Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Cinta Gadis Biasa

Cinta Gadis Biasa

Setitik Cahaya

5.0
Komentar
75
Penayangan
5
Bab

"Ku akui, aku pernah mengagumimu, jauh sebelum hubungan kalian tercipta, namun aku sudah menyadari bahwa kekagumanku hanya sebatas sallut. "Andai kata kalian tidak mempunyai hubungan khusus itu, apa mungkin kamu akan mendekatiku? "Andai kata kalian tidak back street, apa mungkin kita akan menjadi akrab? "Aku hanya bisa berharap, semoga kamu akan menemukan seseorang yang lebih baik dariku dan Wati karena aku sudah menemukan seseorang yang mencintaiku dengan tulus. Penasaran dengan kisah selengkapnya? Yuk simak kisahku, biar kalian tidak penasaran lagi... Semoga kalian suka ya... Jangan lupa hadianya Raeders yang baik... . . .

Bab 1 .

"Hallo..." terdengar suara seseorang di seberang sana.

"Hallo..." jawabku sembari menautkan kedua keningku. Ya, aku kebingungan sendiri saat mendengar suara dari orang asing tersebut. Pasalnya, sebelum suara itu terdengar, aku sedang bercanda dengan saudara sepupuku yang bernama Sita.

Saat itu, ia berada di sebuah desa yang cukup jauh untuk melaksanakan magang, kami sangat akrab layaknya kakak beradik kandung.

Aku yang hanya merupakan anak perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara, merasa sangat senang bisa mempunyai seorang adik sepupu seperti Sita.

Ia adalah seorang Gadis yang suka bercanda dan ceplas-ceplos, membuatku kecanduan untuk menggodanya.

"Suaramu benar-benar indah, nama kamu siapa?" tanya suara asing itu lagi.

Aku pun hanya mendengus kesal untuk meluapkan kekesalanku, "Maaf Cowok, salah sambung."

Seketika, terdengar bunyi 'tuut' di seberang sana. Itulah awal dari percakapan virtualku dengan seorang 'Cowok Aneh'.

Selang lima menit kemudian, muncul notifikasi sebuah pesan baru dari nomor baru.

"Assalamualaikum Rara... Saya Alan,"

"Saya dapat nomor kamu dari Sita."

"Maaf jika sebelumnya, saya merebut ponsel Sita karena saya hanya ingin berkenalan denganmu, ketika saya mendengar suaramu yang indah dari ponsel Sita."

Aku masih bingung dan ragu dengan penjelasannya. Aku mencari riwayat panggilan kemudian menekan tombol hijau dari ponselku.

"Maaf Kak," jawabnya setelah panggilan kami terhubung. Ada nada penyesalan dari suaranya.

Namun, aku tidak ingin mengabaikan hal ini begitu saja. "Jelaskan apa yang sebenarnya terjadi!" Dengan nada yang penuh penekanan.

"Sebenarnya, ketika kak Alan lewat, ia mendengar suara Kakak, lalu mengambil ponsel yang aku letakkan di atas meja ..." jelasnya menggantung.

"Owh... Jadi tadi di loud ya..." sembari melototkan kedua netra dan mengeraskan rahangku.

Jujur saja, aku orang yang sangat tertutup. Nomor ponsel yang sedang kugunakan waktu itu adalah nomor yang hanya di ketahui oleh kerabat dan orang-orang terdekat saja. Selain itu, aku tidak terlalu suka berurusan dengan yang namanya 'Sok kenal, sok dekat.'

"Iya, soalnya aku lagi ngikat sepatuku Kak." tambahnya dengan nada yang merendah.

Membuatku pasrah dan menahan kekesalanku. "Hmmm, terus?" Sembari mengangkat sudut bibir kananku.

"Kayaknya kak Alan langsung nyimpan nomor Kakak di daftar kontaknya."

Aku hanya bisa menghembuskan nafasku kasar, untuk melepaskan amarahku kepada Sita, kemudian memutuskan sambungan telepon.

Setelah semuanya jelas, dengan terpaksa aku membalas chat dari Pria Asing tersebut.

Hanya dengan sebuah pesan singkat untuk menjawab salamnya, "Waalaikumussalam."

Beberapa detik kemudian, ponselku berdering pertanda sebuah telepon yang masuk.

"Dia lagi," gumamku kesal. Dengan malas kumeladeni panggilannya, "Ya."

"Maaf Rara, semoga tidak mengganggu aktifitasmu."

"Hmmm,"

"Kamu sedang apa Ra?"

"Lagi berbaring sambil memegang sebuah alat komunikasi yang bernama hand phone di telingaku."

"Wk-wk-wk, ternyata kamu lucu juga ya...,"

"Hey, aku sedang kesal."

"Kesal kenapa?"

"Kesal dengan orang yang sedang menelponku."

"Ha-ha-ha, kamu benar-benar lucu Ra, pantas saja Sita selalu tertawa jika sedang menelponmu,"

"Dasar Cowok Aneh, memangnya dia tidak sadar aku sedang menyindirnya." gumamku membatin, berbagai sindiran lainnya kutujukan untuknya, namun ia hanya menganggap diriku lucu.

Aku menjadi semakin kesal dibuatnya, kuabaikan segala celotehannya dengan mengucapkan 'Hmmm' ketika ia menanyakan keberadaanku. Tanpa sadar aku terlelap tanpa mematikan sambungan telepon darinya.

Dua jam lamanya aku terlena di alam mimpi, ketika itu sinar mentari di siang terik, mulai condong ke timur itu masuk melalui jendela kamarku dan memancarkan cahayanya yang sangat menyilaukan.

Seketika, pelupuk mataku terbuka perlahan-lahan karena pantulan dari sinarnya, "Astagfirullah ...," pekikku setelah aku melihat jam weker yang sudah menunjukkan pukul satu siang.

Aku langsung bangkit dari tempat tidurku dan bergegas mengguyur seluruh tubuh, kemudian bersiap-siap melaksanakan sholat Dzuhur di dalam kamar.

Tidak ada satu orang pun di rumah ini yang mengetahui rutinitasku tersebut. Mereka hanya mengira aku tidur dan bersemedi di dalam kamar, bahkan mereka sering mengejekku dengan sebutan 'Putri tidur'.

Setelah selesai, aku mengambil Al-Qur'an yang selalu kusembunyikan bersama mukena dan sajadahku di sebuah laci meja belajarku.

Kulantunkan sabda-sabda-Nya dengan merdu dengan suara yang sangat lirih, agar tidak ada yang bisa mendengarnya. Setelah tiga 'ain, aku mengucapkan, "Shadaqallah huladzim...," sembari menutup Al-Qur'an kemudian mengecupnya lembut.

Dengan perasaan yang plong, kurebahkan tubuhku di atas kasur dan menghidupkan layar ponselku, "Apa!!!?" pekikku membatin ketika kumelihat ia belum memutuskan panggilannya sedari tadi.

Aku mencoba menguping untuk mencari tahu apakah ia sengaja melakukannya atau ia juga lupa memutuskan sambungan telepon kami?

"Owh.. iya, terus, ha-ha-ha, iya Sayang, nggak apa-apa," dan berbagai celotehan lainnya seakan-akan ia sedang berbicara dengan seseorang.

"Dasar aneh." rutukku membatin, aku pun tidak ingin memutuskan panggilannya karena aku tidak ingin ia menyadari bahwa aku sudah mengetahui drama yang sedang ia perankan. Hal itu sangat jelas ketika aku menangkap suara angin seolah-oleh ia sedang berjalan sembari memasang headset ditelinganya dan berpura-pura berbicara dengan seseorang.

'Kartu lama, sangat mudah ditebak' itulah yang muncul di fikiranku, akhirnya aku memilih untuk mengabaikannya lagi dan mengambil novelku yang berjudul 'Ayat Ayat Cinta' karya Habiburrahman.

Aku terlarut dalam dunia novel, sehingga melupakan si penelepon yang aneh itu. Entah sampai kapan ia akan bertahan seperti itu.

Kruuk-kruuk-kruuk

Terdengar panggilan alam dari kas dapurku, akupun menyudahi kegiatanku dan bergegas menuju ke pelipir untuk memenuhi brangkas.

Tak lama kemudian terdengar suara Adzan yang menandakan waktu Ashar telah tiba.

Aku kembali ketempat persemedianku yang sebelumnya, kemudian bersiap-siap untuk menunaikan kewajibanku lagi.

Setelah selesai, aku menjadi penasaran dengan 'si Aneh' itu. Kuambil ponselku untuk menjawab rasa penasaran yang menyelimutiku.

"Mungkin ia sudah menyerah," gumamku ketika melihat riwayat panggilan yang baru saja ia putuskan sepuluh menit yang lalu, lebih tepatnya ketika Adzan Ashar berkumandang.

Aku mematikan ponselku untuk mengisi daya. Aku pun bergegas ke pelipir dan melaksanakan tugas rumah ala seorang anak Gadis.

.....

Malam harinya setelah sholat Isya, kunyalakan ponselku yang sedari tadi masih tetap dalam keadaan tidak aktif.

Tiba-tiba...

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku