Adelia menggantikan kakaknya, Helia, yang menghilang tanpa jejak. Dalam sekejap, Adelia mendapati dirinya di altar, menikahi laki-laki yang hidupnya selama ini hanya dikenal sebagai rumor-Darren Aditya, putra ketiga dari keluarga Aditya, konglomerat terbesar di negeri ini. Darren, yang terkenal dengan sikap dinginnya, cacat fisik yang membuatnya selalu memakai penutup wajah, dan sifat yang rumit, dianggap sebagai pria yang tak bisa didekati. Ia digambarkan sebagai sosok yang keras, berbahaya, dan seringkali dihias dengan amarah yang tak terkendali. Namun, dibalik semua itu, siapa yang dapat membayangkan bahwa pria di hadapannya ini menyimpan sebuah rahasia besar? Ketika Adelia mencoba memahami Darren lebih jauh, di luar dugaan, ia menemukan sisi lain dari pria tersebut-sisi yang penuh luka, kerinduan, dan keinginan yang terpendam dalam kesunyian.
Matahari sore menembus celah-celah awan, menciptakan jalur cahaya keemasan yang terpantul di lantai marmer yang dingin. Adelia berdiri di depan cermin besar di kamar pengantin, melihat refleksi dirinya yang tak lebih dari bayangan seorang wanita yang terperangkap dalam takdir yang tak ia pilih. Gaun putih panjang yang dihiasi renda perak menempel erat di tubuhnya, seakan memperingatkan betapa mustahilnya dia untuk melarikan diri.
Ada ratusan bunga yang teratur di sekitar ruangan, aroma melati dan mawar mengisi udara, tetapi bagi Adelia, semua itu hanya membebani napasnya yang sudah terengah-engah.
Ia menutup mata, mencoba menenangkan pikirannya. "Ini hanya sementara. Setelah ini, aku bisa kembali ke kehidupan normal," katanya dalam hati, meski suaranya terdengar rapuh, seperti bisikan yang tak cukup kuat untuk menenangkan kegelisahan yang menguasai tubuhnya.
"Aku berharap semua ini hanya mimpi," Adelia bergumam, merasakan embusan angin dari luar yang menyapu rambutnya. Tetapi kenyataan tak pernah bisa digantikan dengan angan-angan. Ini adalah hidupnya sekarang, hidup yang harus ia jalani tanpa ada jalan lain. Suara langkah kaki yang berat membuatnya terkejut, jantungnya berpacu lebih cepat, seakan ingin melompat keluar dari dada.
Pintu kamar terbuka perlahan, dan seorang pria berdiri di sana, tubuhnya tegap dengan aura yang sulit untuk dijelaskan. Darren Aditya. Wajahnya yang tertutup kain hitam hanya menampilkan mata tajam yang penuh misteri, seolah menyimpan kebijaksanaan dan kepedihan yang tak bisa ditangkap oleh mata biasa. Di tangannya, tongkat hitam yang terbuat dari kayu keras menggantung, seakan menjadi simbol dari kekuatan dan penderitaan yang ia miliki.
Adelia menelan ludah. Suasana menjadi sunyi, hanya suara desahannya yang memenuhi ruangan, mencampur dengan detak jantung yang seakan membanjiri telinga. Darren tidak segera berbicara. Ia hanya memandang Adelia dengan ekspresi yang sulit diartikan-seseorang yang seolah sudah lelah dengan semua yang terjadi, tapi masih berusaha untuk bertahan.
"Adelia," suara Darren memecah keheningan, berat dan dalam, seakan berasal dari dasar lautan. "Sudah waktunya."
Adelia mengangguk, mencoba meraih keberanian yang sudah lama hilang. Matanya yang besar menatap pria itu, mencoba menemukan sesuatu di balik topeng yang selalu menutupi wajahnya. Mungkin ini saatnya ia menemukan jawabannya, mungkin ini saatnya kebenaran tentang pria ini terungkap.
"Apakah... kau tahu apa yang aku rasakan?" Adelia bertanya, suaranya gemetar, seakan takut akan jawaban yang mungkin muncul.
Darren menghela napas, dan sebuah kerutan muncul di dahi yang tertutup kain itu. "Kau tidak perlu memahaminya sekarang, Adelia. Tapi aku ingin kau tahu, aku tidak memilih ini. Aku tidak memilih untuk hidup seperti ini. Dan aku juga tidak memilih untuk membuatmu terjebak dalam permainan ini."
Adelia memandangnya, matanya mulai basah. Ada kejujuran dalam suara Darren yang membuat hatinya terasa terhimpit. Di balik segala keangkuhan dan misteri, ada kepedihan yang begitu nyata. Dan itu membuatnya bertanya-tanya, apakah mungkin pria ini hanya sekadar korban dari sebuah takdir yang kejam, seperti dirinya?
"Kenapa?" Adelia bertanya, suaranya penuh harapan yang dipenuhi rasa takut. "Kenapa aku harus menjadi bagian dari semua ini?"
Darren mengalihkan pandangannya ke arah jendela besar yang menghadap ke taman. Taman itu, dengan bunga-bunga berwarna cerah dan air mancur yang gemericik, tampak sangat kontras dengan suasana hatinya. Seolah, di luar sana, dunia berjalan seperti biasa, tetapi di dalam ruangan ini, segala sesuatu sedang berguncang.
"Karena ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kita berdua," Darren berkata, nadanya mulai melembut. "Ada sesuatu yang mengikat kita, Adelia. Dan aku takut, kau akan mengerti betapa besar pengorbanan yang harus kita lakukan. Bukan hanya untuk aku, tapi untuk semua orang di sekitar kita."
Adelia mendekat, merasakan jarak antara mereka yang semakin dekat. "Aku ingin tahu, Darren. Aku ingin tahu kebenaran, meski itu menyakitkan."
Darren menatapnya, seolah mencari sesuatu di dalam mata Adelia, sesuatu yang bisa membantunya membuat keputusan. Beberapa saat hening mengisi ruang di antara mereka, sebelum akhirnya ia mengangguk. "Baiklah, Adelia. Jika itu yang kau inginkan, aku akan memberitahumu segala sesuatu. Tapi kau harus siap. Kebenaran ini mungkin akan menghancurkanmu."
Adelia menatap pria itu, matanya berbinar dengan tekad yang baru lahir. "Aku siap, Darren. Aku harus siap."
Darren menghela napas, seolah baru saja melepaskan beban besar. Ia melangkah maju, mendekatkan wajahnya pada Adelia hingga jarak di antara mereka hanya beberapa inci. Ia mengangkat tangannya, merasakan getaran di dalam dirinya yang selama ini terkunci rapat. "Jika kau benar-benar siap, Adelia, maka aku akan memulai dengan satu hal: Aku bukan hanya seorang pria yang lemah, cacat, dan terkutuk. Aku adalah orang yang dihukum oleh kesalahan yang bukan milikku."
Adelia membeku, merasakan kata-kata itu menggema di seluruh tubuhnya. Kebenaran ini lebih berat dari yang dia kira, lebih gelap dari kegelapan malam. Namun di dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa saat-saat ini adalah awal dari perjalanan yang akan mengubah hidupnya selamanya.**Bab 1: Takdir yang Tak Terelakkan**
Matahari sore menembus celah-celah awan, menciptakan jalur cahaya keemasan yang terpantul di lantai marmer yang dingin. Adelia berdiri di depan cermin besar di kamar pengantin, melihat refleksi dirinya yang tak lebih dari bayangan seorang wanita yang terperangkap dalam takdir yang tak ia pilih. Gaun putih panjang yang dihiasi renda perak menempel erat di tubuhnya, seakan memperingatkan betapa mustahilnya dia untuk melarikan diri. Ada ratusan bunga yang teratur di sekitar ruangan, aroma melati dan mawar mengisi udara, tetapi bagi Adelia, semua itu hanya membebani napasnya yang sudah terengah-engah.
Ia menutup mata, mencoba menenangkan pikirannya. "Ini hanya sementara. Setelah ini, aku bisa kembali ke kehidupan normal," katanya dalam hati, meski suaranya terdengar rapuh, seperti bisikan yang tak cukup kuat untuk menenangkan kegelisahan yang menguasai tubuhnya.
"Aku berharap semua ini hanya mimpi," Adelia bergumam, merasakan embusan angin dari luar yang menyapu rambutnya. Tetapi kenyataan tak pernah bisa digantikan dengan angan-angan. Ini adalah hidupnya sekarang, hidup yang harus ia jalani tanpa ada jalan lain. Suara langkah kaki yang berat membuatnya terkejut, jantungnya berpacu lebih cepat, seakan ingin melompat keluar dari dada.
Pintu kamar terbuka perlahan, dan seorang pria berdiri di sana, tubuhnya tegap dengan aura yang sulit untuk dijelaskan. Darren Aditya. Wajahnya yang tertutup kain hitam hanya menampilkan mata tajam yang penuh misteri, seolah menyimpan kebijaksanaan dan kepedihan yang tak bisa ditangkap oleh mata biasa. Di tangannya, tongkat hitam yang terbuat dari kayu keras menggantung, seakan menjadi simbol dari kekuatan dan penderitaan yang ia miliki.
Adelia menelan ludah. Suasana menjadi sunyi, hanya suara desahannya yang memenuhi ruangan, mencampur dengan detak jantung yang seakan membanjiri telinga. Darren tidak segera berbicara. Ia hanya memandang Adelia dengan ekspresi yang sulit diartikan-seseorang yang seolah sudah lelah dengan semua yang terjadi, tapi masih berusaha untuk bertahan.
"Adelia," suara Darren memecah keheningan, berat dan dalam, seakan berasal dari dasar lautan. "Sudah waktunya."
Adelia mengangguk, mencoba meraih keberanian yang sudah lama hilang. Matanya yang besar menatap pria itu, mencoba menemukan sesuatu di balik topeng yang selalu menutupi wajahnya. Mungkin ini saatnya ia menemukan jawabannya, mungkin ini saatnya kebenaran tentang pria ini terungkap.
"Apakah... kau tahu apa yang aku rasakan?" Adelia bertanya, suaranya gemetar, seakan takut akan jawaban yang mungkin muncul.
Darren menghela napas, dan sebuah kerutan muncul di dahi yang tertutup kain itu. "Kau tidak perlu memahaminya sekarang, Adelia. Tapi aku ingin kau tahu, aku tidak memilih ini. Aku tidak memilih untuk hidup seperti ini. Dan aku juga tidak memilih untuk membuatmu terjebak dalam permainan ini."
Adelia memandangnya, matanya mulai basah. Ada kejujuran dalam suara Darren yang membuat hatinya terasa terhimpit. Di balik segala keangkuhan dan misteri, ada kepedihan yang begitu nyata. Dan itu membuatnya bertanya-tanya, apakah mungkin pria ini hanya sekadar korban dari sebuah takdir yang kejam, seperti dirinya?
"Kenapa?" Adelia bertanya, suaranya penuh harapan yang dipenuhi rasa takut. "Kenapa aku harus menjadi bagian dari semua ini?"
Darren mengalihkan pandangannya ke arah jendela besar yang menghadap ke taman. Taman itu, dengan bunga-bunga berwarna cerah dan air mancur yang gemericik, tampak sangat kontras dengan suasana hatinya. Seolah, di luar sana, dunia berjalan seperti biasa, tetapi di dalam ruangan ini, segala sesuatu sedang berguncang.
"Karena ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kita berdua," Darren berkata, nadanya mulai melembut. "Ada sesuatu yang mengikat kita, Adelia. Dan aku takut, kau akan mengerti betapa besar pengorbanan yang harus kita lakukan. Bukan hanya untuk aku, tapi untuk semua orang di sekitar kita."
Adelia mendekat, merasakan jarak antara mereka yang semakin dekat. "Aku ingin tahu, Darren. Aku ingin tahu kebenaran, meski itu menyakitkan."
Darren menatapnya, seolah mencari sesuatu di dalam mata Adelia, sesuatu yang bisa membantunya membuat keputusan. Beberapa saat hening mengisi ruang di antara mereka, sebelum akhirnya ia mengangguk. "Baiklah, Adelia. Jika itu yang kau inginkan, aku akan memberitahumu segala sesuatu. Tapi kau harus siap. Kebenaran ini mungkin akan menghancurkanmu."
Adelia menatap pria itu, matanya berbinar dengan tekad yang baru lahir. "Aku siap, Darren. Aku harus siap."
Darren menghela napas, seolah baru saja melepaskan beban besar. Ia melangkah maju, mendekatkan wajahnya pada Adelia hingga jarak di antara mereka hanya beberapa inci. Ia mengangkat tangannya, merasakan getaran di dalam dirinya yang selama ini terkunci rapat. "Jika kau benar-benar siap, Adelia, maka aku akan memulai dengan satu hal: Aku bukan hanya seorang pria yang lemah, cacat, dan terkutuk. Aku adalah orang yang dihukum oleh kesalahan yang bukan milikku."
Adelia membeku, merasakan kata-kata itu menggema di seluruh tubuhnya. Kebenaran ini lebih berat dari yang dia kira, lebih gelap dari kegelapan malam. Namun di dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa saat-saat ini adalah awal dari perjalanan yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Bab 1 merasakan kata-kata itu menggema di seluruh tubuhnya
08/12/2024
Bab 2 mengungkap kebenaran yang terpendam
08/12/2024
Bab 3 melawan semua rasa takut yang pernah menguasainya
08/12/2024
Bab 4 mengungkap semua rahasia
08/12/2024
Bab 5 Darren mengambil peta itu
08/12/2024
Buku lain oleh Isti Aninda Maymanah
Selebihnya