Mantan Kekasihku CEO Psikopat
yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Suasana Jakarta yang bising dan penuh sesak begitu berbeda dengan kota kelahirannya, Tasikmalaya, yang tenang dan da
ara-harapan yang menggerakkannya untuk terus melangka
itu tampak seperti monumen impian yang tak pernah ia bayangkan akan bisa dicapai. Ia menatap namanya yang tertulis besar di pintu masuk-"Pratama Industr
menyembunyikannya di balik senyum tipis yang ia coba bentuk. Di dalam hat
jas hitam yang pas di tubuhnya, rambutnya yang hitam legam disisir rapi, dan matanya tajam, seolah mampu menembus kedalaman jiwa. Alya
sepsionis itu mengarahkan tangannya ke arah ruang tunggu, di mana beberapa calon karyawan lain duduk dengan gugup. Alya mengangguk d
duduk dengan penuh percaya diri, sementara beberapa pria muda di dekatnya berbicara dengan suara keras, membicarakan proyek-proyek besar yang sed
suara pintu yang terbuka menghentakkan hatinya. Pria itu, Dira Pratama, keluar dari balik pintu kaca yang mengarah ke ruang rapat. Dalam sekejap, pandanga
impan ekspresi yang sulit dibaca. Alya ingin sekali membalikan pandangannya, mengalihkan perhatian dari pria itu yang tiba-tiba muncul dalam hidupnya set
ergetar. "Kenapa aku harus bertemu dengannya di sini
Dira berjalan mendekati kelompok yang sedang menunggu di ruang tunggu, suaranya penuh otoritas dan
manis dan pahit yang mereka alami bersama. Dira yang dulu selalu membawakan bunga setiap kali mereka bertemu, menatapnya dengan penuh kelembutan, dan mengucapkan janji
ius. Alya mencoba memfokuskan perhatian pada percakapan itu, tetapi suaranya terdengar samar, seperti angin di luar jende
s. Langkahnya yang angkuh dan tegap membuat hati Alya berdebar-debar. Ia mengangkat tubuhnya, berusaha tet
Alya, menguatkan dirinya sendir
kan grafik dan angka-angka yang tidak dimengerti oleh Alya. Dira duduk di kursi kepala meja, wajahnya kembali serius, seolah semua yang ada
p tertuju pada Dira. Pria itu memulai wawancara dengan beberapa pertanyaan dasar tentang pengalaman kerja dan alasan Alya melamar di Pratama Industries. Na
ra, suaranya kembali mengandung nada tajam yang membuat Alya t
a, suaranya sedikit bergetar. "Saya ingin membuktika
aran di balik setiap kata yang diucapkan Alya. "Keluarga," katanya, seperti meng
dak perlu banyak waktu untuk mengetahui bahwa pria ini masih memiliki k
rti menjadi kenangan buruk yang terulang, menyatukan masa lalu dan masa kini dalam kepingan yang membingungk
yang dipertaruhkan, tetapi juga kebebasan hatinya.Berikut adalah Bab 1 yang telah diperpanjang, mengikuti alur cerita dari sinopsis yang telah dibuat. Perhatikan bah
-
ertemuan T
ang bising dan penuh sesak begitu berbeda dengan kota kelahirannya, Tasikmalaya, yang tenang dan damai. Di sini, di tengah deru kendaraan dan sorak-sorai orang-orang yang hilir mudik, Alya merasa seolah-olah
itu tampak seperti monumen impian yang tak pernah ia bayangkan akan bisa dicapai. Ia menatap namanya yang tertulis besar di pintu masuk-"Pratama Industr
menyembunyikannya di balik senyum tipis yang ia coba bentuk. Di dalam hat
jas hitam yang pas di tubuhnya, rambutnya yang hitam legam disisir rapi, dan matanya tajam, seolah mampu menembus kedalaman jiwa. Alya
sepsionis itu mengarahkan tangannya ke arah ruang tunggu, di mana beberapa calon karyawan lain duduk dengan gugup. Alya mengangguk d
duduk dengan penuh percaya diri, sementara beberapa pria muda di dekatnya berbicara dengan suara keras, membicarakan proyek-proyek besar yang sed
suara pintu yang terbuka menghentakkan hatinya. Pria itu, Dira Pratama, keluar dari balik pintu kaca yang mengarah ke ruang rapat. Dalam sekejap, pandanga
impan ekspresi yang sulit dibaca. Alya ingin sekali membalikan pandangannya, mengalihkan perhatian dari pria itu yang tiba-tiba muncul dalam hidupnya set
ergetar. "Kenapa aku harus bertemu dengannya di sini
Dira berjalan mendekati kelompok yang sedang menunggu di ruang tunggu, suaranya penuh otoritas dan
manis dan pahit yang mereka alami bersama. Dira yang dulu selalu membawakan bunga setiap kali mereka bertemu, menatapnya dengan penuh kelembutan, dan mengucapkan janji
us. Alya mencoba memfokuskan perhatian pada percakapan itu, tetapi suaranya terdengar samar, seperti angin di luar jendela
s. Langkahnya yang angkuh dan tegap membuat hati Alya berdebar-debar. Ia mengangkat tubuhnya, berusaha tet
Alya, menguatkan dirinya sendir
*
kan grafik dan angka-angka yang tidak dimengerti oleh Alya. Dira duduk di kursi kepala meja, wajahnya kembali serius, seolah semua yang ada
p tertuju pada Dira. Pria itu memulai wawancara dengan beberapa pertanyaan dasar tentang pengalaman kerja dan alasan Alya melamar di Pratama Industries. Na
ra, suaranya kembali mengandung nada tajam yang membuat Alya t
a, suaranya sedikit bergetar. "Saya ingin membuktika
aran di balik setiap kata yang diucapkan Alya. "Keluarga," katanya, seperti meng
dak perlu banyak waktu untuk mengetahui bahwa pria ini masih memiliki k
*
rti menjadi kenangan buruk yang terulang, menyatukan masa lalu dan masa kini dalam kepingan yang membingungk
heningan yang sama. Di saat itu, Alya tahu satu hal-dalam permainan ini,