Rumah Tanggaku
miku membeli seserahan. Berdua? Tentu saja tidak, kami di teman
i masih berjauhan. Terkadang tidak sabar untuk segera halal dan bisa di perhatikan lebih
u menatap wajahnya ternyata ia sadar lalu menoleh padaku dan member
ihat oleh calon suamiku. Lah, aneh kan tadi mikir yang iy
ka macam seserahan dan juga sovenir pernikahan. Kami berjalan menyusuri
mbeli dengan harga berapa pun itu. Eh, nggak boleh bicara begit
n di Dunia ini. Hehehe. Kembali aku melirik sang calon suamiku yang tampa
tersentak kaget dan langsung tersadar dari lamunanku, bisa-bi
p. Mas Ibnu yang mendengar su
gan di paksa takutnya malah jadi mubazi
ai pilihannya. Sebenarnya apa pun itu aku akan menerimanya, aku tidak pah
yang mereka be
warna hitam itu. Lucu, terliha
enir. Acara memang tidak di buat besar apalagi mewah, tapi setidaknya kami tetap ingin memberika
sa menyentuhmu untuk menyelamatkanmu," bisik Mas Ibnu tepat di sebelah telingaku
bergegas menyamakan langkah dan kami ma
*
sudah selesai, dan aku tidak bisa bertemu dengan calon suamiku. Wal
bahasa adatnya, begitu kiranya. Dan aku pun tak masalah, toh, aku bukan wanita yang di mabuk cinta
a ya nanti? Penasaran dengan itu aku pun beranjak dari
pintu kamar Ibu sampa
kamarnya. Aku melihat Ibu tengah membaca al'qura
lembut. Ibu ku sep
dan manja duduk
a, boleh?
, tany
ng istri, apa yang harus kita l
us patuh k
ang ia u
jak ke dalam keburukan, kamu w
al
belum ia minta, siapkan pakaian kerjanya sebelum ia bangun, siapk
ana kit
etika sudah menja
erat menjadi s
berat menjadi
nap
g semuanya. Dosa istrinya, rum
ri kalau semua di t
ita adalah meringankan beban suami, dengan kita mengurus rumah, mengurus anak, dan mengurus suami agar ia bisa b
tri yang baik kenapa Ayah tetap pergi meninggalkan kita, Bu?" tany
gerti ucapannya tapi aku tahu ada kesedihan terdalam di kalimat itu.
h setelah Ibu bercerai. Entah bagaimana
enikah kalau Ayah tidak a
bu yang membuatku ter
aat aku melihat kepala Ibu mengangguk a
na bisa?
yang menghub
u .
ar Ayahmu, nanti kamu akan tahu kenap
dan aku akan terus percaya pada Ibu. Kar
h pertanyaanku karena sebagai sesama wanita aku tahu ba
lalu dan sekarang Ibu sudah l
anita
t apa
aku bangga punya
juga harus buat I
nya aku buat Ib
ngga suami mu tidak meningg
h aku
imu. Jawabannya han
ku jadi
h pada suami mu, jika ia
hu, kan, aku baru
rima lamarannya." Aku menge
a dar
Y
nap
, kamu sangat bahagia, bukan begitu?" Aku
ikan acuan, paham, Nak?" Aku mengangguk dan memeluk Ibuku dengan e