Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Janur Kuning di Rumah Tanteku

Janur Kuning di Rumah Tanteku

Aini Pien

5.0
Komentar
924
Penayangan
20
Bab

Wanita yang merawatnya sejak bayi, ternyata adalah selingkuhan ayahnya. Bertahun-tahun ia tak menyadarinya, hingga suatu hari, tepat di hari pernikahannya, Ningsih menghilang tanpa kabar. Terpaksa tante menggantikan Ningsih dengan Febi, yang tak lain putri kandungnya. Setelah satu tahun lamanya, Ningsih kembali dan menemukan sepupunya telah menikahi calon suaminya. Rasa cinta yang masih sangat dalam membuat Rey ingin kembali menjalin hubungan dengannya. Bagaimana perasaan Febi yang terpaksa menerima kehadiran Ningsih dalam rumah tangganya?

Bab 1 Rintih

Setelah meracuni anak dan suaminya, Sekar menelusuri jalanan sepi di komplek rumahnya. Tempat biasa tukang sayur mangkal, dan diriuhkan oleh ibu-ibu muda yang hobinya ghibah. Tapi jam segini, belum ada manusia yang melintas, mungkin masih asyik menyantap sahur.

Sesekali Sekar merapikan selendangnya yang hanya digunakan untuk menutupi bagian tubuh dari dinginnya waktu menjelang subuh, leher dan sebagian rambutnya masih terlihat terurai.

"Ibu sehat?"

Seorang polisi wanita cantik dengan kerudungnya itu masih syok mendengar pengakuan seorang wanita muda di hadapannya. Perawakannya tak mencurigakan. Bahkan pakaian yang dikenakannya sangat sopan. Kulitnya putih, dari kartu identitasnya terlihat jelas ia asri Indonesia, Sri Sekar Purnawangsih.

Polisi wanita itu mengerutkan dahi sambil sedikit memijatnya. Ia baru saja selesai sahur, makanan yang dilahapnya tadi belum selesai melaksanakan tugasnya. Namun kehadiran sekar meporak-porandakan kenyamanannya. Tapi tak mengapa, sebagai seorang abdi negara ia harus siap kapan pun masyarakat membutuhkannya.

"Ibu, coba ibu jelaskan secara rinci kronologisnya!" ucap seorang lelaki yang baru saja hadir, kelihatannya ia juga baru selesai makan, terlihat jelas dari bekas bibirnya yang sedikit berminyak.

"Saya kan sudah jelaskan tadi! Apa harus diulang?"

Jawaban Sekar membuat kedua petugas keamanan itu saling menatap.

Melihat ekspresi kedua polisi tersebut, Sekar menghela napas panjang.

"Ok Baik saya ulang. Saat sahur tadi saya menyiapkan makanan untuk kedua anak dan suami saya. Dengan sadar yang menambahkan racun tikus ke dalamnya. Dan endingnya seperti yang saya ceritakan tadi!" Sekar mengarahkan pandangannya pada polisi wanita di hadapannya, berharap ia melanjutkan penjelasannya tadi yang ia rasa tak perlu ia ulangi.

Lelaki bertubuh kekar tersebut langsung menghubungi teman-temannya, mereka bergerak ke TKP. Antara percaya atau tidak, tapi sebagai seorang petugas keamanan ia harus melaksanakan tanggung jawabnya.

Sekar terlihat tak ingin banyak berpikir, ia menyerahkan semua barang bukti yang dibutuhkan penyidik tanpa harus diidentifikasi terlebih dahulu. Polisi wanita yang sedari awal tadi mendampinginya mulai menyadari kejanggalan itu.

"Ini baby blues!" monolognya dalam hati.

****

"Bagaimana iblis itu tega membunuh suaminya sendiri!" teriak seorang ibu paruh baya, yang tak lain mertua Sekar.

Ia sedang menangisi jenazah yang kini berada di samping tubuh mungilnya. Tak hanya itu, pemandangan semakin menyayat lantaran di sebelah jasad sang anak juga terbujur kaku jenazah cucu kesayangannya. Kehilangan dua orang sekaligus membuatnya hampir saja pingsan, tubuhnya lemas tak berdaya, beberapa orang terlihat sedang menopangnya agar tetap kuat untuk duduk. Setidaknya, saat ini doa seorang ibu sangat berarti bagi putra dan cucunya.

