Happy reading!
Malam semakin larut, tapi Anita masih berdiri di depan cermin dengan resah. Matanya menelusuri pantulan tubuhnya yang terbungkus lingerie tipis berwarna hitam, dipadukan dengan cardigan yang menggantung longgar di pundaknya. Wajahnya dirias lembut, rambutnya tergerai indah, dan bibir merahnya dioleskan lipstik menggoda. Dia bertekad, malam ini harus berhasil bersatu dengan suaminya.
Sudah dua tahun dia merindukan sentuhan Steven, tapi suaminya selalu pulang larut dengan alasan kelelahan dari pekerjaannya sebagai CEO. Ia sudah tiga tahun menjabat menjadi seorang CEO.Steven memang pria baik, tampan, dan sangat menyayanginya, tapi kebahagiaan itu terasa tak lengkap. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang membuat Anita merasa sendirian meski Steven selalu di sisinya.
Anita menatap bayangannya sekali lagi. "Aku harus melakukannya malam ini,,aku akan memancingnya" gumamnya.
Ketika suara mobil terdengar dari depan rumah, jantung Anita berdegup kencang. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Aku harus berhasil."
Steven membuka pintu, tampak lelah, tapi tetap dengan senyum hangat yang biasa ia berikan setiap kali pulang. "Hai, sayang," ucapnya dengan lembut, meletakkan tas kerjanya di meja dekat pintu.
Anita berjalan pelan ke arahnya, berdiri di depan Steven yang masih melepas dasinya. "Hai, sudah pulang," jawabnya dengan suara lembut namun mengandung kegugupan. Tatapannya berusaha menangkap mata suaminya, tapi Steven sepertinya terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.
Steven memeluk erat istrinya ,dan mencium keningnya lembut.
"Kamu kelihatan... berbeda malam ini." Steven akhirnya memperhatikan penampilan Anita.
Anita tersenyum kecil, Dia mendekat, membiarkan tangannya menyentuh lembut dada Steven yang masih dibalut kemeja kerja. "Aku... hanya ingin malam ini jadi spesial buat kita," bisiknya, berharap Steven memahami isyaratnya.
Steven menatapnya, dan Anita bisa melihat bahwa meskipun senyum Steven masih tergambar, ada keraguan di balik matanya. "Sayang, aku tahu apa yang kamu inginkan. Tapi, aku benar-benar lelah. Besok ada rapat besar, dan aku butuh istirahat," jawabnya, suaranya terdengar bersalah.
Anita menggigit bibirnya, rasa frustrasi mulai muncul. "Steven, ini sudah dua tahun... Aku juga butuh kamu. Aku butuh kita," ucapnya, suaranya hampir pecah, tapi dia berusaha tetap tenang.
Steven meraih tangan Anita, menggenggamnya lembut. "Aku mengerti, Anita. Aku tahu ini sulit untukmu... untuk kita. Tapi pekerjaan ini sangat menyita tenaga, dan aku hanya butuh sedikit waktu lagi. Aku janji, nanti kita akan punya waktu untuk... semuanya."
Anita menatap mata suaminya yang sayu, tapi hatinya terasa kosong. "Nanti?" gumamnya. "Berapa lama lagi, Steven? Aku butuh suamiku, bukan hanya CEO perusahaan besar. Aku butuh kamu ada di sini, bersamaku, secara utuh."
Steven terdiam, bibirnya bergerak seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kata yang keluar. Akhirnya, dia hanya menghela napas panjang. "Aku... aku akan mencoba lebih baik, Anita. Aku janji."
Malam itu, meskipun kata-kata Steven membuat Anita sedikit patah hati, ia tidak pantang mundur. Di kepalanya, terlintas tekad yang semakin kuat untuk menyelamatkan pernikahannya, untuk memulihkan kedekatan yang dulu pernah mereka miliki. Steven mungkin lelah, tapi Anita yakin, dengan usaha lebih, ia bisa menghidupkan kembali kehangatan di antara mereka.
Anita menoleh dan tersenyum lembut."aku sudah siapkan semuanya. Makanan sudah siap, dan aku juga menyiapkan air hangat untuk kamu mandi. Percayalah, kamu akan merasa jauh lebih baik setelah itu."
Steven tampak terkejut oleh perhatian Anita. Dia menatap istrinya sejenak, lalu tersenyum kecil. "Kamu benar-benar luar biasa, Anita. Aku... aku tidak tahu bagaimana bisa begitu beruntung memilikimu."
Anita menahan perasaan haru yang muncul di dadanya. "Inilah yang aku inginkan," pikirnya. Sebuah pengakuan kecil dari Steven sudah cukup baginya untuk merasa dihargai. "Kamu yang penting di sini, Steven. Aku hanya ingin kamu merasa nyaman," jawabnya lembut.
Steven mengangguk, lalu melangkah menuju kamar mandi. Sementara itu, Anita kembali ke dapur, menata meja makan dengan rapi, memastikan suasana tetap hangat dan romantis. Dia memasang lilin kecil di tengah meja, menciptakan cahaya lembut yang menambah suasana intim.
Setelah beberapa saat, Steven keluar dari kamar mandi, rambutnya masih sedikit basah, tapi wajahnya terlihat lebih segar. "Air hangatnya luar biasa. Terima kasih, sayang," katanya sambil mendekati meja makan.
Anita menarik kursi untuk Steven, mempersilakannya duduk. "Sekarang makanlah, kamu pasti sudah lapar."
Mereka mulai makan dalam keheningan yang damai, hanya suara peralatan makan yang terdengar. Tapi Anita merasa, inilah momen yang tepat. "Steven," panggilnya lembut setelah beberapa suapan, "Aku tahu kamu sibuk, dan aku menghargai semua kerja kerasmu. Tapi... aku juga merindukan kita, merindukan waktu-waktu saat kita hanya menjadi pasangan suami istri tanpa gangguan apa pun."
Steven meletakkan garpunya, menatap Anita dengan tatapan lembut tapi sedikit terkejut. "Aku tahu kamu merasakan itu, dan aku... aku minta maaf, Anita. Pekerjaan ini benar-benar menyita segalanya dari hidupku."
Anita tersenyum tipis, berusaha tetap tenang. "Itulah yang aku khawatirkan, Steven. Aku tidak ingin kehilangan kita di tengah semua kesibukan ini."
Suasana di antara mereka mulai menghangat. Anita meraih tangan Steven di atas meja, menggenggamnya erat. "Malam ini, aku ingin kita melupakan semua itu. Hanya kita berdua. Apakah itu terlalu banyak diminta?"
Steven menatap tangan Anita yang menggenggamnya, kemudian menghela napas pelan. "Tidak, sayang... kamu benar. Aku harus lebih memperhatikanmu, memperhatikan kita. Aku janji malam ini aku akan ada untukmu." Dia tersenyum hangat, mencium punggung tangan Anita dengan penuh kasih.
Perlahan tapi pasti, Anita merasakan dinding yang dibangun di antara mereka selama dua tahun terakhir mulai runtuh. Mereka berbagi senyuman, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada rasa koneksi yang nyata di antara mereka. "Ini awal yang baik,"pikir Anita.
Malam itu, setelah makan malam selesai, mereka duduk di ruang tamu, mengobrol santai. Tak ada lagi percakapan tentang pekerjaan atau rapat penting, hanya cerita ringan dan tawa kecil yang dulu begitu mereka nikmati. Anita merasa, mungkin untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Steven benar-benar ada di sana bersamanya-bukan sebagai CEO, tapi sebagai suaminya.
Setelah makan malam yang penuh kehangatan, suasana di rumah mereka semakin intim. Anita tertawa kecil di samping Steven, merasakan hangatnya perhatian yang selama ini ia rindukan. Senyum di wajahnya begitu tulus, memperlihatkan betapa dia sangat menghargai setiap momen ini. Steven, di sisi lain, tampak lebih rileks dan lebih dekat dengan istrinya daripada sebelumnya. Malam ini, seakan beban yang biasanya menekan bahunya telah menghilang.
Saat percakapan mereka mulai mereda, Steven berdiri dari sofa, menatap Anita dengan tatapan lembut yang penuh cinta. Tanpa banyak kata, ia meraih tubuh Anita, mengangkatnya dengan mudah dalam gendongannya. Anita terkikik pelan, tapi hatinya berdegup kencang, merasa seperti pengantin baru lagi.
Steven menatapnya penuh kasih, bibirnya tak pernah jauh dari wajah Anita. Dia mendaratkan ciuman lembut di dahinya, lalu turun ke pipi, dan akhirnya bertemu dengan bibir istrinya. Ciumannya terasa lembut dan hangat, seakan membangkitkan semua cinta dan hasrat yang selama ini terkubur oleh rutinitas dan kesibukan.
Anita memeluk leher Steven erat-erat, merasa begitu nyaman dalam pelukannya. "Aku merindukanmu, Steven," bisiknya di sela-sela ciuman mereka, matanya mulai berkaca-kaca oleh emosi yang membanjiri hatinya.
"Aku juga merindukanmu, sayang," jawab Steven, suaranya terdengar dalam dan hangat di telinga Anita. "Aku minta maaf karena sudah membuatmu menunggu selama ini."
Saat mereka tiba di kamar, Steven menurunkan Anita dengan lembut di atas tempat tidur. Tapi, ciumannya tidak berhenti. Bibirnya terus bergerak lembut di sepanjang leher Anita, membuatnya merasakan getaran bahagia yang sudah lama tak ia rasakan. Anita terpejam, menikmati setiap sentuhan, setiap belaian yang begitu ia rindukan.
Tubuh Anita terasa hangat, hatinya berdebar bahagia. "Ini yang aku tunggu-tunggu," pikirnya. Malam ini, ia merasakan cinta Steven sepenuhnya, seolah tak ada lagi jarak yang memisahkan mereka. Setiap sentuhan Steven di kulitnya terasa begitu berarti, seakan menutup celah yang selama ini menganga di antara mereka.
Anita tak kalah agresif nya ia ingin membuat suaminya bahagia dan ketagihan dengan servisenya kali ini.
Ia membuka celana Steven dan mengeluarkan tongkat saktinya,yang belum ereksi,ia mengulum ya sampai tongkatnya berdiri.Anita senang sekali melihat kepunyaannya berdiri tegak.
Sedangkan Steven kini tengah terbawa suasana oleh lumatan istrinya"akhhh ....trus sayang.."desis Steven
Anita sangat bahagia,akhirnya setelah lama ia menunggu momen hangat bersama suaminya kini terkabulkan.
Steven sudah tidak tahan,dan langsung merebahkan istrinya,mengarahkan penis besar nya pada lubang kenikmatan Anita yang sudah sangat becek.namun, tongkat yang awalnya tegak tiba tiba menciut.
Anita harus menelan kekecewaan itu,"maafkan aku Stev aku tidak tahu kamu begitu lelah."ucap Anita berusaha menghilangkan rasa kecewanya.
"Seharusnya aku yang minta maaf sayang,aku terlalu lelah bekerja hingga tak ada waktu untuk mu,aku janji aku janji nanti setelah pekerjaan ku sedikit berkurang,kita akan jalan jalan,"ucap Steven.
"Iya Stev..aku tunggu momen itu."ucap Anita memeluk tubuh suaminya.
Bab 1 Kecewa
21/09/2024
Buku lain oleh yuliani
Selebihnya