Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Rumah Kardus
5.0
Komentar
67
Penayangan
5
Bab

Sejak kecil, Seruni selalu berpindah-pindah kontrakan. Ibunya yang seorang janda, selalu saja termakan rayuan laki-laki benalu yang membuat ibu Seruni menjadi bucin dan tak sadar bahwa dia hanya dimanfaatkan uangnya saja. Seruni selalu mengidam-idamkan memiliki tempat tinggal tetap, mempunyai rumah milik sendiri, meskipun itu hanya sebuah rumah kardus. Setelah jadian dengan Andre, teman kampus yang ia sukai sejak tingkat satu, Seruni merasa sangat senang dan bahagia. Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama ketika Seruni tiba-tiba mengetahui fakta tentang Andre.

Bab 1 Dipaksa Pulang

Runi membaringkan tubuh perlahan pada salah satu kasur tipis yang dijajarkan di atas lantai ruang kamar penginapan yang cukup besar itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam lewat beberapa menit. Semua teman sekamarnya tampak sudah tertidur pulas, kecuali Debby di ujung sana yang masih tampak berbisik-bisik dengan Maharani yang berbaring di sebelahnya, dan Susan yang tampak berbicara pelan dengan nada mengantuk pada seseorang yang tampil pada permukaan layar ponselnya, mungkin pacarnya.

Seketika Runi teringat Andre, pacar-baru-jadian-seminggunya yang seharian ini hanya sempat dikontaknya melalui jawaban-jawaban chat singkat yang ia ketik di sela-sela kesibukannya. Mungkin besok setelah semua kegiatannya di kota kecil ini benar-benar sudah selesai, baru Runi akan menghubunginya.

Runi menggeliat tanpa suara, meregangkan otot-otot dan meluruskan kedua kakinya yang terasa pegal, setelah bergerak kesana kemari di lapangan selama seharian tadi. Besok adalah hari terakhir Runi dan teman-teman seangkatannya dari jurusan Pendidikan Luar Biasa melaksanakan praktik kerja sebagai pengajar di yayasan tuna rungu di kota ini. Semua yang terlibat dalam kegiatan ini sudah menyiapkan acara penutupan meriah, yang diharapkan akan bisa memberikan kebahagiaan dan meninggalkan kesan tak terlupakan bagi anak-anak itu.

Runi tersenyum, sedikit terharu saat mengingat kembali betapa anak-anak berkebutuhan khusus itu tampak senang dan antusias sekali, sejak awal kedatangan Runi dan teman-temannya selaku tim relawan dari Jakarta yang akan membantu memberikan pengajaran kepada mereka selama beberapa hari. Wajah-wajah polos penuh senyum mereka kembali terbayang di ingatan Runi. Kemudian ia memiringkan tubuh dan mulai memejamkan mata.

Tiba-tiba terdengar suara ponsel berdenting. Halus, namun terdengar jelas di telinganya.

Runi meraih ponsel dari dalam tas yang tergeletak di sisi tempat tidurnya, kemudian membaca dengan cepat tampilan pop-up pesan pada bagian atas layar. Whatsapp dari mama. Ia menyentuh layar, kemudian membaca isinya.

--Pulang ke Jakarta segera malam ini. Kita harus keluar dari kontrakan besok pagi-pagi. Kita sudah diusir. --

Pesan yang singkat, padat, jelas, dan sontak membuat mata Runi yang nyaris terpejam, kembali membelalak lebar. Otot-ototnya yang sedianya sudah siap untuk diistirahatkan, dipaksa untuk kembali terjaga. Runi menarik tubuhnya ke posisi duduk.

Ada apa lagi ini, keluh Runi dalam hati. Please, Ma, jangan sekarang, deh!

Runi mengetik chat balasan untuk mama yang hanya berisikan kalimat pendek --ada apa, Ma?--.

Kemudian tanpa menunggu jawaban dari mama, ia segera beranjak bangkit, dan langsung mengikat rambutnya yang panjang sebahu dengan satu ikatan ekor kuda di belakang kepala tanpa menyisirnya lebih dahulu. Ia melangkah dengan lemas menuju sudut ruangan, di mana tas ransel besar dan barang-barangnya berada. Ia sudah tahu, apapun jawaban mama nanti, ia tetap akan dipaksa pulang.

Runi mulai mengemasi semua barangnya dengan gerakan cepat tanpa suara, juga tanpa semangat. Keningnya berkerut dengan kedua sudut bibir tertarik ke atas. Pandangannya sedikit berkunang-kunang, entah karena efek memaksakan mata untuk kembali terbuka saat sedang nyaris terlelap, atau karena keterkejutan akan pesan dari mamanya.

Ponselnya kembali berdenting halus. Runi melirik ke layar ponsel yang diletakkannya di atas lantai, masih dalam posisi layar chat pribadi dengan mamanya.

- Udah, pokoknya kamu pulang aja dulu. Barang-barang kamu perlu dikemas secepatnya ini. Kalau enggak, nanti bisa hilang semua. -

Jawaban yang tidak memperjelas apapun sama sekali. Malah berkesan mengancam supaya Runi segera pulang jika tidak ingin kehilangan barang-barangnya, dan seolah ini semua adalah kesalahannya. Padahal Runi saat ini berada dalam posisi yang sama sekali tidak tahu apa alasannya ia disuruh pulang secara tiba-tiba seperti ini.

Runi melayangkan pandang kepada teman-temannya yang kini telah tertidur pulas. Rasanya sedih, kesal, tidak enak hati, dan ingin marah. Tapi entah mau marah pada siapa. Mungkin pada mama saja nanti saat mereka sudah bertemu.

Runi mengencangkan tali tas ranselnya, mengangkatnya ke punggung, dan melangkah pelan keluar kamar. Ia harus mencari Mbak Shinta, kordinator timnya dalam praktek kerja ini, untuk meminta izin pulang.

Sambil berjalan menyusuri selasar gelap untuk menuju ke ruang bagian depan gedung serbaguna di mana ia berada saat ini, tangannya sibuk mencermati layar ponsel untuk mengecek jadwal kereta api. Sementara itu otaknya sibuk menyusun kalimat yang paling tepat sebagai alasan permintaan izin pulang yang mendadak ini. Jangan sampai Mbak Shinta malah curiga dan menganggap Runi hanya ingin lebih cepat pulang saja karena malas berlama-lama berada di tempat ini. Itu adalah hal yang sangat dihindarinya.

"Mbak ... Mbak Shinta ...." bisik Runi sembari mengetuk perlahan daun pintu di hadapannya itu. Ia khawatir suara ketukannya akan membuat orang lain yang tidur sekamar dengan Mbak Shinta akan ikut terbangun.

Namun tidak ada jawaban dari dalam. Runi kembali mengetuk sedikit lebih keras.

"Mbak ... Mbak Shinta? Mbak ... udah tidur?" Runi berucap sedikit lebih keras daripada sebelumnya.

Hanya satu detik kemudian, terdengar suara alas kaki yang bergesek terseret di atas permukaan lantai di dalam ruangan kamar. Lalu Mbak Shinta muncul membukakan pintu dengan satu tangan. Satu tangannya lagi tampak memegangi selembar kapas basah yang sedang diusap-usapkan ke wajah dengan gerakan berputar.

"Eeh, Seruni. Ada apa, Run?" tanya Mbak Shinta ramah.

"Eem ... anu ... maaf ganggu, Mbak," ucap Runi sembari tersenyum lemah. Menelan ludahnya sedikit dengan gugup, bersiap memberikan alasan palsu kepada Mbak Shinta. "Aku ... harus pulang ke Jakarta, Mbak. Itu ... Mamaku ... Mama penyakitnya kambuh, Mbak."

Maaf, Ma, soalnya nggak ada alasan lain yang lebih tepat untuk pergi dari acara praktik kerja yang penting seperti ini, kecuali hal darurat misalnya karena kondisi orang tua yang sedang sakit. Toh memang kenyataannya, Mama pasti sedang kambuh lagi kan, 'penyakit'nya, pikir Runi dalam hati untuk membela diri sendiri.

"Hah, Mama kamu sakit?" ucap Mbak Shinta dengan wajah yang langsung berubah mengerut, terlihat sangat cemas. "Sakit apa, Run? Masuk rumah sakit atau gimana?"

"Belum tau di mana dan gimananya, Mbak. Aku ... soalnya aku juga dikabari sama tetangga barusan, disuruh pulang. Aku bingung, Mbak, padahal kan praktek kerjanya masih sehari lagi ...." ucap Runi ragu, kepalanya menunduk menghindari tatapan Mbak Shinta.

Setengah hatinya berharap agar Mbak Shinta tidak usah mengizinkannya pulang saja. Karena apapun yang sedang terjadi di rumah saat ini, ia yakin, ia pasti akan sangat enggan untuk menghadapinya. Dan larangan Mbak Shinta untuk pulang akan menjadi alasan yang tepat bagi Runi untuk menolak perintah mama.

"Jangan khawatir, Run," ucap Mbak Shinta cepat. "Kan, acaranya juga cuma tinggal sehari lagi. Besok udah tinggal penutupan aja, kok. Kamu boleh pulang duluan, Run. Orang tua kan, harus diutamakan."

Runi mendongak kecewa, menatap wajah Mbak Shinta yang malah balas menatapnya dengan tersenyum lembut.

"Tapi ... penilaian praktek kerjaku nanti jadinya gimana, Mbak ...?" tanya Runi masih berusaha memberatkan dirinya sendiri.

"Udah, enggak usah kamu pikirin. Dari kemarin juga Mbak lihat, kamu loh, mahasiswi yang paling rajin di tim kamu. Tenang aja, nilai kamu full," ucap Mbak Shinta sambil mengusap lengan Runi untuk menenangkannya.

"Oh ... begitu ya, Mbak. Ng ... ya udah ... kalau begitu, terima kasih, Mbak," ucap Runi lemas. Bukan lemas karena mendengar nilai praktek kerjanya full, melainkan karena ia gagal menghindar untuk pulang ke Jakarta.

"Sama-sama, Run. Tapi masalahnya, ini kan udah tengah malam. Kamu mau pulang naik apa ke Jakarta? Memangnya jam segini masih ada bus atau kereta api?" tanya Mbak Shinta.

"Ada, Mbak. Aku udah cek di internet barusan. Ada kereta api ekonomi tujuan Jakarta, berangkat jam dua dini hari nanti," jawab Runi.

"Aduuh, jam dua pagi? Terus, kamu ke stasiunnya naik apa? Jam segini memangnya aman jalan senirian?" tanya Mbak Shinta lagi, menatap Runi penuh kecemasan. "Aduuh, siapa yang bisa nganterin kamu, ya ...?" Mbak Shinta menjulurkan kepala keluar ambang pintu kamar dan menoleh ke sana sini, berharap masih ada orang yang belum tidur dan bisa dimintai bantuan.

"Ah, nggak usah, Mbak. Gampang, aku naik taksi atau ojek aja. Nanti aku cari sendiri di depan atau di perempatan," jawab Runi.

"Tapi ... udah malam begini ..." Mbak Shinta terlihat semakin cemas. "Aku temenin deh, keluarnya," ucap Mbak Shinta yang hendak berbalik masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil sesuatu.

"Eh, Mbak, nggak usah. Di luar kan ada Pak Satpam, Mbak. Pak Satpam yang dari kemarin selalu bantuin kita itu, loh. Nanti aku minta bantuin bapak itu aja untuk cari kendaraan ke stasiunnya," ucap Runi, kali ini ia yang berusaha menenangkan Mbak Shinta. "Udah, Mbak Shinta nggak usah repot-repot keluar, kan udah bersih-bersih dan mau tidur, kan?"

"Ng ... iya, sih ...." Mbak Shinta masih tampak berpikir-pikir. "Iya, ya, bisa minta temanin Pak Satpam. Ya sudah, kalau gitu, nanti kabarin lagi ya, Run, kalau udah sampai di stasiun, terus kabarin juga kamu dapat tiketnya atau enggak, terus jam berapa tepatnya keretanya berangkat. Ya?" pesan Mbak Shinta mewanti-wanti.

"Iya, siap, Mbak," janji Runi.

Kemudian setelah sekali lagi berpamitan kepada Mbak Shinta yang masih tampak sangat khawatir melepas kepergian Runi, dan menitipkan permintaan maaf untuk rekan-rekan satu tim karena tidak bisa mengikuti acara hingga selesai.

Runi keluar dari bangunan putih sederhana itu untuk mencari Pak Satpam yang biasa menjaga mereka selama beberapa hari ini.

Dan akhirnya, atas bantuan Pak Satpam baik hati yang sedikit heran melihat Runi mengatakan akan pulang ke Jakarta malam ini juga, Runi akhirnya diantar oleh seorang abang ojek berwajah ramah yang biasa mangkal di perempatan jalan dekat gedung serbaguna tempat Runi dan rombongan pengajar dari Jakarta menginap.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku