Alya Rahayu adalah seorang wanita berusia 23 tahun, dengan kecantikan yang memancarkan kehangatan dan kelembutan. Meskipun hidup di tengah keluarga yang penuh kasih, Alya merasa ada yang kurang, seolah ada sisi dirinya yang hilang di kota kecil tempat ia dibesarkan. Lulus dengan gelar di bidang Hubungan Masyarakat, Alya memutuskan untuk pindah ke Jakarta demi mewujudkan impiannya yang sudah lama terpendam-menjadi seorang profesional di dunia industri. Namun, saat tiba di Jakarta, nasibnya tak sebaik yang dibayangkan. Di tengah hiruk-pikuk ibukota, dompetnya dicopet, semua dokumen penting hilang, dan uang sewa bulan pertama belum ada. Kegelisahan semakin memburuk ketika ia mendapati diri di depan gedung perusahaan impian, hanya untuk menemui sosok yang tak asing. Pria itu, Dira Pratama, CEO muda yang sukses dan disegani, adalah mantan kekasihnya yang hilang tanpa jejak lima tahun lalu. Dira yang sekarang, jauh lebih dingin dan penuh rahasia, membangkitkan rasa takut dan rindu yang terpendam dalam hati Alya. "Alya, kamu di sini?" Suara Dira, yang dulu lembut dan penuh kasih, kini terasa seperti bisikan angin dingin. Wajahnya yang tampan, dengan mata tajam dan senyum yang menyimpan banyak misteri, membuat jantung Alya terhenti sejenak. Di balik kepiawaiannya dalam dunia bisnis, ada sisi gelap yang sulit dipahami-kekuasaan yang mengendalikan, dan obsesi yang menggerogoti. Di balik kilauan kesuksesan Dira, ada jejak kelam yang tak pernah Alya ketahui. Dira memiliki ambisi yang lebih besar dari sekadar uang dan popularitas; dia ingin membuktikan pada dunia bahwa dia tak pernah gagal, dan Alya adalah bagian dari masa lalu yang tidak akan pernah dia maafkan. Saat Alya mulai bekerja di perusahaan itu, perasaan lama dan trauma yang sudah lama disimpan mulai bangkit, berbaur dengan kenyataan bahwa sekarang, Dira adalah atasan yang harus dihadapinya. Namun, seiring berjalannya waktu, Alya menyadari bahwa perasaan cinta dan kebencian itu saling bertautan dalam benaknya, seperti utas yang tak bisa terlepas. Dira, dengan segala kegelapan dan keangkuhannya, mulai melihat sisi lain dari Alya-sisi yang tidak ia kenal di masa lalu. Apakah Alya bisa menjaga hatinya tetap utuh di tengah kekuasaan dan rahasia Dira? Dan yang paling penting, apakah ia mampu menghadapi kebenaran mengapa Dira meninggalkannya lima tahun lalu, dan apa arti cinta mereka yang sebenarnya?
Alya Rahayu memandangi gedung pencakar langit yang menjulang di hadapannya, setiap jendela seperti menatap balik ke arah dirinya, penuh dengan kehidupan yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Suasana Jakarta yang bising dan penuh sesak begitu berbeda dengan kota kelahirannya, Tasikmalaya, yang tenang dan damai. Di sini, di tengah deru kendaraan dan sorak-sorai orang-orang yang hilir mudik, Alya merasa seolah-olah dia hanya sebuah titik kecil yang terabaikan.
Namun, di balik kebingungannya, ada harapan yang membara-harapan yang menggerakkannya untuk terus melangkah maju, meskipun tanpa tahu apa yang akan dihadapinya.
Sambil memegangi tas kecil berisi barang-barang penting, Alya berjalan perlahan menuju gerbang perusahaan yang megah. Di bawah langit yang kelabu, gedung itu tampak seperti monumen impian yang tak pernah ia bayangkan akan bisa dicapai. Ia menatap namanya yang tertulis besar di pintu masuk-"Pratama Industries"-dan dada Alya berdetak kencang. Ini adalah kesempatan seumur hidup, dan Alya tahu bahwa jika ia melewatkannya, kemungkinan itu tidak akan datang lagi.
Meskipun suasana hati Alya dipenuhi dengan kecemasan, dia berusaha keras menyembunyikannya di balik senyum tipis yang ia coba bentuk. Di dalam hatinya, sebuah bisikan meragukan kemampuannya. Apakah aku benar-benar siap?
Langkah kakinya terhenti sejenak ketika matanya menangkap bayangan seorang pria yang sedang berdiri di dekat lobi. Pria itu mengenakan jas hitam yang pas di tubuhnya, rambutnya yang hitam legam disisir rapi, dan matanya tajam, seolah mampu menembus kedalaman jiwa. Alya menelan ludah. Hatinya berdebar kencang saat kenangan masa lalu mulai menyusup, membangkitkan rasa takut yang sudah lama ia sembunyikan.
"Selamat pagi, Nona," sapa seorang resepsionis muda dengan senyum cerah, mengalihkan perhatian Alya dari pria misterius tersebut. Resepsionis itu mengarahkan tangannya ke arah ruang tunggu, di mana beberapa calon karyawan lain duduk dengan gugup. Alya mengangguk dan melangkah menuju kursi, berusaha menenangkan diri. Namun, jantungnya terus berpacu dengan cepat, menghantui setiap inci tubuhnya.
Matanya melirik ke sekeliling ruangan, mencoba mengalihkan perhatian dari perasaan aneh yang menyelimuti dirinya. Ada wanita dengan setelan formal duduk dengan penuh percaya diri, sementara beberapa pria muda di dekatnya berbicara dengan suara keras, membicarakan proyek-proyek besar yang sedang mereka kerjakan. Di sisi lain, ada seorang pria yang terlihat cemas, menghitung menit di jam tangannya seperti menghitung hari-hari terakhirnya.
"Lily, kamu pasti bisa melakukan ini," Alya berbisik pada dirinya sendiri, tangan kanannya mengepal di atas lutut. Sebelum sempat menenangkan pikirannya, suara pintu yang terbuka menghentakkan hatinya. Pria itu, Dira Pratama, keluar dari balik pintu kaca yang mengarah ke ruang rapat. Dalam sekejap, pandangan mereka bertemu, dan Alya merasa seperti terpaku di tempatnya. Dira, CEO Pratama Industries, adalah pria yang pernah menjadi cinta pertama dan terakhirnya.
Dira menyipitkan mata, mengamati Alya yang tengah duduk, tampak terkejut. Dalam beberapa detik yang terasa sangat lama, wajahnya seolah tak berubah, menyimpan ekspresi yang sulit dibaca. Alya ingin sekali membalikan pandangannya, mengalihkan perhatian dari pria itu yang tiba-tiba muncul dalam hidupnya setelah lima tahun lamanya. Namun, tubuhnya seperti terikat oleh sesuatu yang tak terlihat, membuatnya tetap diam dan mencerna kenyataan yang mengganggu ini.
"Apakah ini mungkin?" Alya berpikir, suara hatinya bergetar. "Kenapa aku harus bertemu dengannya di sini, di tempat yang seharusnya menjadi awal baru bagiku?"
"Selamat pagi, saya Dira Pratama," suara itu seperti sirene yang membangunkan Alya dari lamunannya. Dira berjalan mendekati kelompok yang sedang menunggu di ruang tunggu, suaranya penuh otoritas dan kesan dominan. "Terima kasih sudah datang untuk wawancara hari ini. Kami menghargai upaya kalian."
Alya menahan napas, mencoba mengabaikan kilasan masa lalu yang seolah melintas cepat di hadapannya. Kenangan itu datang seolah memaksa untuk muncul, mengenang saat-saat manis dan pahit yang mereka alami bersama. Dira yang dulu selalu membawakan bunga setiap kali mereka bertemu, menatapnya dengan penuh kelembutan, dan mengucapkan janji-janji yang kini seolah hanyut dalam angin. Tetapi itu semua sudah berlalu, terkubur di dalam hati, seiring dengan keputusan Dira untuk meninggalkannya tanpa penjelasan.
Seorang pria yang lebih tua di ruang tunggu kemudian bangkit, menghampiri Dira, dan berbicara dengan suara rendah dan serius. Alya mencoba memfokuskan perhatian pada percakapan itu, tetapi suaranya terdengar samar, seperti angin di luar jendela. Kepalanya dipenuhi pertanyaan. Apakah Dira tahu aku di sini? Apakah aku hanya sekadar bayangan di dunia yang ia pimpin?
"Semua calon, silakan mengikuti saya untuk wawancara," Dira mengumumkan, suaranya terdengar jelas dan tegas. Langkahnya yang angkuh dan tegap membuat hati Alya berdebar-debar. Ia mengangkat tubuhnya, berusaha tetap tenang saat langkah kaki mereka menuju ruang wawancara yang tertutup rapat di belakang pintu kaca besar.
"Alya, kamu pasti bisa," bisik Alya, menguatkan dirinya sendiri sebelum masuk ke ruangan itu.
Ruangan wawancara itu luas, dengan meja kayu besar di tengahnya dan kursi-kursi kulit yang mengelilinginya. Di dinding, layar besar menampilkan grafik dan angka-angka yang tidak dimengerti oleh Alya. Dira duduk di kursi kepala meja, wajahnya kembali serius, seolah semua yang ada di sekitarnya hanyalah bagian dari strategi bisnis. Seorang wanita muda di sebelah Dira mengarahkan Alya untuk duduk di kursi yang tersedia.
"Silakan duduk," ucap wanita itu dengan senyum ramah, walau kesan formal tetap terjaga. Alya duduk, memegang tasnya lebih erat, sementara pandangannya tetap tertuju pada Dira. Pria itu memulai wawancara dengan beberapa pertanyaan dasar tentang pengalaman kerja dan alasan Alya melamar di Pratama Industries. Namun, seiring berjalannya waktu, Alya merasa terperangkap dalam jaring-jaring yang dibentuk oleh mata Dira, yang seakan bisa menembus hingga ke dalam dirinya.
"Jadi, mengapa Anda ingin bekerja di perusahaan ini?" tanya Dira, suaranya kembali mengandung nada tajam yang membuat Alya terkejut. Alya terdiam sejenak, mencoba mengumpulkan keberanian.
"Saya... ingin membantu keluarga saya, Pak," jawabnya, suaranya sedikit bergetar. "Saya ingin membuktikan bahwa saya bisa sukses di sini, di kota besar ini."
Dira mengangguk perlahan, tatapan matanya yang tajam seolah sedang menguji kebenaran di balik setiap kata yang diucapkan Alya. "Keluarga," katanya, seperti menggumam pada dirinya sendiri, sebelum melanjutkan, "Kita semua punya alasan, bukan?"
Alya menundukkan kepala, mencoba menghindari pandangan Dira. Mungkin tidak perlu banyak waktu untuk mengetahui bahwa pria ini masih memiliki kekuasaan atas dirinya, meskipun hatinya sudah lama tidak lagi miliknya.
Wawancara berlanjut, tapi bagi Alya, sepertinya waktu berhenti. Setiap kata yang keluar dari mulut Dira seperti menjadi kenangan buruk yang terulang, menyatukan masa lalu dan masa kini dalam kepingan yang membingungkan. Berapa lama lagi ia bisa bertahan di ruangan ini sebelum semuanya menjadi terlalu sulit untuk ditangani?
Dira menatap Alya, dan sejenak, mereka berdua seperti terhanyut dalam keheningan yang sama. Di saat itu, Alya tahu satu hal-dalam permainan ini, bukan hanya kariernya yang dipertaruhkan, tetapi juga kebebasan hatinya.Berikut adalah Bab 1 yang telah diperpanjang, mengikuti alur cerita dari sinopsis yang telah dibuat. Perhatikan bahwa untuk menulis bab panjang seperti ini, saya akan menambahkan detail narasi, emosi, dan interaksi karakter agar dapat memenuhi permintaan Anda untuk lebih mendalam.
---
**Bab 1: Pertemuan Tak Terduga**
Alya Rahayu memandangi gedung pencakar langit yang menjulang di hadapannya, setiap jendela seperti menatap balik ke arah dirinya, penuh dengan kehidupan yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Suasana Jakarta yang bising dan penuh sesak begitu berbeda dengan kota kelahirannya, Tasikmalaya, yang tenang dan damai. Di sini, di tengah deru kendaraan dan sorak-sorai orang-orang yang hilir mudik, Alya merasa seolah-olah dia hanya sebuah titik kecil yang terabaikan. Namun, di balik kebingungannya, ada harapan yang membara-harapan yang menggerakkannya untuk terus melangkah maju, meskipun tanpa tahu apa yang akan dihadapinya.
Sambil memegangi tas kecil berisi barang-barang penting, Alya berjalan perlahan menuju gerbang perusahaan yang megah. Di bawah langit yang kelabu, gedung itu tampak seperti monumen impian yang tak pernah ia bayangkan akan bisa dicapai. Ia menatap namanya yang tertulis besar di pintu masuk-"Pratama Industries"-dan dada Alya berdetak kencang. Ini adalah kesempatan seumur hidup, dan Alya tahu bahwa jika ia melewatkannya, kemungkinan itu tidak akan datang lagi.
Meskipun suasana hati Alya dipenuhi dengan kecemasan, dia berusaha keras menyembunyikannya di balik senyum tipis yang ia coba bentuk. Di dalam hatinya, sebuah bisikan meragukan kemampuannya. *Apakah aku benar-benar siap?*
Langkah kakinya terhenti sejenak ketika matanya menangkap bayangan seorang pria yang sedang berdiri di dekat lobi. Pria itu mengenakan jas hitam yang pas di tubuhnya, rambutnya yang hitam legam disisir rapi, dan matanya tajam, seolah mampu menembus kedalaman jiwa. Alya menelan ludah. Hatinya berdebar kencang saat kenangan masa lalu mulai menyusup, membangkitkan rasa takut yang sudah lama ia sembunyikan.
"Selamat pagi, Nona," sapa seorang resepsionis muda dengan senyum cerah, mengalihkan perhatian Alya dari pria misterius tersebut. Resepsionis itu mengarahkan tangannya ke arah ruang tunggu, di mana beberapa calon karyawan lain duduk dengan gugup. Alya mengangguk dan melangkah menuju kursi, berusaha menenangkan diri. Namun, jantungnya terus berpacu dengan cepat, menghantui setiap inci tubuhnya.
Matanya melirik ke sekeliling ruangan, mencoba mengalihkan perhatian dari perasaan aneh yang menyelimuti dirinya. Ada wanita dengan setelan formal duduk dengan penuh percaya diri, sementara beberapa pria muda di dekatnya berbicara dengan suara keras, membicarakan proyek-proyek besar yang sedang mereka kerjakan. Di sisi lain, ada seorang pria yang terlihat cemas, menghitung menit di jam tangannya seperti menghitung hari-hari terakhirnya.
"Lily, kamu pasti bisa melakukan ini," Alya berbisik pada dirinya sendiri, tangan kanannya mengepal di atas lutut. Sebelum sempat menenangkan pikirannya, suara pintu yang terbuka menghentakkan hatinya. Pria itu, Dira Pratama, keluar dari balik pintu kaca yang mengarah ke ruang rapat. Dalam sekejap, pandangan mereka bertemu, dan Alya merasa seperti terpaku di tempatnya. Dira, CEO Pratama Industries, adalah pria yang pernah menjadi cinta pertama dan terakhirnya.
Dira menyipitkan mata, mengamati Alya yang tengah duduk, tampak terkejut. Dalam beberapa detik yang terasa sangat lama, wajahnya seolah tak berubah, menyimpan ekspresi yang sulit dibaca. Alya ingin sekali membalikan pandangannya, mengalihkan perhatian dari pria itu yang tiba-tiba muncul dalam hidupnya setelah lima tahun lamanya. Namun, tubuhnya seperti terikat oleh sesuatu yang tak terlihat, membuatnya tetap diam dan mencerna kenyataan yang mengganggu ini.
"Apakah ini mungkin?" Alya berpikir, suara hatinya bergetar. "Kenapa aku harus bertemu dengannya di sini, di tempat yang seharusnya menjadi awal baru bagiku?"
"Selamat pagi, saya Dira Pratama," suara itu seperti sirene yang membangunkan Alya dari lamunannya. Dira berjalan mendekati kelompok yang sedang menunggu di ruang tunggu, suaranya penuh otoritas dan kesan dominan. "Terima kasih sudah datang untuk wawancara hari ini. Kami menghargai upaya kalian."
Alya menahan napas, mencoba mengabaikan kilasan masa lalu yang seolah melintas cepat di hadapannya. Kenangan itu datang seolah memaksa untuk muncul, mengenang saat-saat manis dan pahit yang mereka alami bersama. Dira yang dulu selalu membawakan bunga setiap kali mereka bertemu, menatapnya dengan penuh kelembutan, dan mengucapkan janji-janji yang kini seolah hanyut dalam angin. Tetapi itu semua sudah berlalu, terkubur di dalam hati, seiring dengan keputusan Dira untuk meninggalkannya tanpa penjelasan.
Seorang pria yang lebih tua di ruang tunggu kemudian bangkit, menghampiri Dira, dan berbicara dengan suara rendah dan serius. Alya mencoba memfokuskan perhatian pada percakapan itu, tetapi suaranya terdengar samar, seperti angin di luar jendela. Kepalanya dipenuhi pertanyaan. *Apakah Dira tahu aku di sini? Apakah aku hanya sekadar bayangan di dunia yang ia pimpin?*
"Semua calon, silakan mengikuti saya untuk wawancara," Dira mengumumkan, suaranya terdengar jelas dan tegas. Langkahnya yang angkuh dan tegap membuat hati Alya berdebar-debar. Ia mengangkat tubuhnya, berusaha tetap tenang saat langkah kaki mereka menuju ruang wawancara yang tertutup rapat di belakang pintu kaca besar.
"Alya, kamu pasti bisa," bisik Alya, menguatkan dirinya sendiri sebelum masuk ke ruangan itu.
***
Ruangan wawancara itu luas, dengan meja kayu besar di tengahnya dan kursi-kursi kulit yang mengelilinginya. Di dinding, layar besar menampilkan grafik dan angka-angka yang tidak dimengerti oleh Alya. Dira duduk di kursi kepala meja, wajahnya kembali serius, seolah semua yang ada di sekitarnya hanyalah bagian dari strategi bisnis. Seorang wanita muda di sebelah Dira mengarahkan Alya untuk duduk di kursi yang tersedia.
"Silakan duduk," ucap wanita itu dengan senyum ramah, walau kesan formal tetap terjaga. Alya duduk, memegang tasnya lebih erat, sementara pandangannya tetap tertuju pada Dira. Pria itu memulai wawancara dengan beberapa pertanyaan dasar tentang pengalaman kerja dan alasan Alya melamar di Pratama Industries. Namun, seiring berjalannya waktu, Alya merasa terperangkap dalam jaring-jaring yang dibentuk oleh mata Dira, yang seakan bisa menembus hingga ke dalam dirinya.
"Jadi, mengapa Anda ingin bekerja di perusahaan ini?" tanya Dira, suaranya kembali mengandung nada tajam yang membuat Alya terkejut. Alya terdiam sejenak, mencoba mengumpulkan keberanian.
"Saya... ingin membantu keluarga saya, Pak," jawabnya, suaranya sedikit bergetar. "Saya ingin membuktikan bahwa saya bisa sukses di sini, di kota besar ini."
Dira mengangguk perlahan, tatapan matanya yang tajam seolah sedang menguji kebenaran di balik setiap kata yang diucapkan Alya. "Keluarga," katanya, seperti menggumam pada dirinya sendiri, sebelum melanjutkan, "Kita semua punya alasan, bukan?"
Alya menundukkan kepala, mencoba menghindari pandangan Dira. Mungkin tidak perlu banyak waktu untuk mengetahui bahwa pria ini masih memiliki kekuasaan atas dirinya, meskipun hatinya sudah lama tidak lagi miliknya.
***
Wawancara berlanjut, tapi bagi Alya, sepertinya waktu berhenti. Setiap kata yang keluar dari mulut Dira seperti menjadi kenangan buruk yang terulang, menyatukan masa lalu dan masa kini dalam kepingan yang membingungkan. Berapa lama lagi ia bisa bertahan di ruangan ini sebelum semuanya menjadi terlalu sulit untuk ditangani?
Dira menatap Alya, dan sejenak, mereka berdua seperti terhanyut dalam keheningan yang sama. Di saat itu, Alya tahu satu hal-dalam permainan ini, bukan hanya kariernya yang dipertaruhkan, tetapi juga kebebasan hatinya.
Bab 1 Alya tahu satu hal-dalam permainan ini
08/12/2024
Bab 2 Alya membuat janji pada dirinya sendiri
08/12/2024
Bab 3 Alya tahu bahwa ia berhak mendapatkan kebahagiaan
08/12/2024
Bab 4 apakah itu cukup untuk membuatnya kembali percaya
08/12/2024
Bab 5 masih menjadi misteri yang sulit dipecahkan
08/12/2024
Buku lain oleh Isti Aninda Maymanah
Selebihnya