"Perempuan gila itu harus dihukum seberat-beratnya, Bu!" cecar gadis yang sedang menggenggam tangan ibunya, adik ipar Sekar itu terlihat begitu marah, wajahnya merah padam, isak tangisnya pun penuh dendam.

Rintih hujan ikut mengisyaratkan duka yang mendalam di hati keluarga besar Sekar dan suaminya. Liang lahat yang sedang menganga menjadi bukti betapa kejamnya Sekar pada keluarganya. Kejadian ini menjadi pelajaran penting bagi mereka, bahwa sedekat apapun itu, kita tidak bisa sepenuhnya percaya pada manusia.

"Mungkin ini juga hukuman yang setimpal untuk putramu!" cetus Ratih, berbisik pada wanita paruh baya yang sedang terisak itu, masih menangisi kepergian putra semata wayangnya.

"Biadab!" balasnya.

Matanya memerah, masih tak percaya putranya menikahi keluarga pembunuh. Pernikahan yang awalnya tidak pernah mendapat persetujuan keluarga, akhirnya terbukti menjadi sesal yang tidak akan menemukan muaranya.

Satu persatu kerabat dan tetangga sudah meninggalkannya. Mereka akan menjalani kehidupannya masing-masing dan menjadikan musibah ini sebagai pengalaman yang tak terlupakan, istri yang membunuh anak dan suaminya.

"Mas, bagaimana dengan nasib anak di dalam kandunganku?" rintih seorang wanita cantik.

Wanita yang sedari awal ikut menyaksikan proses pemakaman calon suaminya itu terlihat sangat pucat. Ia tak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi orang tua tunggal, dengan ekonomi yang pas-pasan. Sesekali ia lirik calon mertuanya, berharap ada sebuah harapan yang barangkali mampu menangguh kegalauan hatinya. Namun bukannya ikut menenangkan, wanita paruh baya itu meninggalkannya tanpa berpamitan.

****

"Jadi ibu sempat berhubungan badan dengan suami?"

Sekar mengangguk.

"Setelah itu?" lanjutnya

"Setelah bangun dari tidur, saya menyiapkan makanan dan membubuhinya dengan racun tikus!" pungkasnya. Ia mengatupkan kedua telapak tangan ke wajahnya. Berharap sedikit menenangkan.

"Artinya ibu sudah merencanakan semua proses pembunuhan tersebut?" polisi kembali mengulik kebenarannya.

"Tidak, itu spontan saja terlintas di pikiran saya!" tegas Sekar.

"Motifnya?"

"Saya dipaksa untuk menerima selingkuhan suami yang saat ini sedang hamil, tapi saya menolak!" mata Sekar mulai berbinar.

Pertengkaran hebat memang sempat terjadi, lelaki yang sangat dicintainya meminta Sekar agar bersedia dimadu. Hingga akhirnya penolakan Sekar tak berbuah manis, ia dengan terpaksa harus menerima keinginan suaminya.

"Tapi saat sahur tiba, saya menyadari bahwa dari lubuk hati saya yang paling dalam, saya belum bisa menerima kenyataan itu!" Sekar terisak. Ia kembali mengenang apa yang telah ia lakukan.

"Lantas, mengapa ibu juga tega meracuni anak?" polisi masih terus bertanya.

"Karena saya tidak ingin anak perempuan saya merasakan hal yang sama di masa depannya. Saya takut, Pak!" Sekar semakin menjadi-jadi, tangisnya sudah tak terkendali, ia juga berteriak dan meronta, menyebabkan pihak kepolisian harus mengamankannya.

Jelas dapat disimpulkan Sekar mengalami tekanan mental yang sangat besar, hingga ia dengan sadar ikut membunuh anak perempuannya. Gejolak batin yang ia pendam tentunya bukan sejak tadi malam, ia telah mengorbankan banyak hal sebelumnya. Berperang dengan perasaan sendiri tentu tidak mudah, kini ia harus menelan semua risiko atas apa yang telah dilakukannya. Suami adalah rumah baginya untuk pulang, namun saat rumah tak lagi menjadi tempat ternyaman, lantas pada siapa seorang istri harus berlabuh?

"Saya akan merawatnya, Mbak! Tapi dengan satu syarat, ia tidak perlu mengetahui siapa ibu kandungnya!"

Sekar yang tak bisa mengontrol perasaannya tak peduli dengan syarat yang ditawarkan sang adik, ia bahkan tak mengenal dirinya sendiri untuk saat ini.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku