Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Sang Pemuas
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Pagi itu, Nina merasakan ketegangan yang aneh saat melangkah ke kantor. Udara di luar terasa begitu panas, meski matahari baru saja menyembul dari balik awan. Sejak pindah ke kota ini beberapa bulan lalu, Nina merasa hidupnya mulai kembali normal. Dia menikmati ketenangan, jauh dari kenangan buruk dan kebencian yang ia pendam terhadap masa lalunya. Di sini, di kota yang jauh dari semua yang pernah dia kenal, dia berharap bisa mulai dari awal.
Namun, semua harapannya sirna ketika langkah kakinya berhenti di depan pintu kantor yang baru ia masuki pagi itu. Mata Nina langsung tertuju pada papan nama besar di atas pintu ruangan yang tidak asing baginya-"Direktur Utama, Leo Sutrisno." Nama itu terasa begitu berat di dadanya, seolah-olah mengingatkan kembali akan segalanya yang ia coba lupakan.
Seperti di luar kendali, kakinya bergerak sendiri memasuki ruang kantor. Begitu menginjakkan kaki di dalam, suasana di ruangan itu terasa begitu berbeda-berat dan dingin. Nina menelan ludah, matanya tidak bisa lepas dari sosok yang sedang duduk di meja direktur, sibuk dengan tumpukan dokumen di hadapannya.
Leo.
Pria itu masih tampak seperti dulu-terlalu tampan untuk bisa dilupakan. Hanya saja, kini ada sesuatu yang berbeda. Wajahnya yang dulu penuh keceriaan kini dipenuhi dengan ekspresi serius dan penuh kewibawaan. Tak ada lagi senyuman yang dulu selalu membuat hatinya berdebar. Nina merasa udara di sekitar mereka menjadi begitu tebal, hampir sesak, meskipun dia baru saja memasuki ruangan.
"Halo, Nina." Suara Leo terdengar datar, tanpa kehangatan yang biasanya mengiringi namanya.
Nina hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Leo berbicara seolah-olah tidak ada apa-apa yang terjadi antara mereka. Seolah-olah perpisahan yang menyakitkan itu tidak pernah terjadi, dan semua kenangan indah yang pernah mereka bagi hanya terhapus begitu saja.
Nina menatap Leo dengan tatapan tajam. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya, berusaha menahan suara yang hampir pecah. "Apa-apaan ini, Leo?"
Leo hanya menatapnya dengan pandangan kosong, seolah tidak ada yang perlu dijelaskan. "Aku bos di sini," jawabnya, suaranya datar namun penuh makna.
Setiap kata yang keluar dari mulut Leo seperti menambah beban di dada Nina. Dia ingin marah, ingin meluapkan semua rasa sakit yang selama ini dipendam, namun tubuhnya terasa kaku. Seperti ada sesuatu yang menahannya untuk tidak meledak di depan Leo.
"Kamu... Bos?" Nina menyebutkan kata itu dengan rasa terkejut dan penuh kebencian. "Jadi, kamu jadi bos di sini, di tempat yang aku bekerja?"
Leo mengangguk pelan, matanya tidak berpaling sedikit pun dari Nina. "Sepertinya ini takdir," katanya, walaupun suaranya lebih terdengar seperti pernyataan kosong. "Kita berdua berada di tempat yang sama sekarang."
Nina berusaha untuk tetap tenang, meskipun perasaannya bergolak hebat. Dia berbalik dan berjalan ke arah meja kerjanya, mencoba menghindari tatapan Leo. Hati Nina terasa seperti tertusuk, kenangan-kenangan tentang mereka berdua kembali menghantui pikirannya. Dulu, dia dan Leo begitu saling mencintai. Mereka berbagi tawa, berbagi impian, hingga akhirnya segalanya hancur karena sebuah kesalahpahaman yang tak pernah benar-benar dijelaskan.