"di dalam kartu ini, terdapat uang yang akan ku tambah setiap harinya. Kau gunakanlah uang itu! Sandinya 222222." Setelah mengucapkan hal itu, Alka membalikkan badannya, hendak keluar dari kamar Mira. Namun ketika tangannya telah berhasil memegang handle pintu, ia berhenti, membasahi bibirnya dengan tak nyaman dan berkata, "selamat malam, Mira." Lalu ia benar-benar meninggalkan Mira di malam pertama!
"Apa?!" Mira terkejut bukan main mendengar permintaan bapaknya. Bahkan mulut Mira sampai menganga lebar dengan mata terbelalak.
"Bapak yakin meminta Mira jadi istri kedua Mas Alka?" tanya Mira dengan suara bergetar menahan gemuruh di dadanya. Dia menjeda ucapannya sesaat, lalu kembali berkata, "Mira tidak mau, bahkan Mira juga tidak sudi menjadi istri kedua untuk siapapun!"
Tidak bisa menahan rasa terkejut sekaligus rasa sedih dan kecewa yang bercampur aduk menjadi satu, tanpa disadari Mira berbicara dengan nada tinggi pada bapaknya. Bahkan seumur hidupnya, baru kali ini intonasi tinggi itu keluar dari mulut Mira ketika berbicara dengan orang tuanya.
Kedatangan Tuan Maheer Wiraatmadja dan Nyonya Salma kali ini bagaikan malapetaka bagi Mira. Bagaimana tidak, Mira yang tidak pernah bermimpi ingin menjadi madu untuk perempuan lain, malah kini dia diminta bapaknya untuk menikah dengan pria beristri.
"Mira!" hardik Pak Darma yang tidak terima anaknya melawan dengan suara keras seperti itu.
Pak Darma melangkah ke depan mendekati Mira, sedangkan wanita itu mundur ke belakang menghindari bapaknya.
"Kamu sudah berani melawan Bapak?" tanya Pak Darma menatap tajam pada anaknya.
"Mira bukan melawan Bapak, tetapi Mira tidak mau jadi istri kedua! Bapak mau melihat Mira dihujat orang-orang dengan diberi gelar sebagai pelakor? Apalagi Mira belum pernah bertemu dengan Mas Alka, bagaimana kalau dia bukan orang baik-baik?" ungkap Mira mengutarakan isi hatinya.
"Jaga mulutmu, Mira! Selama ini kau juga telah mengenal mereka lebih dari warga lainnya, tidakkah kau lihat mereka itu sebagai keluarga baik-baik?" bentak Pak Darma.
Pak Darma maupun Mira tidak pernah bersitegang seperti ini sebelumnya. Apalagi saling bersahutan dengan intonasi tinggi. Sekarang mereka seakan berada di luar karakter diri masing-masing.
Mata Mira menganak sungai, dadanya terasa sesak bagaikan menahan beban yang begitu berat. Tidak bisa terbayangkan olehnya posisi sebagai istri kedua, apalagi pria itu tidak dikenalinya sama sekali.
"Mira sangat menghormati Bapak, Mira juga akan selalu menuruti perintah Bapak, tetapi Mira mohon jangan meminta Mira menikah dengan pria yang masih berstatus suami orang. Mira tidak mau jadi istri kedua, Pak," mohon Mira dengan suara bergetar, bulir bening yang sedari tadi dia tahan keluar begitu saja dari pelupuk mata gadis itu.
"Kita berhutang budi pada keluarga Tuan Maheer Wiraatmadja. Sudah banyak jasanya yang kita terima. Mereka tidak meminta kita membalas dengan setimpal, hanya meminta kamu jadi menantu mereka. Bahkan permintaan itu suatu kehormatan bagi keluarga kita!" ungkap Pak Darma, terlihat jelas kalau dia ingin anaknya mau menikah dengan anak Tuan Maheer.
Mira tersenyum getir, hatinya bagaikan tersayat ribuan belati ketika bapaknya berbicara soal jasa keluarga Tuan Maheer pada mereka.
"Jasa dan hutang budi?! Apa di mata Bapak jasa mereka pada keluarga kita atas uang dan hadiah yang selalu mereka berikan itu setimpal dengan hidup Mira? Lalu ... Bapak tega memberikan putri Bapak sebagai alasan balas budi tersebut, mengikhlaskan Mira menjadi istri kedua dalam keluarga itu? Secara terang-terangan Bapak telah memberi peluang pada orang lain untuk menindas Mira sebagai anak Bapak. Sekejam itukah bapakku?" Mira terisak, tangisnya yang dia tahan akhirnya pecah juga. Bulir bening menghujam keluar dari pelupuk matanya.
"Jika keluarga mereka adalah keluarga baik-baik, maka mereka tidak akan meminta yang namanya balas budi. Apalagi meminta putri Bapak untuk menjadi istri kedua buat anaknya yang masih punya istri sah sampai sekarang. Itu artinya, ada rencana besar yang tengah mereka siapkan ketika memberi keluarga kita hadiah. Pikiran mereka terlalu licik, mereka tidak tulus memberi kita hadiah, mereka bukan keluarga baik-baik, mereka–"
"Mira!" potong Pak Darma berteriak menghentikan ucapan anaknya.
Mendengar perkataan Mira, retak sudah kesabaran Pak Darma. Hingga dengan begitu ringan, sebelah tangannya terangkat dan melayang tepat di pipi sebelah kiri anaknya.
"Bapak tak pernah mengajarimu berkata buruk seperti itu, Mira!" bentak Pak Darma penuh amarah pada Mira yang meringis merasakan sakit dan panas di pipinya.
Mira memegang pipi putihnya, di sana sudah ada cap merah akibat tamparan dari bapaknya yang begitu keras. Rasanya begitu sakit dan perih, tetapi lebih sakit lagi hati Mira yang mendapat perlakuan kasar dari bapaknya.
"Tapi benar 'kan, Pak? Mereka itu licik. Mereka memberi keluarga kita uang dan hadiah lainnya, dibalik itu semua mereka punya rencana besar yang telah mereka susun. Apa yang mereka berikan pada keluarga kita bukan dengan keikhlasan. Buktinya mereka sekarang meminta Mira untuk menjadi istri kedua anaknya. Bapak tahu? Mbak Amina, menantu mereka yang sekarang itu mandul!!"
Mira menjeda ucapannya sesaat, sedangkan Pak Darma mengepalkan tangannya begitu marah pada pemikiran anaknya yang dia rasa sangat singkat.
"Mereka bukan menginginkan Mira untuk menjadi menantu yang akan mereka sayangi, Pak. Mereka hanya ingin rahim Mira untuk melahirkan keturunan! Bukankah mereka sering mengatakan kalau mereka sangat menginginkan cucu dari Mas Alka? Apa Bapak tidak paham maksud mereka?" Air mata Mira kian berderai, merasakan pedih di pipi dan juga di hatinya.
"Cukup! Bapak tahu mana yang terbaik untukmu." Pak Darma menatap tajam pada Mira, kepalanya terasa sakit dan pusing ketika Mira terus membantah dan berani menantangnya sebagai orang tua.
"Jika Bapak tahu mana yang terbaik untuk Mira, tidak mungkin Bapak mau menikahkan Mira untuk jadi istri kedua hanya karena balas budi," sahut Mira membuat Pak Darma makin marah.
"Cukup, Mira! Cukup!" teriak Pak Darma dengan suara membentak.
"Jika kamu tidak mau menikah dengan anak Tuan Maheer, jangan anggap Bapak ini orang tua kamu lagi. Bapak tidak sudi punya anak pembangkang seperti kamu!"
Hancur, itu lah yang dirasakan Mira ketika mendengar pernyataan bapaknya. Pikiran Mira berkecamuk, dia bahkan menyimpan sesal yang teramat dalam. Hanya karena ingin balas budi, bapaknya tega menghancurkan masa depan Mira yang nantinya akan menjadi istri kedua. Yang namanya istri kedua, tidak akan pernah mendapat tempat terbaik di manapun. Itu lah yang kini menggelitik hati dan pikiran Mira.
"Silahkan pilih, mau menikah dengan anak Tuan Maheer atau pergi dari rumah ini dan tidak menganggap bapak orang tuamu lagi, serta adik-adikmu juga bukan lagi keluargamu!"
*****
Pukul tiga dini hari, Mira menengadahkan wajahnya menatap langit berbintang. Angin malam berhembus dingin, menelisip di antara surai panjangnya, membuat mereka terbang, menari-nari, menimbulkan bunyi yang khas, sungguh elok jika di pandang.
Bunyi takbir masih terdengar menggema di sudut-sudut kota kami, namun Mira sudah menulikan telinganya, tak lagi tertarik untuk keluar dan ikut meramaikan.
Beberapa saat kemudian, bunyi keriuhan takbir mulai masuk ke dalam rumah Mira.
Ceklek!
"Kak, waktunya pembagian hadiah! " Ucap Wulan seraya menyembulkan kepalanya memasuki kamar Mira, tak lupa dengan senyum sumringah dan nafas ngos-ngosan nya sehabis empat jam nonstop menggemakan takbir di luar.
Mira mengangguk, buru-buru mengubah mimik wajahnya, "kau kesana lah terlebih dahulu, kakak akan menyusul! "
Dan tibalah Mira di ruang tamu, tempat ia mendapat 'kabar baik' dari Bapaknya tadi, dan Mira mendengar keseruan kelima adiknya dengan hadiah dari Tuan Maheer dan istrinya.
"Waaah, hadiah tahun ini banyak sekali! "
"Iya, aku juga tak menyangka akan sebanyak ini. "
"Tuan Maheer memang sungguh murah hati. "
"aku ingin buka yang kotak paling besar itu! "
"Aku buka yang hijauu... "
Lalu suara Wulan menginterupsi, "kita tunggu kak Mira saja. "
Miraa telah berada di belakang mereka kurang lebih lima menit lamanya, namun rupanya mereka tak menyadari kehadiran nya gara-gara terlalu semangat dengan hadiah itu.
Melihat itu, Mira harus mendesah dalam hati, teringat ucapan Bapaknya enam jam yang lalu.
Benar sudah ucapan Bapaknya, semua orang di desanya, bahkan desa sebelah, atau mungkin seluruh kota juga sangat menyukai keluarga Tuan Maheer yang terhormat itu.
Irham, yang duduk paling dekat dengan tembok segera menyadari kehadiran Mira, "kakak kenapa diam saja di situ? Ayo cepat bagikan hadiah ini. "
"Iya nih, kita rasanya udah nunggu selama satu jam! "
"Ayo, kak! Cepat ke sini! "
Mira tersenyum, berupa sebuah senyum palsu yang terlihat paling alami, "Baiklah, rupanya adik-adik Kakak ini sungguh tidak bisa bersabar... " Lalu membagikan hadiah-hadiah itu dengan adil.
Di belakang Mira, radio jadul yang sejak tadi sore terus membunyikan semarak takbir tak terputus, Tiba-tiba beralih menjadi suara seorang perempuan pembawa acara gosip.
[ "Seperti yang telah kita ketahui, Tuan Muda Renjana ini memang sering kali terlihat memasuki klub yang sama. Namun, hari ini sungguh berbeda! Tuan Muda Renjana terciduk telah berada di dalam klub itu dari pukul tiga sore tadi. Bukankah itu masih terlalu dini? Atau, mungkin Tuan muda Renjana tidak melakukan puasa wajib?"]
Wulan mengerutkan keningnya, "huh, andai saja Tuan Muda Renjana ini mengenalku, boleh jadi dia tak akan terus-terusan memasuki klub malam! "
Mira juga mendengarkan apa yang orang radio itu ucapkan, namun ia tak peduli, bagaimana pula ada orang yang begitu populer dengan tak tahu malu berada di dalam sebuah klub di malam yang indah ini?
Seseorang di balik radio itu masih terus setia berceloteh ria. Berusaha mencari uang dengan membeberkan keadaan seseorang yang bahkan sama sekali tak ada hubungan dengannya. Tanpa tahu, apakah orang itu merasa keberatan atau tidak dengan apa yang ia lakukan itu.
Mungkin hari ini Mira memang tak peduli siapa tuan muda Renjana itu. Namun siapa sangka? Hanya butuh beberapa minggu dari sekarang, semuanya berubah, takdir mempertemukan mereka dalam keadaan yang tidak mungkin, dan tanpa sadar Mira memberikan seluruh hatinya pada si Tuan Muda Renjana yang tak ia pedulikan itu.
Sepuluh menit kemudian, samar-samar terdengar suara ayam jantan berkokok!
Maka dari itu, setelah selesai membagikan hadiah itu, Mira segera mengambil wudhu dan berdoa dengan sepenuh hati.
Malam itu, di hari kemenangan yang bahagia, Mira menangis di atas sajadah birunya. ["Bila memang tiada bisa menghindar, maka akan ku jalani takdirku ini."]
Sementara di rumah kecilnya Mira bergelut sedih dengan hatinya, di sisi lain, di sebuah rumah besar milik keluarga terhormat, di dalam sebuah kamar luas yang bahkan hanya bisa di masuki setelah menaiki tangga dengan karpet putih.
Alka memeluk erat istrinya dari belakang.
Sejak seminggu yang lalu, Alka telah merasa keberatan dengan keputusan istrinya yang justru menyetujui ide poligami dari orang tuanya. Ia melayangkan protesnya terhadap Amina, namun apa hendak di kata? Amina juga hanyalah manusia biasa, dan ia juga tak lagi mampu menahan beban kemandulannya itu sehingga membuat sang suami ikut menderita tak memiliki seorang keturunan.
Untuk tahun pertama itu, mereka masih bisa terima, bahkan Amina masih sangat menantikan keajaiban terjadi dan ia bisa hidup layaknya ibu rumah tangga lainnya yang bisa menimang seorang putra. Namun tiga tahun kemudian, Amina merasa lelah, karena hampir setiap hari ia melihat kilatan cahaya redup dalam mata kedua orang tua Alka.
Tentu saja, bagi orang kaya dan terhormat seperti mereka, mempunyai seorang penerus itu adalah hal yang teramat sangat penting. Dan meskipun mereka tak mengucapkannya, Amina tahu, di dalam hati mereka sangat menginginkan seorang pewaris.
Hingga akhirnya, satu minggu yang lalu, entah siapa yang pertama kali memiliki ide hebat itu, hingga akhirnya Amina setuju suaminya berbagi kasih.
Alka semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Amina, dan ia merasakan setetes air mata membasahi punggung tangannya, "sayang, dalam hal poligami ini, bukan hanya kamu yang menderita sendirian, Mas pun juga merasakan hal yang sama. Jadi mas mohon, tarik saja ucapanmu kembali, dan jangan biarkan Mas membagi cinta kita!"
Amina membenamkan wajahnya di dalam bantal, mencoba meredam isak tangisnya yang walaupun sudah ia tahan, namun tetap nakal keluar.
Karena tak mendapatkan jawaban dari istrinya, Alka kembali berkata, "Mas sungguh tak memerlukan seorang putra, dalam hidup ini, memilikimu saja Mas sudah sangat bersyukur, tak lagi muluk-muluk menginginkan hal lain."
Amina menggeleng sedih di antara tangisnya. Ia tahu, suaminya bersedia terus mencintainya tanpa syarat. Tapi sebagai seorang wanita yang tak sempurna, ia tentu memiliki hati yang sangat rapuh dan tak lagi memedulikan hal itu. Karena walau bagaimana pun, kebahagiaan suaminya adalah prioritas utamanya, dan baginya, seseorang akan sempurna merasakan kebahagiaan ketika telah berhasil menimang seorang putra.
Tiba-tiba Alka beranjak berdiri, melepaskan pelukannya pada tubuh Amina, membuat punggung yang awalnya terasa hangat jadi dingin, juga membuat wajah Amina yang semula terbenam di dalam bantal terangkat, "Mas mau kemana?"
"Mau menemui Ayah dan Ibu,"
"Mas! Jangan bilang Mas mau... "