Mantan Kekasihku CEO Psikopat
apa kerasnya kehidupan di kota ini. Ia tahu bahwa, meskipun hari-harinya di perusahaan semakin baik, bayangan Dira masih menghantui. Ia tidak tahu bagaimana har
i ujung lorong, Dira berdiri dengan punggung tegak, seolah mengawasi seluruh perusahaan. Alya menelan ludahnya, mencoba
, tun
rah yang kontras dengan setelan gelapnya, dan sepasang sepatu hitam yang mengkilat. Tak ada senyum di wajahnya, hanya
ha terlihat tenang. Dira mengamati wajahnya, seolah
ing, kebingungan dan ketakutan bercampur aduk di dadanya. "Bisakah kita bicara di
guk, dan tanpa menunggu jawaban, dia mulai berjalan ke ruangan tersebut. Alya terpaksa mengikutinya,
ada lukisan abstrak yang tak memiliki arti, seolah menggambarkan bagaimana perasaan Alya saat ini-kacau dan
utuskan untuk duduk, meskipun jantungnya berdegup sangat keras. Dira mem
u, mencoba memahami apa yang ada di benaknya. Ada kesedihan, tetapi juga ada penyesalan yang sulit
ipun air mata hampir menggenang di pelupuk matanya. Dira menghela napas panjan
dengarkannya. Aku tidak pernah bermaksud meninggalkanmu, Alya. Semua yang terjadi waktu itu... a
kepalanya, tetapi satu kalimat dari Dira membuat hatinya terhenti. Aku menyesal. Kata-kata itu membawa ke
terdengar. Dira menatapnya, matanya dipenuhi pe
bukan karena aku tidak mencintaimu, tetapi karena aku takut kehilangan segalanya. Aku tahu
u pikir aku akan mengerti? Kamu pikir kamu bisa datang setelah lima tahun dan men
gharapkanmu untuk memaafkanku. Tapi aku ingin kamu tahu, aku selalu mengingatmu, setiap detik, setiap hari.
benteng yang telah ia bangun dengan susah payah. Ia ingin memeluk pria itu, membiarkan dirinya terhanyut dalam
a mengalir deras tanpa bisa ditahan. "Semua yang telah terjadi, semua kenangan yang
ku hanya ingin kamu tahu bahwa aku masih di sini, jika kamu ingin aku ada. Mungkin aku tidak pantas, t
pria yang sama dengan yang dulu, namun juga berbeda. Ia harus memilih, apakah ia akan membiarkan dirinya
ahu bahwa hidupnya tak akan pernah sama lagi setelah pertemuan itu. Namun, satu hal yang pasti, keputusan tentang apa yang harus dilakukan s
ra, di mana perasaan, penyesalan, dan keinginan untuk memulai kemba
apa kerasnya kehidupan di kota ini. Ia tahu bahwa, meskipun hari-harinya di perusahaan semakin baik, bayangan Dira masih menghantui. Ia tidak tahu bagaimana har
i ujung lorong, Dira berdiri dengan punggung tegak, seolah mengawasi seluruh perusahaan. Alya menelan ludahnya, mencoba
, tun
rah yang kontras dengan setelan gelapnya, dan sepasang sepatu hitam yang mengkilat. Tak ada senyum di wajahnya, hanya
ha terlihat tenang. Dira mengamati wajahnya, seolah
ing, kebingungan dan ketakutan bercampur aduk di dadanya. "Bisakah kita bicara di
guk, dan tanpa menunggu jawaban, dia mulai berjalan ke ruangan tersebut. Alya terpaksa mengikutinya,
ada lukisan abstrak yang tak memiliki arti, seolah menggambarkan bagaimana perasaan Alya saat ini-kacau dan
utuskan untuk duduk, meskipun jantungnya berdegup sangat keras. Dira mem
u, mencoba memahami apa yang ada di benaknya. Ada kesedihan, tetapi juga ada penyesalan yang sulit
ipun air mata hampir menggenang di pelupuk matanya. Dira menghela napas panjan
dengarkannya. Aku tidak pernah bermaksud meninggalkanmu, Alya. Semua yang terjadi waktu itu... a
kepalanya, tetapi satu kalimat dari Dira membuat hatinya terhenti. *Aku menyesal.* Kata-kata itu membawa ke
terdengar. Dira menatapnya, matanya dipenuhi pe
bukan karena aku tidak mencintaimu, tetapi karena aku takut kehilangan segalanya. Aku tahu
u pikir aku akan mengerti? Kamu pikir kamu bisa datang setelah lima tahun dan men
gharapkanmu untuk memaafkanku. Tapi aku ingin kamu tahu, aku selalu mengingatmu, setiap detik, setiap hari.
benteng yang telah ia bangun dengan susah payah. Ia ingin memeluk pria itu, membiarkan dirinya terhanyut dalam
a mengalir deras tanpa bisa ditahan. "Semua yang telah terjadi, semua kenangan yang
ku hanya ingin kamu tahu bahwa aku masih di sini, jika kamu ingin aku ada. Mungkin aku tidak pantas, t
pria yang sama dengan yang dulu, namun juga berbeda. Ia harus memilih, apakah ia akan membiarkan dirinya
ahu bahwa hidupnya tak akan pernah sama lagi setelah pertemuan itu. Namun, satu hal yang pasti, keputusan tentang apa yang harus dilakukan s