, di balik wajahku yang pucat dan tubuhku yang menggigil, aku sedang menyembunyikan hasil laboratorium yang menyatakan aku hamil enam minggu. Melihatnya memayungi Rachel dengan mesra dan meninggalkanku kedinginan di tengah hujan, aku sadar aku hanyalah tokoh figuran di kisah cinta mereka. Malam itu, aku membuang cincin berlian seharga mobil mewah itu ke tumpukan sampah dapur. Aku berpura-pura patuh, menelan semua penghinaan, hanya untuk merencanakan pelarian sempurnaku. Sebulan kemudian, saat badai menghancurkan kota persembunyianku, Elton datang. Dia menggali reruntuhan dengan tangan telanjang hingga berdarah, menangis saat melihat perutku yang mulai membesar. "Beri aku kesempatan, Jilly. Demi anak kita," mohonnya sambil berlutut di lumpur. Aku menepis tangannya yang kotor dengan tatapan dingin, lalu berkata pelan namun menusuk: "Ini anakku. Bukan anak kita. Ayah dari anak ini sudah mati bagiku saat dia mendorong istrinya ke laut demi wanita lain."

Buku serupa

Bosku Kenikmatanku

Bosku Kenikmatanku

Juliana
5.0

Aku semakin semangat untuk membuat dia bertekuk lutut, sengaja aku tidak meminta nya untuk membuka pakaian, tanganku masuk kedalam kaosnya dan mencari buah dada yang sering aku curi pandang tetapi aku melepaskan terlebih dulu pengait bh nya Aku elus pelan dari pangkal sampai ujung, aku putar dan sedikit remasan nampak ci jeny mulai menggigit bibir bawahnya.. Terus aku berikan rangsang an dan ketika jari tanganku memilin dan menekan punting nya pelan "Ohhsss... Hemm.. Din.. Desahannya dan kedua kakinya ditekuk dilipat kan dan kedua tangan nya memeluk ku Sekarang sudah terlihat ci jeny terangsang dan nafsu. Tangan kiri ku turun ke bawah melewati perutnya yang masih datar dan halus sampai menemukan bukit yang spertinya lebat ditumbuhi bulu jembut. Jari jariku masih mengelus dan bermain di bulu jembutnya kadang ku tarik Saat aku teruskan kebawah kedalam celah vaginanya.. Yes sudah basah. Aku segera masukan jariku kedalam nya dan kini bibirku sudah menciumi buah dadanya yang montok putih.. " Dinn... Dino... Hhmmm sssttt.. Ohhsss.... Kamu iniii ah sss... Desahannya panjang " Kenapa Ci.. Ga enak ya.. Kataku menghentikan aktifitas tanganku di lobang vaginanya... " Akhhs jangan berhenti begitu katanya dengan mengangkat pinggul nya... " Mau lebih dari ini ga.. Tanyaku " Hemmm.. Terserah kamu saja katanya sepertinya malu " Buka pakaian enci sekarang.. Dan pakaian yang saya pake juga sambil aku kocokan lebih dalam dan aku sedot punting susu nya " Aoww... Dinnnn kamu bikin aku jadi seperti ini.. Sambil bangun ke tika aku udahin aktifitas ku dan dengan cepat dia melepaskan pakaian nya sampai tersisa celana dalamnya Dan setelah itu ci jeny melepaskan pakaian ku dan menyisakan celana dalamnya Aku diam terpaku melihat tubuh nya cantik pasti,putih dan mulus, body nya yang montok.. Aku ga menyangka bisa menikmati tubuh itu " Hai.. Malah diem saja, apa aku cuma jadi bahan tonton nan saja,bukannya ini jadi hayalanmu selama ini. Katanya membuyarkan lamunanku " Pastinya Ci..kenapa celana dalamnya ga di lepas sekalian.. Tanyaku " Kamu saja yang melepaskannya.. Kata dia sambil duduk di sofa bed. Aku lepaskan celana dalamku dan penislku yang sudah berdiri keras mengangguk angguk di depannya. Aku lihat di sempat kagett melihat punyaku untuk ukuran biasa saja dengan panjang 18cm diameter 4cm, setelah aku dekatkan ke wajahnya. Ada rasa ragu ragu " Memang selama ini belum pernah Ci melakukan oral? Tanyaku dan dia menggelengkan kepala

Gairah Liar Ayah Mertua

Gairah Liar Ayah Mertua

Gemoy
5.0

Aku melihat di selangkangan ayah mertuaku ada yang mulai bergerak dan mengeras. Ayahku sedang mengenakan sarung saat itu. Maka sangat mudah sekali untuk terlihat jelas. Sepertinya ayahku sedang ngaceng. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk menenangkan perasaanku, maka aku mengambil air yang ada di meja. Kulihat ayah tiba-tiba langsung menaruh piringnya. Dia sadar kalo aku tahu apa yang terjadi di selangkangannya. Secara mengejutkan, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi. Ayah langsung bangkit dan memilih duduk di pinggiran kasur. Tangannya juga tiba-tiba meraih tanganku dan membawa ke selangkangannya. Aku benar-benar tidak percaya ayah senekat dan seberani ini. Dia memberi isyarat padaku untuk menggenggam sesuatu yang ada di selangkangannya. Mungkin karena kaget atau aku juga menyimpan hasrat seksual pada ayah, tidak ada penolakan dariku terhadap kelakuan ayahku itu. Aku hanya diam saja sambil menuruti kemauan ayah. Kini aku bisa merasakan bagaimana sesungguhnya ukuran tongkol ayah. Ternyata ukurannya memang seperti yang aku bayangkan. Jauh berbeda dengan milik suamiku. tongkol ayah benar-benar berukuran besar. Baru kali ini aku memegang tongkol sebesar itu. Mungkin ukurannya seperti orang-orang bule. Mungkin karena tak ada penolakan dariku, ayah semakin memberanikan diri. Ia menyingkap sarungnya dan menyuruhku masuk ke dalam sarung itu. Astaga. Ayah semakin berani saja. Kini aku menyentuh langsung tongkol yang sering ada di fantasiku itu. Ukurannya benar-benar membuatku makin bergairah. Aku hanya melihat ke arah ayah dengan pandangan bertanya-tanya: kenapa ayah melakukan ini padaku?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku