icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Rumah Tanggaku

Rumah Tanggaku

Elfira

5.0
Komentar
464
Penayangan
14
Bab

Pasutri baru tentu ingin selalu bahagia, tanpa ada masalah apa pun di dalamnya. Pasutri baru pasti beranggapan jika menikah barang tentu bahagia. tapi, kenyataannya Aku dan suamiku harus menghadapi berbagai macam konflik rumah tangga. Aku harus bersabar menghadapi keluarga suamiku yang sama-sama tinggal di satu atap. Aku harus bisa menjadi istri yang mampu mengelola keuangan sebaik mungkin karena banyak pengeluaran rumah tangga, belum lagi soal anak yang tidak kunjung datang dan masih banyak masalah lainnya. sanggupkah aku bertahan dengan rumah tanggaku yang penuh masalah ini?

Bab 1 Rumah tanggaku 1

Yang di pikirkan seorang wanita ketika ia di lamar seorang pria yang ia cintai tentulah bahagia. Itu sudah pasti kan, lalu yang di rasakan lagi adalah sebuah kecemasan saat ia akan di bawa sang suami ke rumahnya.

Ketika akhirnya ia harus mengurus suaminya, membersihkan rumah dan juga menyiapkan makanan untuk sang suami. Tapi, itu semua akan terasa indah karena mereka saling mencintai dan bayangan sang wanita adalah ia di bantu suaminya, di peluk mesra, bercanda dan tak jadi makan karena mereka lebih memilih bercengkrama bersama.

Duh, membayangkan itu membuatku jadi tersipu malu. Bodohnya, bisa-bisanya aku membayangkan hal semacam itu padahal baru di lamar kemarin. Aku langsung melepas mukenahku dan merapihkannya.

Aku menatap diriku di cermin dan di sana terlihat seorang wanita yang tengah tersipu malu dengan pipi merona kemerahan. Dan itu aku.

Apa orang bilang? Panas! Karena aku tengah memikirkan tentang pernikahanku. Ah, sudah, lupakan itu. Aku harus sadar pekerjaanku banyak. Aku memakai hijabku dan langsung keluar dari kamar untuk membantu pekerjaan Ibuku.

"Sudah sholat subuh?" tanya Ibuku. Aku mengangguk dengan cepat dan menghampiri Ibuku.

"Apa yang harus aku kerjakan?" tanyaku riang. Ibu justru tersenyum melihatku.

"Senang ya kemarin habis di lamar?" godanya. Membuatku tertunduk malu.

"Kenapa bahas itu sih, Bu? Malu kan?" jawabku lirih.

"Kenapa harus malu, kamu harus bahagia, karena Ibu yakin Ibnu calon mu bisa membuat dirimu bahagia, dan itu harus." Aku menatap Ibu dengan penuh cinta. Ibu yang membesarkan aku seorang diri karena Ayah pergi meninggalkan kami ketika aku masih kecil dulu.

"Terima kasih, Ibu," ucapku tulus. Ibu hanya kembali tersenyum.

"Ya sudah, bantu Ibu potong sayurannya, ya."

"Siap!"

Kami pun saling bahu membahu untuk membuat sarapan. Walau hanya tinggal berdua saja, Ibu tidak pernah lupa untuk memasak. Bagi Ibu ketika kita memasak maka akan membuat rumah nampak hangat. Kita bisa memasak bersama, sarapan bersama dan membereskan sisanya bersama-sama.

Aku dan Ibu sudah seperti sahabat saja, apa pun aku ceritakan pada Ibu tanpa terkecuali. Tapi entahlah apakah ketika nanti sudah menikah aku masih bisa bercerita banyak hal bersama Ibu?

Lalu apakah nanti Ibu tidak kesepian ketika aku pergi? Mendadak aku terdiam mengingat itu semua. Haruskah aku menikah, atau haruskah aku tetap sendiri untuk bisa menjaga Ibu?

"Jangan memikirkan hal yang tidak perlu, Ibu bisa sendiri tanpamu, justru kalau ada kamu, Ibu jadi semakin repot karena harus masak porsi dua orang." Aku menoleh pada Ibu dan langsung marah.

"Ibu keterlaluan!" rajukku. Ibu tertawa melihatku kesal. Aku tersenyum kecil, bagaimana mungkin Ibu ku tahu isi hati ku ini. Ibu ku memang yang terbaik. Aku bergegas memeluknya dengan erat dan penuh sayang.

****

Aku tengah bersantai di kamar saat Ibu ijin keluar sebentar. Aku adalah tipe wanita yang tidak suka keluar rumah dan bergaul dengan banyak orang. Jadi, aku lebih memilih untuk mengurung diri di dalam kamar dengan ponsel di tanganku.

Dan saat tengah asik berselancar di dunia maya sebuah notif pesan masuk ke dalam Wa ku. Aku bergegas membukanya karena aku tahu itu dari siapa.

"Assalamu'alaikum?" Sebuah pesan singkat berupa salam dari calon suamiku.

"Wa'alaikumsalam, Mas," jawabku dengan raut wajah bahagia.

"Hari ini mau ikut beli seserahan?" tanyanya. Dengan hati berdebar dan bahagia aku mengangguk. Eh, untuk apa pula aku mengangguk, kan, calon suamiku tidak bisa melihatnya. Bodohnya aku.

"Ya, Mas," jawabku singkat. Jujur, kami berdua tidak melalui tahap pacaran. Kami hanya saling tahu satu sama lain. Dan saling menyukai sepertinya, eh, bukan sepertinya karena itu adalah kenyataan, terbukti dari calon suamiku yang melamarku kemarin. Ya kan, begitu kan?

Bagaimana sih awal kami bertemu? Baiklah aku ceritakan. Kami bertemu di sebuah Masjid komplek. Tentu saja komplek rumah kami. Aku di ajak salah satu tetanggaku yang seorang guru ngaji. Seumuran denganku sekitar usia 23 tahun. Dan karena Ibu ku tahu aku di ajak ke tempat yang baik untuk beribadah, maka Ibu dengan semangat mendorongku untuk ikut mengajar ngaji.

Awalnya aku menolak tapi kata Ibu. "Ketika kita memiliki ilmu, maka bagilah agar ilmu yang kamu miliki bermanfaat. Untuk apa kamu hebat sendiri, tapi tidak berguna untuk orang lain?"

Ya, kira-kira seperti itu nasehat Ibu yang membuat aku akhirnya mau mengajar ngaji di sebuah Masjid.

Saat di Masjid itulah aku bertemu dengan beberapa guru ngaji yang tak jauh berbeda dengan usiaku. Ternyata semua yang mengajar adalah anak-anak muda yang hebat dan cerdas. Aku jadi salut melihat perjuangan mereka untuk mengajar ngaji tanpa di bayar.

Anak-anak yang mengaji juga lumayan banyak. Aku menyukai suasana di Masjid ini. Oh ya, perkenalkan beberapa guru ngaji yang berteman denganku.

Jaya, ia adalah laki-laki yang pandai membaca al'quran dengan suara merdunya. Ia orang yang tegas dan tak kenal senyum pada wanita. Baginya dosa!

Lalu ada Izlam, ia laki-laki paling muda di antara kami, sekitar umur 19 tahun. masih kuliah dan sangat polos dan juga paling tampan serta imut. Aku menganggapnya adik tapi hanya di hatiku saja, tidak berani mengungkapkan langsung perasaan itu.

Lalu sahabatku Endah, yang sekaligus tetangga dekatku. Ia juga yang mengajakku untuk mengajar ngaji di Masjid ini. Lalu di mana aku bertemu calon suamiku?

Tentu saja di Masjid ini juga, hanya saja calon suami ku ini bukanlah seorang guru ngaji, ia hanya laki-laki yang rajin sholat di Masjid, ketika, Magrib, Isya dan subuh. Berarti selain itu ia di rumah atau tengah bekerja. Itu yang aku tahu.

Dan bagaimana aku bisa kenal dengannya sampai aku di lamar?

Itu karena calonku, Mas Ibnu suka ikut membantu anak-anak mengaji sampai waktu isya datang. Jadi selepas sholat magrib, Mas Ibnu tidak pernah pulang melainkan menunggu sembari mengajar sampai sholat isya tiba.

Dan saat itulah kami sering bertemu karena sama-sama mengajar ngaji anak-anak. Tak pernah sekali pun ada percakapan di antara kami, hanya terkadang saling lirik saja tanpa ada senyum di bibir kami.

Tapi hatiku tergerak, berdegup kencang kala melihat matanya yang tak sengaja bertemu itu. Kami akan langsung menunduk dan mengalihkan perhatian kami pada yang lain.

Tapi, walau begitu kami sering curi pandang membuat Jaya berdehem kala kami tak sengaja ketahuan olehnya. Usia Jaya dan Mas Ibnu berbeda tiga tahun. Jaya itu seumuran dengaku yaitu 23 tahun sementara Mas Ibnu ia berusia 26 tahun. Ya, berbeda tiga tahun dengan kami.

Sampai suatu ketika aku tak sengaja melihat Mas Ibnu berbicara berdua dengan Jaya. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak tahu karena menguping adalah hal yang dosa. Jadi, biarkan mereka dan Allah yang tahu. Aku memilih untuk segera masuk ke dalam Masjid dan bergabung dengan yang lain untuk briefing sebelum mengajar.

Dan setelah mengajar kurang lebih tiga bulan, Mas Ibnu memberikan sebuah pesan pada Jaya, lalu Jaya memberikan pesan itu pada Endah sahabatku dan terakhir Endah menyampaikan itu padaku.

Aku tentu saja terdiam mendengar pesan dari Endah dari Mas Ibnu untukku. Aku meliriknya dan ia mengangguk dengan senyum kecil menghias di wajahnya. Aku menunduk dan tersenyum dalam diam.

Aku berbisik pada Endah. "Katakan, datanglah ke rumahku, jika ia memang ingin melamar." Endah tersenyum senang mendengarnya dan langsung menyampaikan itu pada Jaya dan seterusnya.

Kami yang duduk melingkar sehabis mengajar ini hanya saling diam dengan pikiran masing-masing. Tentu saja ada raut bahagia yang tercetak jelas di wajah Mas Ibnu. Wajah yang tertunduk itu terlihat memerah dengan senyum merekah indah di sana.

Mas Ibnu, laki-laki yang membuat jantungku berdegup kencang, kini tengah berniat untuk melamarku. Aku menunduk, tersipu, berdegup, tak sanggup berkata-kata. Intinya aku bahagia, karena laki-laki itulah yang ingin meminangku.

Begitulah akhirnya aku bisa menjadi calon istrinya dan ia menjadi calon suamiku.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Elfira

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku